PEKANBARU DAN TELUKKUANTAN (RIAUPOS.CO) – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengadakan sidang etik terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh sejumlah penyelenggara pemilu di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing). Sidang digelar di Kantor KPU Riau, Pekanbaru, Kamis (15/5).
Sidang ini menarik perhatian, terutama ketika Ketua Majelis Sidang Etik DKPP, Prof J Kristiadi, menanyakan kepada Teradu 1, yakni Ketua Bawaslu Kuansing Mardius Adi Saputra, mengenai isi percakapan WhatsApp antara dirinya dengan saksi 2, Karyono.
Dalam sidang diperdengarkan rekaman suara antara pengadu, Firdaus Oemar, dan Mardius yang berisi permintaan uang Rp200 juta. “Apakah itu suara Anda?” tanya Ketua Majelis setelah rekaman tersebut diputar.
Mardius mengakui bahwa suara dalam rekaman tersebut memang miliknya, tetapi dia membantah pernah meminta uang sebagaimana yang dituduhkan.
“Memang benar suara itu adalah saya, Yang Mulia. Tapi isi pembicaraan tersebut tidak benar, itu hanya ungkapan kekecewaan saya kepada pengadu,” ungkap Mardius.
Mengenai tuduhan menerima uang, Mardius menegaskan tidak pernah menerima uang dari pengadu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal serupa juga disampaikan oleh dua anggota Bawaslu Kuansing lainnya, Ade Indra Sakti dan Nur Afni.
Oleh karena itu, Mardius meminta agar majelis menolak seluruh tuduhan pengadu. Ia juga memohon agar dinyatakan tidak bersalah serta direhabilitasi nama baiknya.
Perkara etik ini tercatat dengan nomor 286-PKE-DKPP/XI/2024 dan dipimpin oleh Prof J Kristiadi bersama empat anggota majelis lainnya, termasuk Ketua Bawaslu Riau Alnofrizal dan Komisioner KPU Riau Supriyanto. Dalam sidang tersebut, Firdaus Oemar menyampaikan bahwa ada dua dugaan pelanggaran yang ia laporkan.
Kasus pertama berkaitan dengan konflik kepentingan dalam penanganan laporan pelanggaran tahapan pilkada yang terjadi pada Agustus hingga September 2024.
Saat itu, Bupati Kuansing diduga menyalahgunakan jabatannya untuk mendukung salah satu calon. Laporan ini diajukan oleh Nerdi Wantomes, yang merupakan ketua koordinator pasangan calon H Halim–Sardiyono.
Masalah muncul ketika saksi ahli yang digunakan oleh Bawaslu Kuansing, yakni Dr Maxaxai Indra, ternyata memiliki hubungan keluarga dengan Teradu 2, Ade Indra Sakti. Hal ini memunculkan dugaan konflik kepentingan.
Kasus kedua menyangkut dugaan penerimaan uang oleh sejumlah penyelenggara pemilu untuk memengaruhi perolehan suara bagi calon anggota DPRD Kuansing. Peristiwa ini diduga terjadi antara Desember 2023 hingga Februari 2024.
Dalam kasus ini, delapan orang dilaporkan: Mardius Adi Saputra (Teradu 1), Ade Indra Sakti (Teradu 2), Nur Afni (Teradu 3), Yudi Hendra (Teradu 4), Rain Novri Maryam (Teradu 5), Abdi Muslihan (Teradu 6), Ulil Amri (Teradu 7), dan Mawardi Irawan (Teradu 8).
Menurut pengaduan, saksi Karyono menyerahkan uang sebesar Rp233 juta pada 4 Februari 2024. Namun, jumlah uang dalam rekaman percakapan disebutkan Rp200 juta. Uang senilai Rp85 juta diduga diberikan kepada Teradu 4, 5, dan 6 di rumah Karyono.
Tiga orang Panwascam dari Kuantan Mudik disebut datang menggunakan mobil putih untuk menerima uang tersebut. Sedangkan Teradu 7 dari Kecamatan Gunung Toar diduga menerima Rp78 juta di kediamannya sekitar pukul 24.00 WIB. Terakhir, Teradu 8 dari PPK Pucuk Rantau diduga menerima Rp30 juta.
Dalam petitumnya, pengadu meminta agar Teradu 1 hingga 3 diberhentikan secara tetap dari jabatan mereka di Bawaslu Kuansing. Sedangkan Teradu 4, 5, dan 6 juga diminta diberhentikan dari posisi mereka di Panwascam Kuantan Mudik.
Teradu 7 juga dimohon untuk diberhentikan tetap sebagai anggota Panwascam Gunung Toar, dan Teradu 8 diberhentikan dari keanggotaannya di PPK Kecamatan Pucuk Rantau.
Menanggapi hal itu, Teradu 1, 2, dan 3 memberikan penjelasan secara bergantian. Mereka membantah semua tuduhan dan menyatakan bahwa Bawaslu Kuansing sudah memproses laporan dugaan pelanggaran sesuai aturan.
Mardius menyebutkan bahwa laporan terkait pertemuan Bupati Kuansing dengan tokoh adat sudah ditindaklanjuti. Karena saat itu belum ada penetapan pasangan calon oleh KPU, maka tidak dianggap sebagai pelanggaran.
Untuk memperkuat keputusan, Bawaslu meminta pendapat saksi ahli dari Universitas Riau dan menunjuk Dr Maxaxai Indra. Hasil kajian dari saksi ahli menyatakan bahwa laporan tidak memenuhi syarat dan keputusan itu dibuat dalam rapat pleno.
Ketua KPU Kuansing, Wawan Ardi, yang hadir sebagai pihak terkait, menyatakan tidak mengetahui masalah tersebut karena KPU tidak pernah menerima rekomendasi pelanggaran dari Bawaslu selama tahapan pilkada berlangsung.
Sidang etik yang digelar DKPP berlangsung cukup intens. Meskipun sejumlah keterangan telah diberikan oleh pengadu, para teradu, serta saksi dan pihak terkait, namun DKPP belum mengeluarkan putusan resmi atas perkara ini. (dac/end/das)