Begitu teguhnya masyarakat berpegang pada adat dan tradisi yang mengatur tatanan kehidupan sosial mereka. Dari dulu sejak Kampar Kiri bernama Kujano hingga Rimbang Baling. Seperti apakah tahapan kisah di tubuh bentang alam Negeri Kampar Kiri sejak ratusan tahun silam hingga sekarang? Inilah faktanya.
(RIAUPOS.CO) – MASYARAKAT Bukit Rimbang Bukit Baling, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, telah lama mendiami kawasan ini dan memiliki akar budaya yang kuat. Hal ini tercatat pada beberapa catatan sejarah di antaranya Eskpedisi Pamalayu dari Majapahit dengan tokoh Gagak Jao meninggalkan situs Batu Belah di Sungai Subayang, catatan Thomas Diaz tahun 1684 yang datang ke Pagaruyung dan melintasi Rimbang Baling dalam rangka kerja sama Kerajaan Pagaruyung dan VOC.
Negeri Kampar Kiri dikenal dengan keberadaan Kerajaan Gunung Sahilang. Negeri ini dinamakan Negeri Tigo Selo yang kenegeriannya adalah Ludai, Ujung Bukit, Gunung Sahilan, Lipatkain, Kuntu dan Batu Songgan dengan pusat pemerintahan kerajaan adalah Gunung Sahilan. Sejak masa kerajaan, tatanan pemerintahan pada kawasan ini terbagi pada kenegerian/kekhalifahan. Untuk wilayah Kampar Kiri atau disebut juga Rantau Kampar Kiri, terdiri dari kenegerian/khalifah Kuntu, Batu Sanggan, Ujung Bukit dan Ludai.
Sistem kekhalifahan ini hingga kini masih ada walaupun secara pemerintahan perannya sudah digantikan oleh sistem pemerintahan yang berlaku. Namun peran para khalifah dan ninik mamak tetap dipertimbangkan dalam hal pengambilan keputusan terkait adat. Terlebih sejak Raja Gunung Sahilan bergelar Raja Adat Raja Ibadat dinobatkan awal tahun 2017.
Keunikan masyarakat Rantau Kampar Kiri khususnya Bukit Rimbang Baling dapat terlihat dari berbagai tradisi yang hingga kini masih terus dipertahankan seperti semah rantau, batimang yang sudah ratusan tahun diturunkan. Hingga lubuk larangan, tradisi yang diperkirakan dimulai tahun 1970-an, yaitu masyarakat berupaya untuk melindungi bagian dari sungainya untuk ketahanan sumber pangan. Tradisi ini tidak saja memiliki nilai budaya mengikat silaturahmi dan gotong royong masyarakat namun juga nilai konservasi terjaganya hutan dan sungai untuk dapat menjaga keberlangsungan berbagai jenis ikan. Lubuk larangan ini kini juga menjadi momen yang menarik bagi pengunjung untuk belajar memahami kehidupan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling.
Cerita dari Tanah Kujano
Bukit Rimbang Bukit Baling dibelah sungai besar dan anak-anak sungai. Di sungai inilah peradaban dan kebudayaan manusia bermula sejak lama. Ratusan tahun silam. Kehidupan sudah lama terjadi di kawasan ini. Begitu juga di sekitar Sungai Kujano, yang berada di atas hulu Sungai Subayang. Sungai yang airnya juga mengalir hingga ke Sungai Singingi ini, berada di kawasan perbatasan Sumbar dan Riau. Tak heran, jika masyarakatnya –ketika itu – dengan leluasa berjalan melintasi Bukit Barisan, menjelajah hingga ke Sumbar.
Begitu teguhnya masyarakat berpegang pada adat dan tradisi yang mengatur tatanan kehidupan sosial mereka. Dari dulu sejak Kampar Kiri bernama Kujano hingga Rimbang Baling. Seperti apakah tahapan kisah di tubuh bentang alam Negeri Kampar Kiri sejak ratusan tahun silam hingga sekarang? Inilah faktanya.
(RIAUPOS.CO) – MASYARAKAT Bukit Rimbang Bukit Baling, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, telah lama mendiami kawasan ini dan memiliki akar budaya yang kuat. Hal ini tercatat pada beberapa catatan sejarah di antaranya Eskpedisi Pamalayu dari Majapahit dengan tokoh Gagak Jao meninggalkan situs Batu Belah di Sungai Subayang, catatan Thomas Diaz tahun 1684 yang datang ke Pagaruyung dan melintasi Rimbang Baling dalam rangka kerja sama Kerajaan Pagaruyung dan VOC.
- Advertisement -
Negeri Kampar Kiri dikenal dengan keberadaan Kerajaan Gunung Sahilang. Negeri ini dinamakan Negeri Tigo Selo yang kenegeriannya adalah Ludai, Ujung Bukit, Gunung Sahilan, Lipatkain, Kuntu dan Batu Songgan dengan pusat pemerintahan kerajaan adalah Gunung Sahilan. Sejak masa kerajaan, tatanan pemerintahan pada kawasan ini terbagi pada kenegerian/kekhalifahan. Untuk wilayah Kampar Kiri atau disebut juga Rantau Kampar Kiri, terdiri dari kenegerian/khalifah Kuntu, Batu Sanggan, Ujung Bukit dan Ludai.
Sistem kekhalifahan ini hingga kini masih ada walaupun secara pemerintahan perannya sudah digantikan oleh sistem pemerintahan yang berlaku. Namun peran para khalifah dan ninik mamak tetap dipertimbangkan dalam hal pengambilan keputusan terkait adat. Terlebih sejak Raja Gunung Sahilan bergelar Raja Adat Raja Ibadat dinobatkan awal tahun 2017.
- Advertisement -
Keunikan masyarakat Rantau Kampar Kiri khususnya Bukit Rimbang Baling dapat terlihat dari berbagai tradisi yang hingga kini masih terus dipertahankan seperti semah rantau, batimang yang sudah ratusan tahun diturunkan. Hingga lubuk larangan, tradisi yang diperkirakan dimulai tahun 1970-an, yaitu masyarakat berupaya untuk melindungi bagian dari sungainya untuk ketahanan sumber pangan. Tradisi ini tidak saja memiliki nilai budaya mengikat silaturahmi dan gotong royong masyarakat namun juga nilai konservasi terjaganya hutan dan sungai untuk dapat menjaga keberlangsungan berbagai jenis ikan. Lubuk larangan ini kini juga menjadi momen yang menarik bagi pengunjung untuk belajar memahami kehidupan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling.
Cerita dari Tanah Kujano
Bukit Rimbang Bukit Baling dibelah sungai besar dan anak-anak sungai. Di sungai inilah peradaban dan kebudayaan manusia bermula sejak lama. Ratusan tahun silam. Kehidupan sudah lama terjadi di kawasan ini. Begitu juga di sekitar Sungai Kujano, yang berada di atas hulu Sungai Subayang. Sungai yang airnya juga mengalir hingga ke Sungai Singingi ini, berada di kawasan perbatasan Sumbar dan Riau. Tak heran, jika masyarakatnya –ketika itu – dengan leluasa berjalan melintasi Bukit Barisan, menjelajah hingga ke Sumbar.