PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, turut menyoroti kasus Bongku, masyarakat adat Suku Sakai Perbatinan Beringin yang dikriminalisasi oleh koorporasi di Kabupaten Bengkalis. Kasus ini menjadi perhatian serius dan menyisakan pilu mendalam bagi para warga.
Permasalahan masyarakat adat tersebut akan dibahas dalam majelis Seminar Virtual Sempena Milad Emas Lembaga Adat Melayu Riau (6 Juni 1970-6 Juni 2020), dengan tajuk Kedaulatan Adat Melayu Riau Pascapandemi Covid-19.
Seminar virtual itu akan digelar pekan depan, tepatnya Rabu (10/6), pukul 09.00-12.00 WIB, dengan tiga narasumber yaitu Purnama Irwansyah (Staf Bappedalitbang Provinsi Riau), Riko Kurniawan (Direktur Eksekutif Walhi Riau), dan M Mardiansyah (Fakultas Pertanian Unri/anggota MKA LAMR.
Bongku bin Jelodan ditangkap petugas keamanan PT Arara Abadi saat menggarap tanah ulayatnya (leluhurnya) untuk tanam ubi. Dia dituntut karena mengurangi jumlah panen PT AA. Bongku menebang beberapa batang eukaliptus dan akasia di belukar dekat kampungnya di Suluk Bungkal, Desa Koto Pait, Kecamatan Talang Muandau Kabupaten Bengkalis, untuk ditanami ubi manggalo.
Padahal lahan yang digarapnya hanya setengah hektare, tak sebanding dengan luas tanah PT AA yang ribuan hektare. Setelah proses persidangan, Bongku dinyatakan bersalah karena melanggar Pasar 82 ayat (1) huruf b UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Menurut penasihat hukum Bongku, dakwaan ini tidak tepat. UU P3H semestinya menyasar mafia perusak hutan yang terorganisir untuk tujuan komersil. Bukan masyarakat adat yang hanya bercocok tanam untuk cari makan seperti Bongku.
Majelis Hakim PN Bengkalis juga semestinya mempertimbangkan keputusan hakim pada kasus serupa di Pengadilan Negeri Watansoppeng dan Pengadilan Negeri Banyuwangi. Di sana, terdakwa dengan kasus mirip Bongku dibebaskan.
“Denda 200 juta rupiah? Punya uang dari mana Pak Bongku untuk bayar denda sebesar itu,” ujar simpatisan Bongku, Dede Kurnia melalui petisi sekaligus keterangan tertulisnya.
Tak terima dengan putusan pengadilan, Bongku sudah mengajukan banding ke pengadilan tinggi dan akan terus memperjuangkan haknya. Para simpatisan Bongku juga terus melakukan perjuangan keadilan dengan membuat petisi dan pembelaan. Koalisi Pembela Masyarakat Adat menilai bahwa hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang penasihat hukum kemukakan.
“Yang jelas kita sangat kecewa dengan putusan hakim yang tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang PH kemukakan,” kata Koordinator Koalisi Pembela Mayarakat Adat, Eko Fambudi kepada Riau Pos, belum lama ini.
Eko bersama tim hukum juga bakal terus mendampingi kasus yang menimpa Bongku, masyarakat adat Suku Sakai ini.
“Juga termasuk mendampingi warga lain di dusun Pak Bongku yang juga rawan dikriminalisasi oleh perusahaan,” katanya.(*1)