PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Strict liability dan eco-contract, menjadi topik hangat yang diperbincangkan dalam diskusi bulanan peatcircle yang ditaja oleh PSB-LPPM Unri pada Jumat (21/12/2019) lalu.
Kali ini, menghadirkan dua orang pembicara, Dr Maria Maya Lestari SH MSc MH dan Dr Hengki Firmanda SH LLM MSi. Kedua pembicara, yang juga dosen tetap di Fakultas Hukum Unri ini memaparkan secara gamblang, bagaimana sejarah, filosofis, dan praktis pelaksanaan strict liability dan eco contract di Indonesia.
Pelaku kejahatan lingkungan, pada kasus kasus bencana asap, selama ini masih banyak yang lepas dari jerat hukum, sebab sulitnya melakukan pembuktian. Segelintir yang berhasil dijerat, hanya menyasar pada pelaku Individu, petani yang lemah, dan jikapun korporasi yang kena, hanya pada level manajer ke bawah.
“Nah, sebenarnya ada upaya hukum yang lebih strategis, yakni strict liability,” ucap Maria.
Setidaknya, terdapat dua kasus di Indonesia yang pernah berhasil menggunakan upaya strict liability. Yakni pada kasus Mandalawangi di Bandung, dan kasus PT Waringin Agro Jaya, mengenai gugatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang dikabulkan hakim dengan ganti rugi Rp466 M.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya gugatan strict liability sangat strategis untuk ditempuh, sebagai upaya yang terpenting dalam ranah hukum perdata. Artinya, masyarakat menuntut para pelaku kejahatan, terutama korporasi untuk mengganti rugi atas kerugian yang disebabkan bencana asap, baik pemulihan gambut yang dirusak dan ganti rugi sebagai korban bencana asap. Mengingat pada saat ini, upaya penegakan hukum yang selalu digunakan pada umumnya adalah penegakan hukum pidana.
Strict liability, tidak membebankan pembuktian pada penggugat. Justru pihak tergugat yang harus bisa membuktikan bahwa mereka tidak melakukan seperti apa yang dituntut. Namun demikian, masyarakat sebagai penggugat harus tetap mempersiapkan bukti dan data.
“Data tersebut harus berupa bukti-bukti asli, seperti kwitansi berobat dari rumah sakit, tiket pesawat yang di-cancel, hasil riset ilmiah, data resmi korban dan lain-lain. Semua hal ini penting sebagai bukti di pengadilan,” tegas Maria.
Sedangkan upaya hukum yang tidak kalah strategis adalah eco-contract. Ini diungkapkan Hengki, dosen muda bidang hukum lingkungan yang baru saja menyelesaikan studi doktor di Fakultas Filsafat UGM ini.
“Ada hal lain yang perlu diperhatikan, yakni pada saat awal eksploitasi sumberdaya alam, proses yang dilalui hanya berupa perizinan, padahal seharusnya pemanfaatan sumberdaya alam, harus dimulai dengan eco-contract,” ujar Hengki.
Hengki juga mengkritik bahwa aspek lingkungan masih diabaikan pada berbagai sumber hukum di Indonesia. Inilah pangkal masalahnya, kenapa pencemaran lingkungan dan bencana akibat ulah manusia (man made disaster) selalu terjadi berulang di Indonesia.
Jika sedari awal sudah ada kontrak lingkungan, maka sangat jelas hak dan kewajiban korporasi terhadap ekploitasi sumber daya alam (SDA). Ketiadaan dari eco contract, menyebabkan lemahnya tuntutan kepada korporasi yang melakukan kesalahan dalam operasional perusahaannya, seperti kelalaian yang menyebabkan polusi pencemaran udara. Eco-cotract sendiri sebenarnya adalah hukum bagi dua pihak, sebagai kesepakatan bersama yang dapat dijadikan dasar untuk meminta pertanggungjawaban para pihak.
Di penghujung diskusi, kedua narasumber kembali mengingatkan, bahwa sebaiknya yang menjadi fokus yang digugat adalah pemilik lahan yang luas, dalam hal ini korporasi, sebagai pelaku kejahatan lingkungan, bukan malah meminta ganti rugi kepada pemerintah.(rls)