Minggu, 7 Juli 2024

Masa Depan Dunia Kartun Riau (2)

Melihat Kartun Opini sebagai Produk Pers

Kartun opini adalah produk pers yang diakui termasuk dalam penghargaan Pulitzer. Sayangnya kini sinarnya semakin memudar seiring kurangnya ruang yang disediakan.

RIAUPOS.CO – AKADEMISI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sultan Syarif Kasim (Suska) Riau, Dr Muhammad Badri, buku Pemilu Lalu: Kartun Opini 2014-2019 karya Furqon Elwe, adalah buku penting bagi dunia kartun dan jurnalistik di Riau, bahkan di Indonesia. Menurutnya, Furqon membuat kartun kritik sosial dan politik dengan berbagai tema seperti polarisasi masyarakat, politik uang, kampanye, dan berbagai macam isu politik lainnya.

- Advertisement -

Kartun itu dibuat masih dengan ciri khasnya Furqon, yakni kartun hitam putih hasil goresan pena manual. Justru itu menurutnya yang menjadi daya tariknya. Seperti kartun-kartun GM Sudarta di Kompas. Secara pribadi, untuk kartun editorial lebih suka yang hitam putih dibuat dengan manual, meskipun sederhana, pesannya lebih kuat.

Badri menganggap karya Furqon tersebut bisa disebut sebagai genre jurnalisme kartun. Menurutnya, jurnalisme memiliki beragam genre, salah satunya yang dikenal dengan jurnalisme kartun, ada juga jurnalisme komik yang juga menjadi bagian dari sejarah pers. Untuk jurnalisme kartun, merupakan penggambaran untuk produk kartun editorial di media massa, terutama media cetak. Jurnalisme kartun atau kartun editorial merupakan ekspresi seni dan komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan mengenai berbagai isu sosial, politik, ekonomi, atau budaya melalui gambar-gambar humor dan satir.

“Jurnalisme kartun menjadi bagian penting dari sejarah pers dunia, termasuk pers Indonesia. Kartun bahkan menjadi bagian editorial pers di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan, awal kemerdekaan, hingga era senjakala media cetak seperti saat ini,” kata Badri, Kamis (8/2/2024), pekan lalu.

- Advertisement -

Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut menjelaskan, kartun editorial bisa dikategorikan jurnalisme kartun karena merupakan konstruksi realitas. Seorang kartunis editorial membuat kartun tidak berasal dari imajinasi fiksi, tetapi dari fakta, seperti topik berita utama atau isu kekinian, dan sebagainya. Fakta itu oleh kartunis kemudian divisualkan menjadi kartun, sedang oleh jurnalis tulis dibuat berita, oleh fotografer dibuat foto berita. Penegasan kartun editorial sebagai produk jurnalisme juga dapat dilihat dari adanya kategori “kartun editorial” pada penghargaan jurnalisme paling bergengsi, Pulitzer.

Dalam diskusi buku Pemilu Lalu: Kartun Opini 2014-2019 pada 3 Februari 2024 yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru di Begawai Institut, Anjungan Kampar, Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), Pekanbaru, secara umum Badri menyampaikan apresiasi terhadap Furqon yang konsisten dan tunak berkarya menjadi kartunis. Bahkan menjadi kartunis di Riau Pos sejak 1991, sudah lebih tiga dekade.

Terbitnya buku kumpulan kartun itu menjadi karya penting ketika orang-orang nanti membicarakan perkembangan kartun di Riau. Tidak banyak kartunis editorial yang kemudian membukukan karyanya. Melihat ketunakan berkarya selama itu, tidak berlebihan kalau dikatakannya bahwa Furqon merupakan legenda kartun editorial di Riau.

“Dalam sejarah pers Indonesia, beberapa media cetak pun memiliki legenda kartunisnya sendiri, sebut saja Bintang Timur memiliki A Sibarani, Kompas memiliki GM Sudarta, maka Riau Pos memiliki Furqon LW,” ujar lelaki kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini.

Badri menjelaskan, sebenarnya banyak sekali yang bisa membuat kartun di Riau, jika melihat banyaknya anak-anak muda sekarang yang membuat komik strip di media sosial, terutama Instagram. Apalagi di era digital banyak perangkat dan aplikasi pendukung berkarya, sehingga banyak muncul kreator konten lokal dengan basis karya kartun atau komik digital. Tapi tidak banyak yang menekuni kartun editorial. Terbitnya buku kumpulan kartun itu menjadi oase di tengah keringnya karya kartun editorial atau sebut saja jurnalisme kartun di Riau tersebut.

Baca Juga:  Sekda Ikut Padamkan Api

Badri sendiri pernah menjadi kartunis pada periode 2003-2007. Dia pernah menjadi pembuat kartun editorial di sebuah media mingguan di Pekanbaru. Pernah juga menjuarai lomba karikatur se-Riau yang diadakan salah satu korporasi dengan tema pemberdayaan. Tapi dunia kartun tidak dia tekuni dengan baik, dan karya-karya kartunnya juga tidak terdokumentasi. Pernah karya-karya tersebut dipindainya dalam file untuk diterbitkan namun akhirnya terbuang begitu saja.

“Saya pernah menekuni agak lama, tetapi saya merasa tak berbakat,” ujarnya sambil tertawa.
Menurut mantan aktivis pers mahasiswa di Universitas Islam Riau (UIR) ini, kartun bisa menjadi sarana kritik sosial dan politik. Sebab, meskipun bersifat humor, kartun mampu memicu pemikiran kritis terhadap realitas sosial dan politik. Kritik melalui kartun, meskipun penggambarannya dengan gaya humor, pesannya bisa sangat tajam. Bahkan tidak sedikit kartun yang membuat marah pihak yang dikritik. Sebagai contoh, Riau Pos pernah didatangi preman penguasa parkir gara-gara tidak terima dengan kartun Furqon. Jadi, kartunis dapat melakukan kritik sosial politik dengan cara yang ringan, namun tetap efektif. Mengutip Doug Marlette, kartunis pemenang Pulitzer, keuntungan utama kartun adalah mampu mengomunikasikan pendapat dengan sangat cepat.

Dibanding dengan kartun editorial media Barat (misalnya majalah kartun Carlie Hebdo di Prancis) yang lebih bebas dan sering keblablasan dalam mengkritik atau satire-nya, menurut Badri, di Indonesia masih dalam batas-batas yang wajar. Dia tidak sepakat dengan kebebasan yang tanpa batas dalam berkarya, mengabaikan norma dan etika, moral maupun spiritual.

“Kita, meskipun bebas, masih ada batas-batasnya. Apalagi kalau kartunis berkarya di media sosial, tentunya yang membatasi UU ITE, sehingga harus lebih hati-hati. Kalau kartunis editorial di media massa regulasinya UU Pers,” jelas lelaki yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi AKLaMASI, surat kabar mahasiswa UIR ini.

Dunia kartun secara umum saat ini, menurut Badri, banyak generasi muda yang menekuninya, berkarya di media sosial, bahkan memperoleh pendapatan dari sana. Tapi kalau kartun editorial, dia pesimis ke depan lahir kartunis-kartunis baru, selama media massa baik cetak maupun online tidak menyediakan ruang untuk kartun editorial. Sebab, berkarya di media massa lebih dilindungi dengan adanya UU Pers. Berbeda dengan berkarya di media sosial, kita mesti hati-hati.

Pada bagian lain, Ketua AJI Pekanbaru, Eko Faizin, menilai, dalam buku yang diterbitkannya, Furqon mencoba membingkai kejadian politik dari 2014-2019 secara jenaka dan satir dalam sebuah kartun opini. Dalam buku kumpulan kartun ini, terdapat banyak potret politik baik lokal maupun nasional yang menurutnyatidak semua bisa dijelaskan lewat narasi. Buku tersebut merekam kejadian “pinggiran” situasi politik dari Pilgub Riau hingga Pilpres Indonesia yang diwarnai dengan berbagai intrik dari sudut oposisi.

Tentang penggunaan jurnalisme kartun, Eko lebih hati-hati, karena masih bisa diperdebatkan. Kartun opini di media massa masih dipahami sebagai produk jurnalistik seperti halnya opini dan tajuk rencana. Penggunaan istilah jurnalisme kartun pada diskusi waktu itu dibuat untuk menarik audiens. Meski demikian, jurnalisme kartun perlu didiskusikan lagi seperti halnya jurnalisme komik yang sempat digaungkan beberapa waktu lalu.

“Jurnalisme kartun bisa jadi model menarik dalam dunia jurnalistik yang adaptif terhadap perkembangan zaman,” kata Eko.

Dalam diskusi 3 Februari itu, secara umum Eko menjelaskan bahwa media arus utama sudah jarang menampilkan rubrik kartun opini/editorial sehingga kartunisnya beralih ke media sosial agar tetap bisa berkarya. Hal ini membuat pembuatnya harus bertanggung jawab secara pribadi karena harus paham UU ITE. Dengan risiko yang memuat kritikan pihak tertentu, kartunis harus lebih berhati-hati dalam berkarya.

Baca Juga:  Kapolda Iqbal Minta Dukungan Mahasiswa

Lelaki yang kini menjadi Kepala Biro Suara.com untuk Riau itu menjelaskan bahwa perkembangan dunia kartu di Riau saat ini masih stagnan karena perlu keahlian khusus dan kurangnya regenerasi. Selain itu, masyarakat belum paham kegunaan kartun secara luas. Padahal bisa digunakan untuk sarana kampanye, sosialisasi produk, dan sebagainya.

Selain itu, katanya, kartun juga bisa menjadi sarana kritik, bidang apa saja. Baik itu sosial, politik dan lainnya. Kartun cenderung atraktif digunakan untuk sarana kritik dan bisa dinikmati semua kalangan. Kartun juga cenderung aman sebagai sarana kritik. Selain itu bisa diaplikasikan ke berbagai media pamer.

Soal kebebasan kartun yang terjadi di Eropa, atau negara Barat, Eko melihatnya ada perbedaan signifikan dengan di Indonesia. Menurutnya, adab ketimuran dan SARA masih menjadi pertimbangan untuk berkarya, begitu juga dalam kartun opini. Secara pribadi dia berpendapat, hal-hal seperti itu memang harus jadi landasan para kartunis di Indonesia, agar tidak keblalasan dengan makna kebebasan. Kritik sebuah kartun, kata dia, tidak harus menyinggung SARA. Hal tersebut harus dihindari karena kartun (gambar), setiap orang berbeda-beda menerjemahkannya. Menghindari penggunaan simbol-simbol tertentu yang memicu masalah harus diperhatikan.

“Sedangkan di Barat, kartun opini cenderung keras hingga menyenggol SARA, sengaja dibuat untuk memicu polemik, atas nama kebebasan berpendapat. Namun bukan untuk hiburan atau mengkritik sesuatu lewat visual,” ujar lelaki yang pernah menjadi tim visual dan perwajahan Riau Pos ini.

Eko melihat, kartun opini/editorial menjadi langka seiring berkurangnya media arus utama yang menyediakan space atau kolom untuknya. Pembuatnya sekarang beralih ke media sosial untuk memamerkan karya kartunnya. Kartunis opini pun sudah jarang, bahkan  cenderung hilang karena butuh keahlian khusus berkenaan dengan jam terbang. Sementara kartun secara luas mengalami perkembangan sejalan dengan ruang visual yang hadir. Bahkan, termasuk di Riau, kartun mulai memasuki industri yang perlu dukungan pemerintah daerah.

Ketua KPU Riau, Ilham M Yasir, memuji Furqon atas karya-karyanya. Kartun-kartun ataupun karikatur yang dibuat Furqon, menurutnya, memberi cara pandang berbeda dirinya dalam menjalan kesibukan sebagai penyelenggara pemilu.

Kata Ilham, ada sisi lain yang dia dapatkan dari buku tersebut. Menurutnya, Furqon membuat tema-tema pinggirian yang menarik untuk dilihat. 2019 itu Pemilu yang sangat komplek dan lebih menarik, bagaimana masyarakat terbelah, politik uang dan lainnya. Namun, pembaca bisa tertawa ketika segala peristiwa itu ditampilkan dengan penuh makna, aktual namun menggelitik.

“Ketika melihat buku ini, saya menjadi ingat dengan berbagai isu bagaimana hebat dan kompleksnya pemilu ketika itu,” jelas lelaki yang juga mantan wartawan Riau Pos ini.

Sementara itu budayawan dan wartawan senior, Rida K Liamsi, mengatakan, profesi kartunis opini/editorial adalah profesi yang langka karena dia bukan hanya sekadar bisa menggambar kartun, tapi menyuarakan aspirasi pembaca koran melalui pesan di kartunnya. Kartunisnya harus terus menambah wawasan dengan mengikuti perkembangan informasi di medianya maupun di masyarakat. Ini yang membedakannya dengan profesi kartunis lain atau komikus.

“Menjadi kartunis opini yang bermuatan kritik juga menjadikannya profesi jalan sunyi seperti penyair,” kata tokoh pers Riau dan Kepulauan Riau ini.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Kartun opini adalah produk pers yang diakui termasuk dalam penghargaan Pulitzer. Sayangnya kini sinarnya semakin memudar seiring kurangnya ruang yang disediakan.

RIAUPOS.CO – AKADEMISI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sultan Syarif Kasim (Suska) Riau, Dr Muhammad Badri, buku Pemilu Lalu: Kartun Opini 2014-2019 karya Furqon Elwe, adalah buku penting bagi dunia kartun dan jurnalistik di Riau, bahkan di Indonesia. Menurutnya, Furqon membuat kartun kritik sosial dan politik dengan berbagai tema seperti polarisasi masyarakat, politik uang, kampanye, dan berbagai macam isu politik lainnya.

Kartun itu dibuat masih dengan ciri khasnya Furqon, yakni kartun hitam putih hasil goresan pena manual. Justru itu menurutnya yang menjadi daya tariknya. Seperti kartun-kartun GM Sudarta di Kompas. Secara pribadi, untuk kartun editorial lebih suka yang hitam putih dibuat dengan manual, meskipun sederhana, pesannya lebih kuat.

Badri menganggap karya Furqon tersebut bisa disebut sebagai genre jurnalisme kartun. Menurutnya, jurnalisme memiliki beragam genre, salah satunya yang dikenal dengan jurnalisme kartun, ada juga jurnalisme komik yang juga menjadi bagian dari sejarah pers. Untuk jurnalisme kartun, merupakan penggambaran untuk produk kartun editorial di media massa, terutama media cetak. Jurnalisme kartun atau kartun editorial merupakan ekspresi seni dan komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan mengenai berbagai isu sosial, politik, ekonomi, atau budaya melalui gambar-gambar humor dan satir.

“Jurnalisme kartun menjadi bagian penting dari sejarah pers dunia, termasuk pers Indonesia. Kartun bahkan menjadi bagian editorial pers di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan, awal kemerdekaan, hingga era senjakala media cetak seperti saat ini,” kata Badri, Kamis (8/2/2024), pekan lalu.

Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut menjelaskan, kartun editorial bisa dikategorikan jurnalisme kartun karena merupakan konstruksi realitas. Seorang kartunis editorial membuat kartun tidak berasal dari imajinasi fiksi, tetapi dari fakta, seperti topik berita utama atau isu kekinian, dan sebagainya. Fakta itu oleh kartunis kemudian divisualkan menjadi kartun, sedang oleh jurnalis tulis dibuat berita, oleh fotografer dibuat foto berita. Penegasan kartun editorial sebagai produk jurnalisme juga dapat dilihat dari adanya kategori “kartun editorial” pada penghargaan jurnalisme paling bergengsi, Pulitzer.

Dalam diskusi buku Pemilu Lalu: Kartun Opini 2014-2019 pada 3 Februari 2024 yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru di Begawai Institut, Anjungan Kampar, Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), Pekanbaru, secara umum Badri menyampaikan apresiasi terhadap Furqon yang konsisten dan tunak berkarya menjadi kartunis. Bahkan menjadi kartunis di Riau Pos sejak 1991, sudah lebih tiga dekade.

Terbitnya buku kumpulan kartun itu menjadi karya penting ketika orang-orang nanti membicarakan perkembangan kartun di Riau. Tidak banyak kartunis editorial yang kemudian membukukan karyanya. Melihat ketunakan berkarya selama itu, tidak berlebihan kalau dikatakannya bahwa Furqon merupakan legenda kartun editorial di Riau.

“Dalam sejarah pers Indonesia, beberapa media cetak pun memiliki legenda kartunisnya sendiri, sebut saja Bintang Timur memiliki A Sibarani, Kompas memiliki GM Sudarta, maka Riau Pos memiliki Furqon LW,” ujar lelaki kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini.

Badri menjelaskan, sebenarnya banyak sekali yang bisa membuat kartun di Riau, jika melihat banyaknya anak-anak muda sekarang yang membuat komik strip di media sosial, terutama Instagram. Apalagi di era digital banyak perangkat dan aplikasi pendukung berkarya, sehingga banyak muncul kreator konten lokal dengan basis karya kartun atau komik digital. Tapi tidak banyak yang menekuni kartun editorial. Terbitnya buku kumpulan kartun itu menjadi oase di tengah keringnya karya kartun editorial atau sebut saja jurnalisme kartun di Riau tersebut.

Baca Juga:  Turunkan 200 Ribu Tim Pendamping untuk Pelayanan KB

Badri sendiri pernah menjadi kartunis pada periode 2003-2007. Dia pernah menjadi pembuat kartun editorial di sebuah media mingguan di Pekanbaru. Pernah juga menjuarai lomba karikatur se-Riau yang diadakan salah satu korporasi dengan tema pemberdayaan. Tapi dunia kartun tidak dia tekuni dengan baik, dan karya-karya kartunnya juga tidak terdokumentasi. Pernah karya-karya tersebut dipindainya dalam file untuk diterbitkan namun akhirnya terbuang begitu saja.

“Saya pernah menekuni agak lama, tetapi saya merasa tak berbakat,” ujarnya sambil tertawa.
Menurut mantan aktivis pers mahasiswa di Universitas Islam Riau (UIR) ini, kartun bisa menjadi sarana kritik sosial dan politik. Sebab, meskipun bersifat humor, kartun mampu memicu pemikiran kritis terhadap realitas sosial dan politik. Kritik melalui kartun, meskipun penggambarannya dengan gaya humor, pesannya bisa sangat tajam. Bahkan tidak sedikit kartun yang membuat marah pihak yang dikritik. Sebagai contoh, Riau Pos pernah didatangi preman penguasa parkir gara-gara tidak terima dengan kartun Furqon. Jadi, kartunis dapat melakukan kritik sosial politik dengan cara yang ringan, namun tetap efektif. Mengutip Doug Marlette, kartunis pemenang Pulitzer, keuntungan utama kartun adalah mampu mengomunikasikan pendapat dengan sangat cepat.

Dibanding dengan kartun editorial media Barat (misalnya majalah kartun Carlie Hebdo di Prancis) yang lebih bebas dan sering keblablasan dalam mengkritik atau satire-nya, menurut Badri, di Indonesia masih dalam batas-batas yang wajar. Dia tidak sepakat dengan kebebasan yang tanpa batas dalam berkarya, mengabaikan norma dan etika, moral maupun spiritual.

“Kita, meskipun bebas, masih ada batas-batasnya. Apalagi kalau kartunis berkarya di media sosial, tentunya yang membatasi UU ITE, sehingga harus lebih hati-hati. Kalau kartunis editorial di media massa regulasinya UU Pers,” jelas lelaki yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi AKLaMASI, surat kabar mahasiswa UIR ini.

Dunia kartun secara umum saat ini, menurut Badri, banyak generasi muda yang menekuninya, berkarya di media sosial, bahkan memperoleh pendapatan dari sana. Tapi kalau kartun editorial, dia pesimis ke depan lahir kartunis-kartunis baru, selama media massa baik cetak maupun online tidak menyediakan ruang untuk kartun editorial. Sebab, berkarya di media massa lebih dilindungi dengan adanya UU Pers. Berbeda dengan berkarya di media sosial, kita mesti hati-hati.

Pada bagian lain, Ketua AJI Pekanbaru, Eko Faizin, menilai, dalam buku yang diterbitkannya, Furqon mencoba membingkai kejadian politik dari 2014-2019 secara jenaka dan satir dalam sebuah kartun opini. Dalam buku kumpulan kartun ini, terdapat banyak potret politik baik lokal maupun nasional yang menurutnyatidak semua bisa dijelaskan lewat narasi. Buku tersebut merekam kejadian “pinggiran” situasi politik dari Pilgub Riau hingga Pilpres Indonesia yang diwarnai dengan berbagai intrik dari sudut oposisi.

Tentang penggunaan jurnalisme kartun, Eko lebih hati-hati, karena masih bisa diperdebatkan. Kartun opini di media massa masih dipahami sebagai produk jurnalistik seperti halnya opini dan tajuk rencana. Penggunaan istilah jurnalisme kartun pada diskusi waktu itu dibuat untuk menarik audiens. Meski demikian, jurnalisme kartun perlu didiskusikan lagi seperti halnya jurnalisme komik yang sempat digaungkan beberapa waktu lalu.

“Jurnalisme kartun bisa jadi model menarik dalam dunia jurnalistik yang adaptif terhadap perkembangan zaman,” kata Eko.

Dalam diskusi 3 Februari itu, secara umum Eko menjelaskan bahwa media arus utama sudah jarang menampilkan rubrik kartun opini/editorial sehingga kartunisnya beralih ke media sosial agar tetap bisa berkarya. Hal ini membuat pembuatnya harus bertanggung jawab secara pribadi karena harus paham UU ITE. Dengan risiko yang memuat kritikan pihak tertentu, kartunis harus lebih berhati-hati dalam berkarya.

Baca Juga:  Mandi Belimau Sambut Ramadan

Lelaki yang kini menjadi Kepala Biro Suara.com untuk Riau itu menjelaskan bahwa perkembangan dunia kartu di Riau saat ini masih stagnan karena perlu keahlian khusus dan kurangnya regenerasi. Selain itu, masyarakat belum paham kegunaan kartun secara luas. Padahal bisa digunakan untuk sarana kampanye, sosialisasi produk, dan sebagainya.

Selain itu, katanya, kartun juga bisa menjadi sarana kritik, bidang apa saja. Baik itu sosial, politik dan lainnya. Kartun cenderung atraktif digunakan untuk sarana kritik dan bisa dinikmati semua kalangan. Kartun juga cenderung aman sebagai sarana kritik. Selain itu bisa diaplikasikan ke berbagai media pamer.

Soal kebebasan kartun yang terjadi di Eropa, atau negara Barat, Eko melihatnya ada perbedaan signifikan dengan di Indonesia. Menurutnya, adab ketimuran dan SARA masih menjadi pertimbangan untuk berkarya, begitu juga dalam kartun opini. Secara pribadi dia berpendapat, hal-hal seperti itu memang harus jadi landasan para kartunis di Indonesia, agar tidak keblalasan dengan makna kebebasan. Kritik sebuah kartun, kata dia, tidak harus menyinggung SARA. Hal tersebut harus dihindari karena kartun (gambar), setiap orang berbeda-beda menerjemahkannya. Menghindari penggunaan simbol-simbol tertentu yang memicu masalah harus diperhatikan.

“Sedangkan di Barat, kartun opini cenderung keras hingga menyenggol SARA, sengaja dibuat untuk memicu polemik, atas nama kebebasan berpendapat. Namun bukan untuk hiburan atau mengkritik sesuatu lewat visual,” ujar lelaki yang pernah menjadi tim visual dan perwajahan Riau Pos ini.

Eko melihat, kartun opini/editorial menjadi langka seiring berkurangnya media arus utama yang menyediakan space atau kolom untuknya. Pembuatnya sekarang beralih ke media sosial untuk memamerkan karya kartunnya. Kartunis opini pun sudah jarang, bahkan  cenderung hilang karena butuh keahlian khusus berkenaan dengan jam terbang. Sementara kartun secara luas mengalami perkembangan sejalan dengan ruang visual yang hadir. Bahkan, termasuk di Riau, kartun mulai memasuki industri yang perlu dukungan pemerintah daerah.

Ketua KPU Riau, Ilham M Yasir, memuji Furqon atas karya-karyanya. Kartun-kartun ataupun karikatur yang dibuat Furqon, menurutnya, memberi cara pandang berbeda dirinya dalam menjalan kesibukan sebagai penyelenggara pemilu.

Kata Ilham, ada sisi lain yang dia dapatkan dari buku tersebut. Menurutnya, Furqon membuat tema-tema pinggirian yang menarik untuk dilihat. 2019 itu Pemilu yang sangat komplek dan lebih menarik, bagaimana masyarakat terbelah, politik uang dan lainnya. Namun, pembaca bisa tertawa ketika segala peristiwa itu ditampilkan dengan penuh makna, aktual namun menggelitik.

“Ketika melihat buku ini, saya menjadi ingat dengan berbagai isu bagaimana hebat dan kompleksnya pemilu ketika itu,” jelas lelaki yang juga mantan wartawan Riau Pos ini.

Sementara itu budayawan dan wartawan senior, Rida K Liamsi, mengatakan, profesi kartunis opini/editorial adalah profesi yang langka karena dia bukan hanya sekadar bisa menggambar kartun, tapi menyuarakan aspirasi pembaca koran melalui pesan di kartunnya. Kartunisnya harus terus menambah wawasan dengan mengikuti perkembangan informasi di medianya maupun di masyarakat. Ini yang membedakannya dengan profesi kartunis lain atau komikus.

“Menjadi kartunis opini yang bermuatan kritik juga menjadikannya profesi jalan sunyi seperti penyair,” kata tokoh pers Riau dan Kepulauan Riau ini.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari