(RIAUPOS.CO) — Tatapan mata RL (17) menerawang jauh, sesekali dia melihat pergelangan tangan kirinya. Ada bekas luka sayat yang belum mengering di sana. Dia pun menghela nafas panjang. Remaja berkulit putih ini hanya tersenyum getir saat disambangi Riau Pos di kediamannya di Kota Duri, Kecamatan Mandau, Jumat sore (10/1). Anak kedua dari lima bersaudara ini mengambil jalan pintas berupaya mengakhiri hidupnya pada akhir November lalu karena sudah tak tahan melihat kedua orangtuanya yang selalu bertengkar.
Pertengkaran orangtuanya jugalah yang membuat RL memilih tidak melanjutkan pendidikan, dan memilih hidup bebas, bergaul dengan anak-anak yang bernasib sama dengannya korban broken home.
"Ngak tahan lihat papa-mama bertengkar terus, tiap hari tiada tanpa pertengkaran. Aku sudah memilih jalan seperti ini, aku pikir semuanya akan lebih baik, ternyata tidak. Justru mereka bercerai setelah aku pulang dari rumah sakit," ujar gadis yang memilih berhijab ini.
RL selamat berkat kakaknya Ad (19) yang mengetahui kondisi RL dan melarikannya ke rumah sakit dibantu tetangga. Ad jugalah yang selalu memberikan semangat padanya dan adik-adiknya agar selalu bersama menghadapi semua permasalahan yang timbul pada anggota keluarga.
Setelah kedua orang tua RL bercerai, otomatis tanggung jawab penuh dipikul Ad. Karena kedua orang tua mereka sudah menikah kembali. "Kalau tidak ada Ad, aku ngak tahu bagaimana nasibku. Dia jugalah yang selalu memberikan semangat untuk terus hidup dan belajar menghadapi kenyataan dengan berserah pada Allah. Alhamdulillah, kejadian ini justru mendekatkan aku pada Sang Khalik dan adik-adik. Mereka terus menyemangati aku bahwasanya masa depanku masih panjang," kata wanita bertahi lalat di pipi ini.
Walaupun sempat putus sekolah, saudaranya yang lain memintanya untuk melanjutkan kembali pendidikannya yang sempat terhenti.
Ad yang mendampingi RL saat itu mengajarkan adik-adiknya dan anak-anak sekitar mengaji. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Duri ini menyadari agama dan keluarga benteng terkuat upaya pencegahan bunuh diri.
"Saat melihat RL melakukan tindakan tersebut, saya sangat panik. Ada ketakutan yang sangat kuat di wajah adik-adik. Karena itu aku banyak membaca artikel tentang bagaimana menangani korban kasus seperti ini. Tapi dari semua itu, agama dan keluargalah yang menjadi benteng terkuat agar tidak terjadi tindakan seperti ini dalam anggota keluarga," katanya.
Berdasarkan data yang dirangkum, World Health Organization (WHO) menyatakan lebih dari 800.000 orang di seluruh dunia meninggal akibat bunuh diri setiap tahun. Tingkat bunuh diri di Indonesia berada pada peringkat ke-6 di Asia.Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2018, 6,1 persen penduduk usia lebih dari 15 tahun menderita depresi, hanya 9 persen penderita yang menjalani pengobatan atau perawatan medis. Sisanya,91 persen, tidak menjalani tindakan yang memadai untuk kesembuhannya.
WHO memprediksi bahwa di 2020 akan terjadi ledakan depresi di Indonesia. Perlu diketahui depresi yang tidak tertanggani akan megakibatkan tindakan bunuh diri.
Spesialis kesehatan jiwa dr Nalini Muhdi, SpKJ (K) mengatakan, kasus bunuh diri di Indonesia seperti fenomena gunung es. Hanya kasus kematian akibat bunuh diri yang selama ini tercatat, sementara kasus percobaan bunuh diri banyak yang tak terdata.
"Maka dari itu, pencegahan bunuh diri harus digaungkan mulai sekarang. Salah satu yang bisa dilakukan untuk mencegah bunuh diri di Indonesia adalah mengadakan pelatihan gatekeeper atau pendamping," ujar Nalini, dalam acara Prevent Suicide Now yang diselenggarakan oleh SMF Kesehatan Jiwa RSUD Dr Soetomo beberapa waktu lalu.
Nalini menjelaskan, gatekeeper nantinya bertugas untuk mendampingi dan mendengarkan keluh kesah tanpa harus menghakimi.
Selain itu, gatekeeper juga mempunyai tugas untuk mencarikan tenaga profesional, dalam hal ini psikiater. Lalu, mengantarkan ke tenaga ahli kalau dalam 2 x 24 jam bila keadaan tidak ada perubahan.
Lanjut Nalini, gatekeeper tidak harus dari tenaga medis. Justru yang penting ialah dari masyarakat atau orang terdekat.
"Dokter hanya menemani beberapa jam saja. Sisanya tugas keluarga dan orang terdekat. Jadi, untuk menjadi gatekeeper semua orang yang berkeinginan menolong orang lain dipersilakan," katanya.
Sebelum orang bertindak untuk bunuh diri pasti ada waktu jeda. “Untuk itu bila setiap orang mampu menjadi gatekeeper bagi orang dekatnya, tentu angka bunuh diri bisa ditekan dengan bantuan dari semua lapisan masyarakat," katanya.
Seseorang yang berupaya melakukan bunuh diri sebenarnya berada dalam situasi kekosongan, keputusasaan, dan ketidakbermaknaan. Pada situasi seperti ini sebenarnya mereka memerlukan pertolongan dan karenanya intervensi tepat waktu menjadi kunci dari upaya pencegahan bunuh diri. Namun demikian, bunuh diri adalah masalah yang kompleks. Tidak ada pendekatan tunggal yang dapat berdampak pada bunuh diri sehingga upaya pencegahan harus komprehensif serta terintegrasi antara berbagai sektor.
Bunuh diri adalah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri sendiri. Pada umumnya bunuh diri dikaitkan dengan gangguan mental, seperti depresi dan penggunaan alkohol. Namun, banyak pula kasus bunuh diri terjadi secara impulsif karena ketidakmampuan seseorang mengatasi tekanan hidup. Mengalami konflik, bencana, kekerasan, pelecehan, kehilangan dan rasa keterasingan ikut berkontribusi terhadap perilaku bunuh diri. Tingkat bunuh diri yang tinggi turut dialami kelompok rentan terdiskriminasi, seperti pengungsi, masyarakat adat, lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks (LGBTI), serta tahanan. Sejauh ini faktor risiko terkuat untuk bunuh diri adalah upaya bunuh diri sebelumnya. Sementara meminum pestisida, gantung diri, serta menembak dengan senjata api adalah metode bunuh diri yang paling umum digunakan.
Hasil penelitian YouGov yang dipaparkan pada 2019 menguatkan dugaan ini. Sebanyak 27 persen orang Indonesia telah mengalami pikiran untuk bunuh diri, 21persen jarang memiliki pikiran untuk bunuh diri, dan 6 persen sering mengalaminya. Wanita cenderung mengalami hal ini lebih banyak daripada pria, yaitu 33 persen banding 22 persen (id.yougov.com, tt). Hasil penelitian ini merepresentasikan potensi orang Indonesia melakukan bunuh diri, yaitu melalui pemikiran-pemikiran bunuh diri. Sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh WHO secara global, di Indonesia, orang-orang usia produktif termasuk yang paling rentan melakukan bunuh diri. Masih berdasarkan hasil penelitian YouGov (2019), pemuda Indonesia, yaitu berusia 18 hingga 24 tahun, memiliki tingkat pemikiran bunuh diri yang lebih tinggi daripada mereka yang berusia 55 tahun ke atas, yaitu 33 persen banding 20 persen. Sebanyak 36 persen orang Indonesia terlibat dalam perilaku melukai diri sendiri. Ini sangat lazim bagi pemuda Indonesia, dengan 45 persen di antaranya mengakui telah melukai diri sendiri. Sejumlah 15 persen telah mengalami beberapa bentuk masalah kesehatan mental dalam hidup mereka. Pemuda Indonesia enam kali lebih mungkin memiliki masalah kesehatan mental dibandingkan mereka yang berusia 45 tahun ke atas, yaitu 24 persen banding 4 persen (id.yougov.com, tt).
Self Injury adalah mencederai tubuh sendiri dengan disengaja, dengan maksud tertentu, dan tidak dapat diterima secara sosial, tanpa niat bunuh diri (Klonsky, 2007; di dalam Miller, 2010). Self injury juga sering dikenal dengan istilah NSSI atau Non-Suicidal Self-Injury (Nock, 2009; di dalam Miller, 2010). Tindakan Self Injury bisa dalam bentuk mengamputasi anggota tubuh (jarang terjadi kecuali bila mengalami psikotik), menghantam-hantamkan kepala ke tembok, menyayat pergelangan tangan/paha bagian dalam/lengan atas, mencabuti rambut, mematahkan tulang, dan lain-lain.
Self Injury umumnya dilakukan secara rahasia (jarang memberi tahu orang lain). Sehingga biasanya seseorang yang melakukan Self Injury seringkali menutupi luka akibat Self Injury dengan pakaian, perhiasan, atau perban. Self Injury dapat terjadi di usia berapa pun. Namun Self Injury lebih sering muncul sejak masa perkembangan remaja (Nixon & Heath, 2009; di dalam Miller, 2010).
Begitu seorang remaja mencoba melakukan Self Injury, maka remaja tersebut kemungkinan besar akan ketergantungan dengan Self Injury dalam mengelola emosi negatifnya. Hal ini dikarenakan seorang remaja biasanya masih belum cukup memiliki cara untuk meredakannya. Self Injury juga sering dijumpai pada seseorang dengan diagnosa Borderline Personality Disorder, gangguan suasana hati, gangguan makan, gangguan stress paska trauma, kecemasan, gangguan kontrol impuls, dan gangguan obsesif kompulsif.
Tujuan lain seseorang melakukan Self Injury adalah sebagai cara mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat mereka ceritakan. Misal: sebagai cara mereka meminta pertolongan dan sebagai cara menggambarkan perasaan menyakitkan di dalam diri. Seseorang juga melakukan Self Injury dengan tujuan menjadikan Self Injury sebagai bentuk menghukum diri ("jika saya menyakiti diri, maka tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi : biasanya ini terjadi ketika seseorang mengalami kilas balik trauma).
"Kita dapat mengetahui penyebab seseorang melakukan Self Injury dengan cara memahami dinamika hubungan antara faktor-faktor lingkungan, biologis, kognitif, afektif, dan tingkah laku seseorang. Faktor lingkungan misalnya: adanya anggota keluarga yang memiliki riwayat gangguan jiwa, Self Injury, atau bunuh diri; mengalami konflik dalam hubungan; memiliki teman sebaya yang melakukan Self Injury; mengalami pelecehan seksual, dll. Faktor biologis misalnya: disfungsi sistem limbik, disfungsi level serotonin, menurunnya sensitifitas terhadap rasa sakit, dll. Faktor kognitif misalnya: memiliki pikiran dan keyakinan pesimis ("tidak ada yang memahami saya, hanya Self Injury yang dapat meredakan perasaan saya")," ujar Psikolog RS Awal Bros Pekanbaru Afnida MPsi.
Cara Menghentikan Tindakan Self Injury
Kelilingi dirimu dengan benda-benda yang memiliki arti positif bagimu, misalnya: foto seseorang yang Anda sayangi, catatan berisi ungkapan cinta/dukungan dari dirimu sendiri maupun dari keluarga atau teman, aromaterapi yang dapat menenangkan dirimu.
Alihkan pikiranmu dari tindakan Self Injury dengan mendengarkan musik, menggambar, atau menulis. Visualisasikan dirimu sedang mengatasi perasaan menyakitkan tanpa menggunakan Self Injury.
Atur ulang pikiran-pikiranmu: "Sebenarnya saya sedang marah pada siapa? Apa yang membuat saya merasa begitu sedih? Saya merasa aman karena saya memegang kendali."
Kenali situasi seperti apa saja yang memicu Anda untuk melakukan Self Injury. Mintalah bantuan dari orang lain untuk membantumu.
Ketika masih ada keinginan untuk merasakan sensasi menyakiti diri. Gunakanlah cara lainnya yang tidak separah Self Injury. Misalnya: memegang es batu, merobek-robek kertas, menghisap irisan lemon, atau memukul-mukul bantal.
Lakukan olah tubuh, seperti berlari, menari, lompat tali, yoga, dan lain-lain.
Maafkanlah diri Anda yang pernah melakukan tindakan Self Injury. Maafkanlah diri Anda yang mungkin mengalami beberapa kali kegagalan ketika ingin berhenti Self Injury. Karena meskipun Self Injury dapat diobati namun sesungguhnya itu tidak mudah dan memerlukan proses.
Pertimbangkan untuk menemui psikolog atau psikiater bila Anda masih kesulitan untuk mengendalikan dorongan melakukan Self Injury.
Apa yang sebaiknya dilakukan oleh keluarga, teman, guru bila mengetahui ada seseorang melakukan tindakan Self Injury?
Bila Self Injury diketahui terjadi di sekolah, maka segera arahkan anak untuk menemui guru BK, atau psikolog, atau pekerja sosial yang ditunjuk oleh sekolah. Buat kesepakatan dengan orang tua agar anak dapat menjalani sesi konseling. Jagalah privasi anak, jangan memarahi atau menertawakan anak di depan teman-temannya terkait hal ini.
Yakinkan seseorang yang melakukan Self Injury bahwa Anda siap untuk mendengarkan ceritanya bila ia ingin cerita. Beritahu kapan dan dimana Anda siap dihubungi oleh mereka. Ia akan memerlukan beberapa waktu untuk meyakinkan dirinya bahwa Anda memang dapat ia percaya.
Gunakanlah pernyataan-pernyataan yang rasional ketika Anda ternyata merasa tak sanggup mendengarkan cerita mereka "Saya tak sanggup mendengarkan ceritamu sementara kamu masih melakukan Self Injury, saya peduli dengan dirimu, dan saya merasa sedih melihatmu melakukan hal itu". Bukan pernyataan yang irasional seperti: "Saya akan berhenti menyayangimu kalau kamu terus melakukan Self Injury."
Berikan ia pengalihan dari Self Injury, misalnya: mengajaknya makan keluar, jalan-jalan keliling kompleks, menonton video lucu, dan lain-lain.
Bersikap sabar dan jangan pernah memberikan hukuman terkait Self Injury. Karena hukuman hanya akan semakin memupuk rasa bencinya pada dirinya sendiri, sehingga Self Injury justru akan semakin parah.
Jangan lupa untuk tetap menjaga kesehatan dirimu sendiri.***
Laporan: HENNY ELYATI