Jumat, 22 November 2024

Riau Jadi Model Ekowisata Gambut Pertama di Indonesia

- Advertisement -

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Berbagai tantangan dan kendala bermunculan ketika para pakar berbicara ekowisata pada workshop pembangunan model ekowisata gambut yang ditaja Badan Restorasi Gambut (BRG), Selasa (10/12) di Hotel Premiere. Perlu kerja keras meski potensi dan keunikan gambut menjadi keistimewaan sendiri.

Workshop ini secara  khusus membahas rencana pembangunan model ekowisata di bentang alam gambut  Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis dan Pulau Basu Kabupaten Indragiri Hilir, meski akhirnya berkembang secara luas. Workshop ini diawali dengan pembukaan, paparan materi dan diskusi serta berakhir dengan panel kesiapan pengembangan jejaring dan promosi ekowisata.

- Advertisement -

Sesi pertama menghadirkan pembicara dari berbagai stakeholder. Di antaranya  Bappeda Riau, Deputi Bidang Koordinasi dan Jasa Kemenko Kemaritiman, Deputi Pembangunan Bidang Industri dan Kelembagaan  Kementerin Pariwisata dan Ekraf, Bupati Bengkalis, Bupati Inhil, Prof Harini, Prof Azwar Maas dan Prof Ashaluddin Jalil. Sedangkan panel terakhir menghadirkan Katua MKA LAM Riau Datuk Seri Al Azhar,  BBKSDA Riau, Green Radio, Riau Pos, pakar ekowisata dari Malang Nailul Insani MSc dan Ketua Program Studi Pariwisata Universitas Riau.

Berbagai tema dan issu dibahas dalam workshop ini. Mulai dari apa itu ekowisata, bagaimana kondisi Pulau Rupat dan Pulau Busu, rencana pengembangannya, infrastruktur, pengelolaan, sumber daya alam, sumber daya manusia, kendala, tantangan, solusi dan berbagai kemungkinan terbaik atau terburuk yang akan terjadi. Ekowisata dinilai sebagai model wisata yang paling ramah lingkungan, berdampak lebih positif bagi lingkungan, apalagi meletakkan masyatakat lokal sebagai subyek.

''Ekowisata ini unik karena melibatkan langsung masyarakat lokal sebagai subyek. Orang datang berwisata ke suatu tempat dan masyarakat langsung terlibat sebagai tuan rumah, pemilik homestay, pengelola atau lainnya. Hal yang harua difahami adalah, masyarakat memiliki kearifan lokal, adat dan tradisi yang harus dijaga. Pengunjung atau tamu, harus mengedepankan ini, memahami ini agar masyarakat tidak merasa asing apalagi semakin merasa terisolasi di rumahnya sendiri, tidak siap, dan akhirnya tidak berdampak apapun kepada masyarakat,'' kata Al Azhar.

- Advertisement -
Baca Juga:  KPK Periksa Tujuh Saksi

Hal serupa juga diungkapkan Prof Ashaluddin Jalil yang mengusung tema aspek sosiologi antropologi. Selama ini, katanya, tidak ada yang bertanya apa maunya masyarakat. Tamu yang datang, atau bahkan pengelola masih menanyakan, apa maunya tamu yang datang. ''Jadi masyarakat belum terlibat penuh. Ini memang agak sulit, tapi ekowisata inilah wisata yang ramah, mengedepankan masyarakat lokal, sosialnya bagus, perekonomian meningkat, adat dan tradisi semakin terawat, terjaga karena menjadi bagian penting dalam ekowisata. Ini yang mau kita temukan,'' katanya pula.

Berbicara soal ekowisata di bentang alam gambut, tidak hanya alam dan tradisi atau sejarah di lingkungan masyarakat saja yang bisa dijadikan objek wisata, tapi bagaimana gambut itu sendiri, apa saja yang ada di gambut dan lainnya, juga menjadi bagian objek yang penting. ''Gambut itu unik. Riau itu gambut. Edukasi tentang gambut juga bisa jadi objek ekowisata, flora dan faunanya seperti apa karena gambut berbeda dengan kondisi tanah yang lain, tinggal bagaimana mengemasnya saja,' kata Prof. Harini pula.

Redaktur dan penanggungjawab halaman wisata dan budaya Riau Pos, Kunni Masrrohanti yang turut menjadi pembicara saat itu, juga mengemukakan, bahwa, menjadikan ekowisata bukan hal mudah. Ia menceritakan pengalamannya bersama Riau Pos yang bertahun-tahun membuka rubrik tersebut seminggu sekali.

''Alhamdulillah, Riau Pos satu-satunya media cetak yang secara berkelanjutan mempertahankan halaman wisata seminggu sekali sebagai bentuk dukungan, promosi dan pengembangan wisata di Riau. Sekarang diperkuat dengan digital. Berita wisata di koran Riau Pos juga bisa dibaca di online Riau Pos, IG, Facebook dan Youtube. Kalau bicara ekowisata dan promosi, berarti ada dua hal, yakni apa yang dipromosikan ada tempat untuk promosi. Kalau sekarang, tida ada yang tidak bisa dipromosikan. Medsos sedemikian rupa, tapi apakah ekowisata kita siap dipromosikan? Dari pengalaman Riau Pos, jawabannya belum sama sekali,'' kata Kunni.

Dilanjutkan Kunni, Ketika Riau Pos memuat salah satu lokasi wisata, esoknya pengunjung berdatangan, tapi tempat tersebut banyak yang tidak siap. ''Kadang tidak ada fasilitas seperti kamar mandi, jalan buruk, tidak ada tour guide dan sebagainya. Belum lagi pengelolanya yang tidak mau senyum. Datang kita ke kampung wisata, susah cari home stay. Kadang ada, dibuka juga rumahnya untuk tamu, tapi habis itu pergi, tidak mau menyapa. Tidak siap. Masyarakat kita masih jauh dari siap. Jika tidak serius, yang terjadi malah ekploitasi masyarakat adat itu sendiri. Dampak positif  eko-nya tidak ada, baik lingkungan atau sosialnya,'' kata Kunni.

Baca Juga:  Penyaluran Bahan Pokok Bersubsidi Harus Tepat

Diakhir sesi diskusi, lagi-lagi Kunni yang juga bergabung dalam Laskar Penggiat Ekowisata (LPE) Riiau ini, menantang BRG dan pihak terkait untuk melahirkan satu pilot project ekowisata di Riau.

''Perlu satu desa ekowisata yang betul-betul jadi sebagai desa ekowisata. Alamnya bagus, jalannya memadai, fasilitas dan homestaynya oke, masyarakatnya ramah, kulinernya enak, adat dan tradisinya bisa dilihat, ada pula oleh-oleh yang bisa dibawa pulang. Di Riau, ini belum ada. Riau Pos sudah menelusuri banyak tempat. Yang ada banyak tempat berwisata bermunculan, lalu hilang, bahkan tutup. Kenapa, karena tidak ada yang khas, yang dicari pengunjung tidak ada, kecuali sekedar foto-foto saja. Perlu pilot project yang rill yang harus diwujudkan oleh BRG dan instansi terkait termasuk pemerintah desa dan pemkabnya tentang ekowisata ini,'' beber Kunni.

Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG, Dr Harris yang sejak awal duduk di kursi paling depan saat workshop, terlihat banyak mencatat masukan dari berbagai pembicara bahkan peserta. Begitu juga dengan puluhan peserta dari berbagai instansi, baik pemerintah, swasta, NGO maupun penggiat ekowisata, tidak satupun yang beranjak dari tempt duduk sehingga sesi panel berakhir.

''Apa yang tidak ada di Riau. Riau ini gambut, banyak air. Riau ini tempatnya minyak, dimana-mana minyak. Ini  tanggungjawab bersama untuk menjaga dan mengelolanya. Riau harus bangga karena dijadiman model ekowisata gambut pertama di Indonesia, tinggal bagaimana kita bisa mewujudkan dan ini harus dilakukan secara bersama-sama,'' kata Harris.(fia)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Berbagai tantangan dan kendala bermunculan ketika para pakar berbicara ekowisata pada workshop pembangunan model ekowisata gambut yang ditaja Badan Restorasi Gambut (BRG), Selasa (10/12) di Hotel Premiere. Perlu kerja keras meski potensi dan keunikan gambut menjadi keistimewaan sendiri.

Workshop ini secara  khusus membahas rencana pembangunan model ekowisata di bentang alam gambut  Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis dan Pulau Basu Kabupaten Indragiri Hilir, meski akhirnya berkembang secara luas. Workshop ini diawali dengan pembukaan, paparan materi dan diskusi serta berakhir dengan panel kesiapan pengembangan jejaring dan promosi ekowisata.

- Advertisement -

Sesi pertama menghadirkan pembicara dari berbagai stakeholder. Di antaranya  Bappeda Riau, Deputi Bidang Koordinasi dan Jasa Kemenko Kemaritiman, Deputi Pembangunan Bidang Industri dan Kelembagaan  Kementerin Pariwisata dan Ekraf, Bupati Bengkalis, Bupati Inhil, Prof Harini, Prof Azwar Maas dan Prof Ashaluddin Jalil. Sedangkan panel terakhir menghadirkan Katua MKA LAM Riau Datuk Seri Al Azhar,  BBKSDA Riau, Green Radio, Riau Pos, pakar ekowisata dari Malang Nailul Insani MSc dan Ketua Program Studi Pariwisata Universitas Riau.

Berbagai tema dan issu dibahas dalam workshop ini. Mulai dari apa itu ekowisata, bagaimana kondisi Pulau Rupat dan Pulau Busu, rencana pengembangannya, infrastruktur, pengelolaan, sumber daya alam, sumber daya manusia, kendala, tantangan, solusi dan berbagai kemungkinan terbaik atau terburuk yang akan terjadi. Ekowisata dinilai sebagai model wisata yang paling ramah lingkungan, berdampak lebih positif bagi lingkungan, apalagi meletakkan masyatakat lokal sebagai subyek.

- Advertisement -

''Ekowisata ini unik karena melibatkan langsung masyarakat lokal sebagai subyek. Orang datang berwisata ke suatu tempat dan masyarakat langsung terlibat sebagai tuan rumah, pemilik homestay, pengelola atau lainnya. Hal yang harua difahami adalah, masyarakat memiliki kearifan lokal, adat dan tradisi yang harus dijaga. Pengunjung atau tamu, harus mengedepankan ini, memahami ini agar masyarakat tidak merasa asing apalagi semakin merasa terisolasi di rumahnya sendiri, tidak siap, dan akhirnya tidak berdampak apapun kepada masyarakat,'' kata Al Azhar.

Baca Juga:  13 Tim dari 10 Negara Asing Ikuti KIDBF 2019

Hal serupa juga diungkapkan Prof Ashaluddin Jalil yang mengusung tema aspek sosiologi antropologi. Selama ini, katanya, tidak ada yang bertanya apa maunya masyarakat. Tamu yang datang, atau bahkan pengelola masih menanyakan, apa maunya tamu yang datang. ''Jadi masyarakat belum terlibat penuh. Ini memang agak sulit, tapi ekowisata inilah wisata yang ramah, mengedepankan masyarakat lokal, sosialnya bagus, perekonomian meningkat, adat dan tradisi semakin terawat, terjaga karena menjadi bagian penting dalam ekowisata. Ini yang mau kita temukan,'' katanya pula.

Berbicara soal ekowisata di bentang alam gambut, tidak hanya alam dan tradisi atau sejarah di lingkungan masyarakat saja yang bisa dijadikan objek wisata, tapi bagaimana gambut itu sendiri, apa saja yang ada di gambut dan lainnya, juga menjadi bagian objek yang penting. ''Gambut itu unik. Riau itu gambut. Edukasi tentang gambut juga bisa jadi objek ekowisata, flora dan faunanya seperti apa karena gambut berbeda dengan kondisi tanah yang lain, tinggal bagaimana mengemasnya saja,' kata Prof. Harini pula.

Redaktur dan penanggungjawab halaman wisata dan budaya Riau Pos, Kunni Masrrohanti yang turut menjadi pembicara saat itu, juga mengemukakan, bahwa, menjadikan ekowisata bukan hal mudah. Ia menceritakan pengalamannya bersama Riau Pos yang bertahun-tahun membuka rubrik tersebut seminggu sekali.

''Alhamdulillah, Riau Pos satu-satunya media cetak yang secara berkelanjutan mempertahankan halaman wisata seminggu sekali sebagai bentuk dukungan, promosi dan pengembangan wisata di Riau. Sekarang diperkuat dengan digital. Berita wisata di koran Riau Pos juga bisa dibaca di online Riau Pos, IG, Facebook dan Youtube. Kalau bicara ekowisata dan promosi, berarti ada dua hal, yakni apa yang dipromosikan ada tempat untuk promosi. Kalau sekarang, tida ada yang tidak bisa dipromosikan. Medsos sedemikian rupa, tapi apakah ekowisata kita siap dipromosikan? Dari pengalaman Riau Pos, jawabannya belum sama sekali,'' kata Kunni.

Dilanjutkan Kunni, Ketika Riau Pos memuat salah satu lokasi wisata, esoknya pengunjung berdatangan, tapi tempat tersebut banyak yang tidak siap. ''Kadang tidak ada fasilitas seperti kamar mandi, jalan buruk, tidak ada tour guide dan sebagainya. Belum lagi pengelolanya yang tidak mau senyum. Datang kita ke kampung wisata, susah cari home stay. Kadang ada, dibuka juga rumahnya untuk tamu, tapi habis itu pergi, tidak mau menyapa. Tidak siap. Masyarakat kita masih jauh dari siap. Jika tidak serius, yang terjadi malah ekploitasi masyarakat adat itu sendiri. Dampak positif  eko-nya tidak ada, baik lingkungan atau sosialnya,'' kata Kunni.

Baca Juga:  Antre Ikut Riau Pos Pesta Durian Kampar

Diakhir sesi diskusi, lagi-lagi Kunni yang juga bergabung dalam Laskar Penggiat Ekowisata (LPE) Riiau ini, menantang BRG dan pihak terkait untuk melahirkan satu pilot project ekowisata di Riau.

''Perlu satu desa ekowisata yang betul-betul jadi sebagai desa ekowisata. Alamnya bagus, jalannya memadai, fasilitas dan homestaynya oke, masyarakatnya ramah, kulinernya enak, adat dan tradisinya bisa dilihat, ada pula oleh-oleh yang bisa dibawa pulang. Di Riau, ini belum ada. Riau Pos sudah menelusuri banyak tempat. Yang ada banyak tempat berwisata bermunculan, lalu hilang, bahkan tutup. Kenapa, karena tidak ada yang khas, yang dicari pengunjung tidak ada, kecuali sekedar foto-foto saja. Perlu pilot project yang rill yang harus diwujudkan oleh BRG dan instansi terkait termasuk pemerintah desa dan pemkabnya tentang ekowisata ini,'' beber Kunni.

Deputi Penelitian dan Pengembangan BRG, Dr Harris yang sejak awal duduk di kursi paling depan saat workshop, terlihat banyak mencatat masukan dari berbagai pembicara bahkan peserta. Begitu juga dengan puluhan peserta dari berbagai instansi, baik pemerintah, swasta, NGO maupun penggiat ekowisata, tidak satupun yang beranjak dari tempt duduk sehingga sesi panel berakhir.

''Apa yang tidak ada di Riau. Riau ini gambut, banyak air. Riau ini tempatnya minyak, dimana-mana minyak. Ini  tanggungjawab bersama untuk menjaga dan mengelolanya. Riau harus bangga karena dijadiman model ekowisata gambut pertama di Indonesia, tinggal bagaimana kita bisa mewujudkan dan ini harus dilakukan secara bersama-sama,'' kata Harris.(fia)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari