Pada era digital, seseorang "dipaksa" untuk menggunakan teknologi dalam memenuhi kebutuhan hidup dan lingkungannya. Memasuki era digital dan keterbukaan informasi, perkembangan teknologi berdampak besar pada kehidupan manusia. Jarak dan waktu tidak lagi membatasi seseorang dalam menyampaikan maupun mendapatkan informasi.
Bagaimana kaitan sastra digital dengan realitas masyarakat? Dalam kasus ini masyarakat pada era digital lebih cenderung mengarah kepada kemajuan pesatnya teknologi. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi ialah ilmu pengetahuan terapan yang membuat suatu hal menjadi efisien dan praktis, misalnya saja internet.
Dengan lahirnya dunia baru berbasis teknologi ini, mulai dari sekolah-sekolah para siswa sudah mendapat mata pelajaran komputer bersamaan dengan cara mengaksesnya. Dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, tentunya siswa-siswa sudah bisa menghasilkan sebuah karya tulisan. Tidak hanya siswa di sekolah dibina untuk menulis dengan baik untuk menghasilkan suatu karya sastra, tetapi juga para mahasiswa di perguruan tinggi.
Rupa sastra terus berkembang seiring perkembangan zaman. Internet dan media sosial kini melahirkan apa yang disebut sastra digital. Sastra digital adalah sastra yang menggunakan internet sebagai medianya. Siapa saja yang tertarik dengan kesusastraan harus peka terhadap kemajuan teknologi pada era digital yang sangat cepat perkembangannya. Supaya dapat mengakses informasi dan ilmu pengetahuan di ruang digital, masyarakat mau tak mau harus meningkatkan keterampilan dalam menggunakan komputer dan terlibat aktif dalam perubahan-perubahan yang terjadi.
Untuk meningkatkan pengetahuan tentang penggunaan internet, salah satu yang digunakan adalah sastra digital. Guru-guru di sekolah dapat memberikan tugas kepada siswa-siswa untuk menulis puisi-puisi di ruang digital, sedangkan untuk para mahasiswa, dosen juga dapat memberikan tugas yang berhubungan dengan karya sastra (perorangan atau kelompok) dengan memanfaatkan adanya ruang digital tersebut.
Selain itu, sastra digital juga menerjang sampai ke lapisan masyarakat tertentu, seperti halnya telah memengaruhi para penulis sastra yang selama ini hanya berdiam diri dan dilahirkan melalui koran, buku, dan majalah saja. Akhirnya, internet dapat digunakan oleh penulis sebagai medianya untuk menulis. Menuangkan kreatifitasnya seperti di blog, laman sastra, dan grup komunitas-komunitas sastra di facebook.
Sastra terasa makin cair dan terbuka, bisa dijangkau siapa saja. Fenomena sastra digital dapat digunakan sebagai sarana yang membantu penyebaran virus cinta terhadap sastra. Tak bisa dipungkiri lagi, selama ini banyak orang merasa antipati terhadap karya sastra. Rasa antipati itu mungkin lahir karena akses yang amat terbatas dalam penyaluran sebuah karya sastra. Dengan kelahiran sastra digital, akses yang terbatas itu akhirnya bisa terpangkas.
Kelahiran sastra digital merupakan angin segar bagi para penulis pemula. Kemunculan facebook, website, hingga blog menjadi sarana yang murah dan mudah bagi penulis untuk membagikan karya. Penguatan karya sastra seseorang akan mengalami eskalasi yang luar biasa melalui pemanfaatan secara intensif situs-situs jejaring sosial. Kemunculan penulis pada era digital menunjukkan eksistensi penulis yang sebenarnya. Tingkah laku dan gaya pembawaan seorang penulis di dunia maya memberikan kesan atau nilai branding di dunia nyata.
Bila sastra adalah potret zaman, maka mempergunakan sastra digital untuk memublikasikan karya sastra bukan pilihan keliru. Sastra di tangan penulis milenial bukan lagi kaku dan sakral dengan segelintir saja penikmatnya. Namun, idealnya penulis sastra umumnya kebanyakan diperlakukan sebagai pintu masuk bagi para pengapresiasi untuk menjelajahi lebih jauh sebuah karya sastra.
Sastrawan dan para penulis sastra umumnya dengan senang hati mengunggah karya-karya yang sebelumnya pernah dimuat di media cetak, baik koran, majalah, atau jurnal. Terkadang pengunjung laman atau blog juga dapat memberikan apresiasi terhadap penulis. Bentuk apresiasi dapat berupa mengomentari karya ataupun mengklik tombol like (suka). Dan, dengan kesabaran yang riang para penulis sastra membalas komentar-komentar dari para pengapresiasi secara personal.
Kualitas tulisan acapkali tak sebanding dengan jumlah like yang didapat. Hal ini dikerenakan “kebanyakan” dari syair-syair tersebut menggunakan kalimat-kalimat singkat dengan gaya bahasa yang terlalu ringan dan minim metafora. Tulisan yang seperti ini hanya sekadar mengelus sisi-sisi melankolis penikmat demi memancing sebuah kepopuleran semata, tanpa mempertimbangkan sasaran karya sastra itu sendiri. Sebagai contoh yang terjadi akhir-akhir ini, pujian dari para apresiator menjadi salah satu alasan seseorang dengan sengaja mengutip beberapa karya penulis lain dan memublikasikannya hanya untuk “diakui” sebagai penulis.***
Bayang, 31 Juni 2020