PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru menggelar jumpa pers terkait perkembangan kasus dugaan pelecehan seksual yang dialami salah seorang mahasiswi Hukum Internasional (HI) Universitas Riau (Unri), Ahad (7/11). Pada kesempatan itu, Kepala Operasional LBH Pekanbaru Rian Sibarani didampingi Pengacara Publik LBH Pekanbaru Noval Setiawan juga menanggapi soal laporan balik terlapor.
Rian menyebutkan, pihaknya berkomitmen dan memastikan, akan mengawal kasus ini hingga tuntas. LBH juga akan mendampingi korban hingga proses ini tuntas. Apalagi kasus ini sudah menjadi konsumsi publik secara nasional.
"Kami akan kawal saksi-saksi dalam kasus ini dan kami akan kawal proses hukum ini sampai tuntas. Kasus ini sudah muncul ke permukaan, maka harus dipertanggungjawabkan ke muka publik," ungkapnya.
Pihaknya menurut Rian, tidak akan berhenti pada pelaporan dan mengawal proses hukumnya, tapi juga akan mengambil sejumlah langkah penting agar fakta-fakta dari kasus ini terungkap semua ke publik. Pihaknya juga segera akan meminta bantuan LPSK untuk pendampingan korban, bahkan Komnas Perempuan.
"Atas kondisi ini kami perlu meminta ke LPSK untuk datang ke Pekanbaru memberikan perlindungan kepada korban. Kami juga akan melaporkan perkara ini ke Kemendikbudristek dan juga Lembaga Komnas Perempuan. Ini agar Komnas juga ikut turun menginvestigasi kasus ini, karena kasus ini sudah menjadi pembicaraan nasional," terangnya.
Permintaan perlindungan ke LPSK ini menurut Rian karena korban mengalami kondisi psikis yang berat. Selain itu masih ada pihak-pihak yang menghubungi korban maupun keluarganya. LBH juga mengklaim, ketika mendengar nama terduga pelaku, korban masih ketakutan. Hingga korban juga takut balik ke kampus.
Sementara terkait laporan balik terduga pelaku SH, Rian meminta Polda Riau menolak laporan tersebut. Terutama selama proses hukum di Polresta Pekanbaru terkait perkara ini masih berlangsung.
"Kami merasa ini tidak sesuai dengan apa yang dibuat berdasarkan keputusan bersama Kemenkominfo, Kejaksaan Agung dan Polri. Diterimanya laporan tersebut oleh Polda Riau tidak sesuai dengan keputusan itu. Maka kami meminta Polda Riau menolak laporan terlapor, karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan pedoman yang ada," ungkap Rian.
Rian juga beralasan, LBH Pekanbaru telah melaprkan terduga pelaku pada Jumat (5/11). Sementara terlapor melaporkan kasus pencemaran nama baik pada Sabtu (6/11). Harusnya, kata dia, ada proses hukum dulu di Polresta Pekanbaru, baru setelah itu kemudian baru bisa diproses aduan pencemaran nama baiknya.
"Maka sekali lagi kami meminta Polda Riau mencabut atau menolak laporan terlapor soal pencemaran nama baik itu," terangnya.
Ketika ditanyai terkait Permendikbud No 30 Tahun 2021, LBH Pekanbaru menilai aturan tersebut merupakan terobosan yang baik untuk mencegah kekerasan seksual di kampus. Permendikbud itu menurutnya harus didukung.
"Permendikbud ini memang baru dikeluarkan, ini akan menjadi momen bagi Unri. Permendikbud ini akan menjadi pedoman juga bagi kepolisian dalam memproses kasus ini," tegasnya.
Ketika disinggung soal bukti kasus dugaan pelecehan seksual ini, Rian menyerahkan saja kepada kepolisian untuk menemukannya. Namun pihaknya akan mengawal prosesnya. Bahkan apabila diperlkukan, pihaknya sudah mengumpulkan bukti-bukti dalam kasus ini untuk mempermudah kerja kepolisian.
Trauma, Korban Jalani Pemulihan
Vice Mayor Komahi Unri Voppi Rosea juga membeberkan, korban saat ini sedang mengalami trauma dan sedang berada dalam pendampingan psikolog dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Pekanbaru. Voppi menyebutkan, traumatis dari mahasiswi tersebut terlihat jelas di wajahnya.
Voppi yang mengaku sudah menemui ibu dan tante korban menyebutkan, pihaknya bersama Komahi Unri dan juga UPT PPA Pekanbaru sengaja memblok komunikasi korban dengan pihak luar. Karena korban sedang menjalani pemulihan.
"Kami melihat sendiri trauma pada wajah korban. Maka kami akan keep korban, karena memulihkan traumatis korban adalah prioritas utama saat ini," terangnya.
Voppi pada kesempatan itu juga membeberkan sejumlah fakta terkait kasus dugaan pelecehan seksual tersebut. Menurutnya, begitu mengalami dugaan pelecehaan dari dosen pembimbingnya, korban berusaha meminta penggantian dosen pembimbing melalui Kepala Jurusan Hukum Internasional. Pada Jumat (29/10) atau dua hari setelah kejadian, korban kembali menghubungi kepala jurusan untuk menanyakan penggantian dosen pembimbing. Namun saat itu sekretaris jurusan meminta korban untuk menemui terduga pelaku lebih dulu yang langsung ditolak korban. Akhirnya pertemuan dilakukan di rumah kepala jurusan, dihadiri sekretaris, korban hadir bersama dua sepupunya. Namun korban tetap tidak mendapatkan dosen pembimbing baru.
Usai pertemuan itu, korban mulai mendapat telepon dari nomor baru dan mulai merasa ketakutan. Hal ini kemudian dilaporkan sepupu korban ke Komahi. Maka pada Jumat (29/10) sore, Komahi mulai bergerak dan mendampingi korban sampai ke tempat kerjanya. Karena korban sudah mulai takut.
"Korban merasa sangat tertekan dan bingung, karena tidak tahu mau melapor ke siapa lagi. Kami mengutus sejumlah kader untuk mendampingi korban, karena korban sudah tidak lagi merasa aman di tempat kerjanya," jelas Voppi.
Baru pada Senin (1/11) sekitar pukul 23.00 WIB korban diberi tahu bahwa dosen pemimbingnya sudah diganti. Komahi mulai melakukan audiensi dengan rektorat untuk penyelesaian masalah ini. Termasuk sejumlah tuntutan seperti yang disampaikan saat gelar aksi di depan rektorat pada Jumat (5/11) lalu. Voppi menyebutkan, Komahi menganggap, respons pihak rektorat lamban, hingga akhirnya memutuskan untuk menerbitkan video tersebut ke akun media sosia media Komahi.
"Sebelum menerbitkan video tersebut, kami dari Komahi sudah tahu konsekuensinya. Kami sudah melakukan berbagai pertimbangan sebelumnya. Selain itu semua isi video sudah disetujui oleh korban sendiri," kata Voppi.
Voppi juga menyebutkan, sejak Jumat (5/11), korban sudah mendapat pendampingan dari UPT PPA dan juga mendapatkan bimbingan psikolog. Pada saat yang sama korban sudah menandatangani surat kuasa kepada LBH Pekanbaru sebagai kuasa hukumnya.
TPF Diminta Bekerja Sesuai Permendikbud
Presiden Mahasiswa (Presma) BEM Unri Kaharuddin dalam jumpa pers yang digelar di LBH Pekanbaru mengingatkan janji rektorat bahwa Tim Pencari Fakta (TPF) bekerja sesuai dengan Permendikbud No 30 Tahun 2021. Permendikbud yang baru dikeluarkan itu merupakan aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Permintaan Kahar, begitu dia akrab disapa, berdasarkan isi percakapan WhatsApp dirinya dengan pihak rektorat. Kahar menyebutkan, dalam percakapan itu disebutkan TPF akan bekerja sesuai dengan Permendikbud No 30 Tahun 2021. Maka dirinya meminta pihak rektorat menerapkan secara keseluruhan aturan tersebut.
"Sesuai Pasal 42 Permendikbud No 30 Tahun 2021, maka selama pemeriksaan Pemimpin Perguruan Tinggi dapat memberhentikan sementara hak pendidikan terlapor yang berstatus sebagai mahasiswa atau hak pekerjaan terlapor yang berstatus sebagai pendidik, maka kami meminta rektor untuk memberhentikan sementara terlapor dari jabatannya selama pemeriksaan berlangsung," kata Kahar.
Selain itu, Kahar menyayangkan kealpaan unsur mahasiswa dalam TPF, maka dirinya juga mendesak memasukkan unsur mahasiswa dalam tim tersebut. Hanya saja, menurut Kahar, berdasarkan percakapan dirinya bersama Wakil Rektor II Prof Dr Sudjianto yang ditunjuka rektor sebagai juru bicara dalam permasalahan ini, SK itu sudah ditandatangani.
Pasalnya, ketika BEM Unri meminta salinan SK TPF maupun ketika meminta nama-nama yang tergabung dalam itu, Sudjianto menolak. Alasannya, SK akan diserahkan ke nama-nama yang ada di dalamnya, maka tidak etis kalau SK belum sampai ke orang-orangnya, tapi publik sudah tahu.
"Dari situ kami menilai SK TPF sudah ditandatangani rektor," kata Kahar.(end)