Minggu, 10 November 2024

Rasa Merdeka

- Advertisement -

INILAH  “Ilusi Hering”; bahwa dua baris yang paralel dengan suatu garis yang miring kelihatan tidak paralel, pada tingkat ini bukan berupa ilusi, tetapi kenyataan”. Kenyataan ini, bisa diukur pula oleh “rasa”. Melayu klasik memperkenalkan kata “rasa” setingkat dengan fikir, kalbu (nalar hati), intelektualisme, daya logika.

Rasa dalam makna klasik itu, amat tajam dan dahsyat kekuatannya. Dia bukan dikepung dalam makna “perasaan” saja, atau malah ke makna emosi semata, sehingga dikenal istilah hari ini; “baper” (bawa-bawa perasaan) artinya berhanyut dengan perasaan yang terlalu dalam dan lama (rajuk dan merajuk). Sehingga kata “rasa” dalam ajektif “perasaan” itu malah berpembawaan negatif. Bentukan kata seperti; “saya rasa”, “aku rasa”, “menurut rasa saya”, atau malah “rasaku”, di sini bukan indera pengecap yang berfungsi (lidah untuk mencicipi makanan); tetapi lebih ke fungsi-fungsi intelektualisme yang lebih dominan. Namun, kalimat dengan menggunakan “saya rasa” dibunuh dan diganti dengan “saya fikir” (agar terkesan intelektual atau sok pemikir?).

- Advertisement -

“Rasa” itu lebih mengedepankan fungsi imajinasi kreatif, fantasi kreatif dan wilayah empati. Inilah yang disebut sebagai sifat “persepsi sintesis” yang dalam bahasa Jerman disebut sebagai “Gemuet”, dan dalam bahasa Prancis dikenal dengan istilah “coeur”. Domain pengetahuan dari tingkatan hati (rasa) ini menghasilkan pengetahuan yang khas, yang dihasilkan dari resapan perasaan yang berpembawaan subyektif. Maka, jika dibandingkan dengan pengetahuan obyektif yang dihasilkan melalui penyelidikan oleh fikiran rasional atau menggunakan rasio; pengetahuan itu bersifat abstrak, kering dan dingin. Sedangkan pengetahuan yang dikonstruksi oleh hati (rasa) lebih bersifat konkrit, vital dan hidup. Maka jelaslah bahwa tingkat pengetahuan “hati” itu merupakan tempat bersemayamnya solidaritas dan yang teristimewa adalah nilai estetik, seni dan agama. Ketika seseorang dikuasai oleh pemikiran abstrak dan berasio semata, maka cinta, seni dan agama akan kehilangan spontanitasnya, kehilangan intensitas, dan berubah sontak menjadi perhitungan matematis dan filsafat.

Dalam kajian tasawuf, rasa, Gemuet atau le coeur itu berada di garda depan. Penghayatan rasa yang kemudian dikenal sebagai “maqam al Qalb” itu menyulingkan kekuatan iluminatif yang diemban oleh para nabi dan rasul. Oleh sebab itu, mengapa para nabi memiliki jangkauan pengaruh yang luar biasa dan luas, dalam dan menghunjam, karena mereka memperoleh kekuatan iluminasi dari Sang Pengcipta. Kekuatan iluminatif ini berada di lapisan tertinggi langit yang disebut sebagai “langitnya langit” (Empyreane). Langit ini amat berkilau, dihiasai oleh cahaya murni yang tak terjumlah, sempurna. Jalaluddin Rumi, menulis tentang langit ini: “Apa yang kita ketahui tentang langit tertinggi dan angkasa? Perjalanan kita adalah menuju kebun mawar kesatuan”. Rangkaian indah itu, dapat dijulurkan lagi dalam kisah pendek berikut ini: “Jika Aku tidak menciptakan jiwa kenabian ini, maka tidaklah Aku ciptakan dunia” (Firman Tuhan). Setelah Allah menciptakan ruh itu (ruh kenabian), dan ruh-ruh itu berkeliauan dan menguap dalam wujud peluh. Dan dari penguapan peluh itulah, Tuhan menciptakan ruh bunga mawar. Makanya, bunga mawar memiliki esensi yang teramat indah dan molek, lalu dilekatkan kepadanya ibu dari segala wewangian. Lalu, para salik berkeyakinan, bahwa setiap orang yang memperhatikan dan menatap bunga mawar, akan tersenyum lalu menengadah, mereka menjadi senang, girang dan gembira. Dan mereka pun menjadi terpaut hatinya (rasa) untuk menanam dan merawat rose, sang mawar”.

Baca Juga:  Jubir Satgas Covid-19 Riau Pastikan Gubri Masih Dirawat

Manusia adalah makhluk “sublunary” (di bawah bulan), yang hidup dalam elemental sphere (hewan, tumbuhan, manusia dan kehidupan terestrial). Di luar kehidupan ini kita akan berdepan dengan kehidupan langit yang tujuh, dan yang terlihat hanyalah “dunia langit zodiak” (zodiacal heavens); dan yang pertama dari lapisan ini adalah bulan. Dan manusia bisa langsung melihat bulan. Dari sini, manusia membangun “rasa”, “kata hati”, Gemuet atau le coeur itu. Warna bulan yang perak tersusun dalam empat elemen (tanah, udara, air dan api), lalu berinteraksi dengan manusia untuk membentuk “persepsi sintesis”, sehingga mengarah kepada kekuataan “rasa” yang intens dan spontan, menjadi cinta, agama, puisi dan seni lainnya. Dan pada planet yang berada di zodiak ketiga lah (Venus) yang berfungsi sebagai manajer atau pengatur “alam ibarat”, alam persamaan, analogi, metafora serta dunia puisi. Tuhan telah memberi tahu kepada manusia, bahwa Venus diciptakan dengan cara menokok (menambah) “khayal” atau imajinasi-Nya.   

- Advertisement -
Baca Juga:  Wagubri: Masyarakat Riau Berterima Kasih kepada Fahmizal

Merdeka itu tak setakat pembuktian fisik, atau sesuatu yang nampak semata; jalan, pelabuhan, angkutan, jembatan, pasar, transaksi jual beli, kemewahan, kemiskinan, nestapa, terpelajar, terdidik, kebodohan dan seterusnya. Merdeka itu bisa pula ditakar lewat rasa, lewat “kata hati” atau Gemuet dan le coeur. Merdeka bukan persoalan negara (negara yang merdeka); namun lebih pada kemampuan hati yang merdeka secara perseorangan. Merdeka itu adalah hasil sebuah konstruksi psikologis, tepatnya hati dan rasa. Dan inilah yang disebut sebagai “amanah analogis”, simpai persepsi sintesis”. Siapa yang meragukan “kemerdekaan” yang diraih oleh seorang seniman? Siapa pula yang meragukan kemerdekaan yang dihimpun seorang berilmu lagi saleh, mereka yang taat dan hidup karena Tuhan, mereka yang membangun solidaritas dalam etika kemakhlukan (bukan semata etika kemanusiaan)?.  Dia dibangun dari pembiasaan untuk senantiasa bertolak-angsur, toleransi, solidaritas. Dan ini adalah wilayahnya rasa, bukan wilayah rasio. Kita bisa merasa-rasa untuk hidup damai dalam keragaman yang telah menjadi hukum dunia (hukum alam atau sunnatullah/ natural law).

Blaise Pascal, seorang fisikawan Prancis yang ulung, menggunakan perkataan hati atau rasa (le coeur) dalam kaitan yang sama: “Le coeur a son ordre; l’ esprit a le sien, qui est par principes et demonstrations; le coeur en aun autre. On ne prouve pas qu’on doit etre aime en exposant pat ordre les cause de l’amor; cela seroit ridicule” (hati punya logikanya sendiri; fikiran mempunyai logikanya sendiri yang berlangsung atas dasar sebab dan pembuktian; hati mempunyai logika yang lain. Seseorang tidak dapat membuktikan bahwa dia patut dicintai dengan menerangkan hukum sebab-akibat cinta; yang demikian akan menjadi bahan tertawaan”.***

 

INILAH  “Ilusi Hering”; bahwa dua baris yang paralel dengan suatu garis yang miring kelihatan tidak paralel, pada tingkat ini bukan berupa ilusi, tetapi kenyataan”. Kenyataan ini, bisa diukur pula oleh “rasa”. Melayu klasik memperkenalkan kata “rasa” setingkat dengan fikir, kalbu (nalar hati), intelektualisme, daya logika.

Rasa dalam makna klasik itu, amat tajam dan dahsyat kekuatannya. Dia bukan dikepung dalam makna “perasaan” saja, atau malah ke makna emosi semata, sehingga dikenal istilah hari ini; “baper” (bawa-bawa perasaan) artinya berhanyut dengan perasaan yang terlalu dalam dan lama (rajuk dan merajuk). Sehingga kata “rasa” dalam ajektif “perasaan” itu malah berpembawaan negatif. Bentukan kata seperti; “saya rasa”, “aku rasa”, “menurut rasa saya”, atau malah “rasaku”, di sini bukan indera pengecap yang berfungsi (lidah untuk mencicipi makanan); tetapi lebih ke fungsi-fungsi intelektualisme yang lebih dominan. Namun, kalimat dengan menggunakan “saya rasa” dibunuh dan diganti dengan “saya fikir” (agar terkesan intelektual atau sok pemikir?).

- Advertisement -

“Rasa” itu lebih mengedepankan fungsi imajinasi kreatif, fantasi kreatif dan wilayah empati. Inilah yang disebut sebagai sifat “persepsi sintesis” yang dalam bahasa Jerman disebut sebagai “Gemuet”, dan dalam bahasa Prancis dikenal dengan istilah “coeur”. Domain pengetahuan dari tingkatan hati (rasa) ini menghasilkan pengetahuan yang khas, yang dihasilkan dari resapan perasaan yang berpembawaan subyektif. Maka, jika dibandingkan dengan pengetahuan obyektif yang dihasilkan melalui penyelidikan oleh fikiran rasional atau menggunakan rasio; pengetahuan itu bersifat abstrak, kering dan dingin. Sedangkan pengetahuan yang dikonstruksi oleh hati (rasa) lebih bersifat konkrit, vital dan hidup. Maka jelaslah bahwa tingkat pengetahuan “hati” itu merupakan tempat bersemayamnya solidaritas dan yang teristimewa adalah nilai estetik, seni dan agama. Ketika seseorang dikuasai oleh pemikiran abstrak dan berasio semata, maka cinta, seni dan agama akan kehilangan spontanitasnya, kehilangan intensitas, dan berubah sontak menjadi perhitungan matematis dan filsafat.

Dalam kajian tasawuf, rasa, Gemuet atau le coeur itu berada di garda depan. Penghayatan rasa yang kemudian dikenal sebagai “maqam al Qalb” itu menyulingkan kekuatan iluminatif yang diemban oleh para nabi dan rasul. Oleh sebab itu, mengapa para nabi memiliki jangkauan pengaruh yang luar biasa dan luas, dalam dan menghunjam, karena mereka memperoleh kekuatan iluminasi dari Sang Pengcipta. Kekuatan iluminatif ini berada di lapisan tertinggi langit yang disebut sebagai “langitnya langit” (Empyreane). Langit ini amat berkilau, dihiasai oleh cahaya murni yang tak terjumlah, sempurna. Jalaluddin Rumi, menulis tentang langit ini: “Apa yang kita ketahui tentang langit tertinggi dan angkasa? Perjalanan kita adalah menuju kebun mawar kesatuan”. Rangkaian indah itu, dapat dijulurkan lagi dalam kisah pendek berikut ini: “Jika Aku tidak menciptakan jiwa kenabian ini, maka tidaklah Aku ciptakan dunia” (Firman Tuhan). Setelah Allah menciptakan ruh itu (ruh kenabian), dan ruh-ruh itu berkeliauan dan menguap dalam wujud peluh. Dan dari penguapan peluh itulah, Tuhan menciptakan ruh bunga mawar. Makanya, bunga mawar memiliki esensi yang teramat indah dan molek, lalu dilekatkan kepadanya ibu dari segala wewangian. Lalu, para salik berkeyakinan, bahwa setiap orang yang memperhatikan dan menatap bunga mawar, akan tersenyum lalu menengadah, mereka menjadi senang, girang dan gembira. Dan mereka pun menjadi terpaut hatinya (rasa) untuk menanam dan merawat rose, sang mawar”.

- Advertisement -
Baca Juga:  Segera Dikirim ke Kampung Halaman Korban Bus PMTOH ​​​​​​​

Manusia adalah makhluk “sublunary” (di bawah bulan), yang hidup dalam elemental sphere (hewan, tumbuhan, manusia dan kehidupan terestrial). Di luar kehidupan ini kita akan berdepan dengan kehidupan langit yang tujuh, dan yang terlihat hanyalah “dunia langit zodiak” (zodiacal heavens); dan yang pertama dari lapisan ini adalah bulan. Dan manusia bisa langsung melihat bulan. Dari sini, manusia membangun “rasa”, “kata hati”, Gemuet atau le coeur itu. Warna bulan yang perak tersusun dalam empat elemen (tanah, udara, air dan api), lalu berinteraksi dengan manusia untuk membentuk “persepsi sintesis”, sehingga mengarah kepada kekuataan “rasa” yang intens dan spontan, menjadi cinta, agama, puisi dan seni lainnya. Dan pada planet yang berada di zodiak ketiga lah (Venus) yang berfungsi sebagai manajer atau pengatur “alam ibarat”, alam persamaan, analogi, metafora serta dunia puisi. Tuhan telah memberi tahu kepada manusia, bahwa Venus diciptakan dengan cara menokok (menambah) “khayal” atau imajinasi-Nya.   

Baca Juga:  20 Ribu Dosis Vaksin Dijaga Ketat

Merdeka itu tak setakat pembuktian fisik, atau sesuatu yang nampak semata; jalan, pelabuhan, angkutan, jembatan, pasar, transaksi jual beli, kemewahan, kemiskinan, nestapa, terpelajar, terdidik, kebodohan dan seterusnya. Merdeka itu bisa pula ditakar lewat rasa, lewat “kata hati” atau Gemuet dan le coeur. Merdeka bukan persoalan negara (negara yang merdeka); namun lebih pada kemampuan hati yang merdeka secara perseorangan. Merdeka itu adalah hasil sebuah konstruksi psikologis, tepatnya hati dan rasa. Dan inilah yang disebut sebagai “amanah analogis”, simpai persepsi sintesis”. Siapa yang meragukan “kemerdekaan” yang diraih oleh seorang seniman? Siapa pula yang meragukan kemerdekaan yang dihimpun seorang berilmu lagi saleh, mereka yang taat dan hidup karena Tuhan, mereka yang membangun solidaritas dalam etika kemakhlukan (bukan semata etika kemanusiaan)?.  Dia dibangun dari pembiasaan untuk senantiasa bertolak-angsur, toleransi, solidaritas. Dan ini adalah wilayahnya rasa, bukan wilayah rasio. Kita bisa merasa-rasa untuk hidup damai dalam keragaman yang telah menjadi hukum dunia (hukum alam atau sunnatullah/ natural law).

Blaise Pascal, seorang fisikawan Prancis yang ulung, menggunakan perkataan hati atau rasa (le coeur) dalam kaitan yang sama: “Le coeur a son ordre; l’ esprit a le sien, qui est par principes et demonstrations; le coeur en aun autre. On ne prouve pas qu’on doit etre aime en exposant pat ordre les cause de l’amor; cela seroit ridicule” (hati punya logikanya sendiri; fikiran mempunyai logikanya sendiri yang berlangsung atas dasar sebab dan pembuktian; hati mempunyai logika yang lain. Seseorang tidak dapat membuktikan bahwa dia patut dicintai dengan menerangkan hukum sebab-akibat cinta; yang demikian akan menjadi bahan tertawaan”.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari