Kamis, 4 Juli 2024

Penundaan Pemilu Perburuk Demokrasi

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Wacana penundaan pemilu yang dilontarkan sejumlah elite partai politik menuai polemik. Usulan itu memiliki konsekuensi hukum yang besar mengingat ketentuan pemilu diatur dalam konstitusi.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan, jadwal pemilu yang berkaitan dengan masa jabatan eksekutif dan legislatif telah dikunci dalam UUD 1945. Dalam pasal 22E ditegaskan bahwa pemilu digelar lima tahun sekali. Jika pemilu ditunda melebihi batas waktu, presiden maupun para penyelenggara negara yang diperpanjang masa tugasnya tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

- Advertisement -

"Anggota  MPR, DPR, DPD, dan DPRD semuanya ilegal alias tidak sah," ujarnya kemarin (27/2).

Nah, jika eksekutif dan legislatif ilegal, Yusril mengingatkan akan potensi kekacauan. Sebab, rakyat berhak menolak semua kebijakan pemerintah karena secara hukum tidak sah.

"Keadaan bangsa dan negara akan benar-benar karut-marut akibat penundaan pemilu," imbuhnya.

- Advertisement -

Kalaupun harus dilakukan penundaan, ada tiga alternatif kebijakan yang harus dilakukan. Itu pun tidak mudah semuanya. Pertama, melakukan amandemen UUD 1945. Baik revisi maupun menambah norma dalam pasal 22E.

Cara kedua, presiden mengeluarkan dekrit menunda pelaksanaan pemilu sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat. Penerbitan dekrit pernah dilakukan presiden terdahulu seperti Soekarno dan Gus Dur.

Baca Juga:  Koalisi Plus-plus Mengemuka, Apa Kata Jokowi?

"Masalahnya, apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit?" sorot ketua umum Partai Bulan Bintang itu. Sebab, lanjut dia, risiko politiknya terbilang besar. Jalan terakhir adalah menciptakan praktik penyelenggaraan negara yang berbeda dengan konstitusi. Cara itu pernah dilakukan di awal kemerdekaan melalui maklumat nomor X yang mengubah sistem presidensial. Namun, Yusril menilai situasi sekarang tidak lagi sama.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, secara normatif, penundaan memang bisa dilakukan melalui amandemen. Namun, dia berharap langkah itu tidak diambil elite politik.

Dia menambahkan, rencana memperpanjang masa jabatan presiden akan memperburuk demokrasi di Indonesia. Pertama, secara teori, sistem presidensial menuntut masa jabatan yang ajek sesuai yang sudah diatur.

"Sehebat apa pun seorang presiden, begitu telah menjalani dua periode, dia tidak boleh lagi untuk dipilih," ujarnya.

Jika tidak, ke depan muncul keinginan untuk terus menambah masa jabatan. Sebab, tidak ada jaminan jika diperpanjang jabatannya, keinginan serupa tidak muncul lagi. Bila dibiarkan, perlahan akan lahir rezim otoritarianisme seperti di masa Orde Baru.

Feri juga mengingatkan para elite yang saat ini berkuasa untuk tidak berupaya melanggengkan kekuasaan dengan memperpanjang jabatan. Sebagai penyelenggara negara, eksekutif dan legislatif wajib menjaga konstitusi.

Baca Juga:  TWK Tak Bisa Jadi Penentu Penyingkiran Pegawai KPK

"UUD membatasi masa jabatan agar tumbuh siklus ketatanegaraan, muncul generasi baru," tuturnya.

Lebih lanjut, dia juga mendesak presiden bersikap tegas dalam wacana tersebut.

Istana Pastikan Sikap Presiden Taat Konstitusi
Pihak Istana Negara bereaksi terhadap manuver sejumlah elite itu. Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menyatakan, penundaan pemilu sebatas usulan dari beberapa orang.

"Siapa pun silakan saja berpendapat," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Menurut dia, pandangan Presiden Joko Widodo masih tidak berubah. Yakni, taat pada ketentuan yang ada dalam konstitusi.

"Sikap presiden masih tetap sama dalam memandang jabatan tiga periode maupun penundaan pemilu. Presiden selalu mengacu pada konstitusi dan UU yang berlaku," terangnya.

Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi juga angkat bicara. Menurut dia, setiap orang berhak berpendapat atau menyampaikan usul.

"Namanya usulan, pendapat, ya gak masalah. Gak ada yang bisa melarang," katanya.

Namun, secara hukum, lanjut dia, keputusan politik sudah diambil. KPU bersama pemerintah dan DPR sudah menyepakati jadwal pemungutan suara pemilu pada 14 Februari 2024. Selama keputusan tersebut tidak direvisi, persiapan tahapan akan terus berjalan.(far/c19/bay/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Wacana penundaan pemilu yang dilontarkan sejumlah elite partai politik menuai polemik. Usulan itu memiliki konsekuensi hukum yang besar mengingat ketentuan pemilu diatur dalam konstitusi.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan, jadwal pemilu yang berkaitan dengan masa jabatan eksekutif dan legislatif telah dikunci dalam UUD 1945. Dalam pasal 22E ditegaskan bahwa pemilu digelar lima tahun sekali. Jika pemilu ditunda melebihi batas waktu, presiden maupun para penyelenggara negara yang diperpanjang masa tugasnya tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

"Anggota  MPR, DPR, DPD, dan DPRD semuanya ilegal alias tidak sah," ujarnya kemarin (27/2).

Nah, jika eksekutif dan legislatif ilegal, Yusril mengingatkan akan potensi kekacauan. Sebab, rakyat berhak menolak semua kebijakan pemerintah karena secara hukum tidak sah.

"Keadaan bangsa dan negara akan benar-benar karut-marut akibat penundaan pemilu," imbuhnya.

Kalaupun harus dilakukan penundaan, ada tiga alternatif kebijakan yang harus dilakukan. Itu pun tidak mudah semuanya. Pertama, melakukan amandemen UUD 1945. Baik revisi maupun menambah norma dalam pasal 22E.

Cara kedua, presiden mengeluarkan dekrit menunda pelaksanaan pemilu sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat. Penerbitan dekrit pernah dilakukan presiden terdahulu seperti Soekarno dan Gus Dur.

Baca Juga:  TWK Tak Bisa Jadi Penentu Penyingkiran Pegawai KPK

"Masalahnya, apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit?" sorot ketua umum Partai Bulan Bintang itu. Sebab, lanjut dia, risiko politiknya terbilang besar. Jalan terakhir adalah menciptakan praktik penyelenggaraan negara yang berbeda dengan konstitusi. Cara itu pernah dilakukan di awal kemerdekaan melalui maklumat nomor X yang mengubah sistem presidensial. Namun, Yusril menilai situasi sekarang tidak lagi sama.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, secara normatif, penundaan memang bisa dilakukan melalui amandemen. Namun, dia berharap langkah itu tidak diambil elite politik.

Dia menambahkan, rencana memperpanjang masa jabatan presiden akan memperburuk demokrasi di Indonesia. Pertama, secara teori, sistem presidensial menuntut masa jabatan yang ajek sesuai yang sudah diatur.

"Sehebat apa pun seorang presiden, begitu telah menjalani dua periode, dia tidak boleh lagi untuk dipilih," ujarnya.

Jika tidak, ke depan muncul keinginan untuk terus menambah masa jabatan. Sebab, tidak ada jaminan jika diperpanjang jabatannya, keinginan serupa tidak muncul lagi. Bila dibiarkan, perlahan akan lahir rezim otoritarianisme seperti di masa Orde Baru.

Feri juga mengingatkan para elite yang saat ini berkuasa untuk tidak berupaya melanggengkan kekuasaan dengan memperpanjang jabatan. Sebagai penyelenggara negara, eksekutif dan legislatif wajib menjaga konstitusi.

Baca Juga:  Pasangan Nurani Laporkan Dugaan Pemalsuan Tanda Tangan ke Polres Inhu

"UUD membatasi masa jabatan agar tumbuh siklus ketatanegaraan, muncul generasi baru," tuturnya.

Lebih lanjut, dia juga mendesak presiden bersikap tegas dalam wacana tersebut.

Istana Pastikan Sikap Presiden Taat Konstitusi
Pihak Istana Negara bereaksi terhadap manuver sejumlah elite itu. Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menyatakan, penundaan pemilu sebatas usulan dari beberapa orang.

"Siapa pun silakan saja berpendapat," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Menurut dia, pandangan Presiden Joko Widodo masih tidak berubah. Yakni, taat pada ketentuan yang ada dalam konstitusi.

"Sikap presiden masih tetap sama dalam memandang jabatan tiga periode maupun penundaan pemilu. Presiden selalu mengacu pada konstitusi dan UU yang berlaku," terangnya.

Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi juga angkat bicara. Menurut dia, setiap orang berhak berpendapat atau menyampaikan usul.

"Namanya usulan, pendapat, ya gak masalah. Gak ada yang bisa melarang," katanya.

Namun, secara hukum, lanjut dia, keputusan politik sudah diambil. KPU bersama pemerintah dan DPR sudah menyepakati jadwal pemungutan suara pemilu pada 14 Februari 2024. Selama keputusan tersebut tidak direvisi, persiapan tahapan akan terus berjalan.(far/c19/bay/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari