Lima Provinsi Tak Punya Wakil Rakyat Perempuan di Pusat

JAKARTA (RIAUPOS.CO) –- Keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia belum maksimal. Sejauh ini, angkanya masih di bawah 30 persen. Tak terkecuali di level parlemen yang menjadi representasi perwakilan rakyat.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, secara tren, keterwakilan perempuan di parlemen meningkat. Puncaknya terjadi pada Pileg 2019. Meski demikian, secara agregat, angkanya masih rendah. Di antara 575 anggota DPR RI, hanya 118 perempuan yang lolos ke Senayan. 

- Advertisement -

"Masih kurang dari 30 persen, hanya 20,5 persen," ujarnya dalam diskusi Emansipasi Perempuan dalam Politik untuk Memperingati Hari Kartini kemarin (22/4).

Bahkan, jika ditelisik dari sembilan fraksi yang ada, hanya Partai Nasdem yang memiliki anggota perempuan mencapai 30 persen. Sementara itu, delapan fraksi lain masih jauh dari angka ideal.

- Advertisement -

Kemudian, dari aspek sebaran, Titi mencatat dari 34 provinsi, ada lima yang tidak memiliki representasi perempuan di DPR RI. Dari level dapil, total ada 18 yang tidak punya keterwakilan perempuan. "Sebetulnya ada enam provinsi tanpa keterwakilan perempuan. Namun, di Kepulauan Riau terjadi PAW," tutur­nya.

Catatan itu, kata Titi, turut memengaruhi rendahnya peringkat Indonesia di level global. Berdasar penelitian Global Gender Gap Report 2021 yang baru saja dirilis, posisi Indonesia di luar 100 besar dalam urusan kesetaraan gender. 

"Hasilnya menempatkan Indonesia di posisi 101 dari 156 negara," ujarnya.

Titi menilai, regulasi undang-undang belum memberikan hak afirmasi yang memadai. Sebab, berbicara keterpilihan tak lepas dari desain pencalonan. Di pencalonan DPD, tidak ada satu pun regulasi yang mengatur afirmasi perempuan. Berbeda dengan DPR yang mewajibkan 30 persen caleg dari perempuan.

Anggota Fraksi Partai Nasdem Juliet Sutrisno mengatakan, perempuan memiliki kapasitas untuk terlibat di ranah publik. Sayangnya, secara kultur, sebagian masyarakat masih berpikir perempuan lebih terbelakang. Misalnya, perempuan PKK sering diminta untuk berfokus pada urusan belakang seperti konsumsi. "Saya bilang oke itu kita lakukan. Tapi, kita (perempuan) juga bisa bahas anggaran, bahas konsep persiapan lainnya," ujarnya.

Juliet menilai, dalam aspek tertentu, perempuan justru jauh lebih multitalenta dan detail. Saat penanganan banjir di NTT misalnya, para lelaki hanya memikirkan kebutuhan logistik sembako. "Tapi, kita memikirkan ukuran kebutuhan pakaian dalam dan susu anak," imbuh istri gubernur NTT tersebut.(far/c7/bay/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) –- Keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia belum maksimal. Sejauh ini, angkanya masih di bawah 30 persen. Tak terkecuali di level parlemen yang menjadi representasi perwakilan rakyat.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, secara tren, keterwakilan perempuan di parlemen meningkat. Puncaknya terjadi pada Pileg 2019. Meski demikian, secara agregat, angkanya masih rendah. Di antara 575 anggota DPR RI, hanya 118 perempuan yang lolos ke Senayan. 

"Masih kurang dari 30 persen, hanya 20,5 persen," ujarnya dalam diskusi Emansipasi Perempuan dalam Politik untuk Memperingati Hari Kartini kemarin (22/4).

Bahkan, jika ditelisik dari sembilan fraksi yang ada, hanya Partai Nasdem yang memiliki anggota perempuan mencapai 30 persen. Sementara itu, delapan fraksi lain masih jauh dari angka ideal.

Kemudian, dari aspek sebaran, Titi mencatat dari 34 provinsi, ada lima yang tidak memiliki representasi perempuan di DPR RI. Dari level dapil, total ada 18 yang tidak punya keterwakilan perempuan. "Sebetulnya ada enam provinsi tanpa keterwakilan perempuan. Namun, di Kepulauan Riau terjadi PAW," tutur­nya.

Catatan itu, kata Titi, turut memengaruhi rendahnya peringkat Indonesia di level global. Berdasar penelitian Global Gender Gap Report 2021 yang baru saja dirilis, posisi Indonesia di luar 100 besar dalam urusan kesetaraan gender. 

"Hasilnya menempatkan Indonesia di posisi 101 dari 156 negara," ujarnya.

Titi menilai, regulasi undang-undang belum memberikan hak afirmasi yang memadai. Sebab, berbicara keterpilihan tak lepas dari desain pencalonan. Di pencalonan DPD, tidak ada satu pun regulasi yang mengatur afirmasi perempuan. Berbeda dengan DPR yang mewajibkan 30 persen caleg dari perempuan.

Anggota Fraksi Partai Nasdem Juliet Sutrisno mengatakan, perempuan memiliki kapasitas untuk terlibat di ranah publik. Sayangnya, secara kultur, sebagian masyarakat masih berpikir perempuan lebih terbelakang. Misalnya, perempuan PKK sering diminta untuk berfokus pada urusan belakang seperti konsumsi. "Saya bilang oke itu kita lakukan. Tapi, kita (perempuan) juga bisa bahas anggaran, bahas konsep persiapan lainnya," ujarnya.

Juliet menilai, dalam aspek tertentu, perempuan justru jauh lebih multitalenta dan detail. Saat penanganan banjir di NTT misalnya, para lelaki hanya memikirkan kebutuhan logistik sembako. "Tapi, kita memikirkan ukuran kebutuhan pakaian dalam dan susu anak," imbuh istri gubernur NTT tersebut.(far/c7/bay/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya