JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Polemik pernyataan Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Puan Maharani yang berharap Sumatera Barat (Sumbar) mendukung negara Pancasila dipicu berbagai faktor.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menilai, akar masalahnya tak hanya soal suara PDIP di daerah pemilihan Sumbar. Sentimen masa lalu pada era pemerintah Presiden Soekarno dengan masyarakat Sumbar disebut turut menyumbang polemik tersebut.
Sejarah yang dimaksud berkaitan erat dengan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan di Sumatera Barat pada era Pemerintahan Soekarno 1958.
Permasalahan masa lalu itu menurut Asvi menjadi salah satu pemantik pernyataan Puan sebelumnya yang seolah menganggap warga Sumbar tak Pancasilais.
"Jadi ini ada kaitan dari sisi PRRI. Pemerintah pusat era Sukarno dianggap sebagai aktor yang menumpas PRRI, dan PDIP ini partai yang didirikan oleh keluarga Soekarno," kata Asvi, Kamis (3/9/2020).
Saat itu, warga Minangkabau mengalami trauma usai pemberontakan PRRI. Muncul sentimen yang berimbas kepada hak demokrasi warga Sumbar. Bahkan menurut Asvi, sejumlah orang lokal sengaja memberikan nama anak mereka dengan nama Jawa agar merasa aman saat itu.
"Setelah PRRI itu orang-orang Sumbar tidak pernah diberikan kesempatan untuk menduduki jabatan strategis. Jadi mereka semacam dianggap ancaman oleh Pemerintah Pusat," kata pria asal Bukittinggi, Sumbar, itu.
Persoalan berlanjut pada kecondongan politik warga Sumbar. Sebelumnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri ikut menyoroti pilihan politik warga Sumbar. Mega mengatakan ada beberapa daerah yang sebagian besar warganya enggan memilih calon kepala daerah yang diusung PDIP.
Menurut Asvi, hal itu juga disebabkan polemik peristiwa masa lalu. Saat masa Orde Baru dan awal reformasi, masyarakat Sumbar condong memilih Golkar. Namun dalam dua periode terakhir ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seolah mendominasi kancah perpolitikan di Sumbar.
"Dua periode belakangan ini, masuk di situ PKS, ini mempunyai dampak PKS sebagai partai oposisi yang berlawanan dengan pusat dan PDIP, dan itu mempengaruhi," kata dia.
Tak hanya itu, saat Pemilihan Presiden 2014 dan 2019 mayoritas masyarakat Minang mendukung calon presiden Prabowo Subianto. Mereka enggan memilih Joko Widodo yang berasal dari PDIP.
Hal itu menurut Asvi juga dipengaruhi faktor sentimen, sebab Prabowo merupakan anak Sumitro Djojohadikusumo yang notabenenya seorang tokoh PRRI.
"Pilpres 2019 Prabowo menang mutlak di Sumbar, kenapa bisa begitu? Menurut saya karena digerakkannya faktor sentimen PRRI," jelas Asvi.
Sementara, Pengamat Politik LIPI Wasisto Raharjo Jati menilai pangkal pernyataan Puan sebelumnya juga bisa dipicu dari suara PDIP yang tidak mendapat respons baik di Sumbar.
"Saya pikir pernyataan Puan tersebut terkait jumlah suara PDIP yang selalu kecil saat pemilu 2014 dan pemilu 2019 di Sumatera Barat," kata Wasisto seperti ditulis CNN Indonesia, Kamis (3/9).
Ia menilai kompetisi identitas Sumbar sangat kuat dengan benteng politik Islam. Oleh sebab itu, PKS dapat dengan mudah mendominasi perpolitikan di tanah Minang itu.