PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – MALAM itu udara sangat dingin pada 28 April 1945, di dekat Danau Como ketika sebuah regu tembak mengarahkan senjata laras panjangnya ke dua tubuh. Lelaki dan perempuan. Si lelaki adalah Benito Mussolini. Yang perempuan Clara Petacci. Petacci adalah kekasih gelap Mussolini, yang akan ikut dalam pelarian menuju Swiss. Mereka dicegat oleh partisan komunis Italia. Tak lama setelah itu senjata laras panjang itu menyalak dan dua tubuh itu roboh seketika. Jenazah keduanya kemudian di bawa ke Kota Milano. Di sana, kedua jenazah itu digantung terbalik di sebuah pos pengisian bahan bakar. Mereka ingin agar masyarakat Italia tahu bahwa Mussolini sudah tewas.
Benito Amilcare Andrea Mussolini, adalah seorang fasisme tulen. Meski awalnya dia seorang sosialis dan pernah bekerja sebagai jurnalis, namun buku bacaan dan tokoh-tokoh totalisme di masa lalu mengubah dirinya. Hugh Purcell menyebut bahwa Mussolini adalah orang yang memperkenalkan –menciptakan– fasisme dalam dunia politik, yang identik dengan kekerasan. Diambil dari bahasa Latin dari kata fasces yang berarti ikatan, Mussolini menjadikannya sebagai nama untuk gerakan revolusi barunya. Dia terinspirasi dari dari zaman Romawi kuno ketika seorang petugas hukum membawa seikat sambuk dengan kapak sebagai tanda penghargaan atas wewenang dan keadilan mereka. Pada tahun 1920, Mussolini mengadosi simbol tersebut dan memberi nama yang mirip, yakni Fasci, kepada sekelompok orang bersenjata yang diharapkannya akan membawanya kepada kekuasaan. Namanya Fasci Italiani di Combattimento.
Dari sisi gerakan politik kekerasan ini, Adolf Hitler menjadi salah seorang pengikutnya yang terbilang sukses mengadopsi pemikiran Mussolini. Hitler adalah pentolan Partai Buruh Soasialis Nasional Jerman atau National Socialist German Worker’s Party (NSDAP). Dari partai inilah muncul istilah “Nazi”. Kelak, Hitler, dengan Nazi-nya, melakukan gerakan masif, yakni mengkampanyekan ras Aria sebagai ras terunggul di Eropa. Sebelum Perang Dunia II meletus, Hitler sudah melakukan gerakan pembersihan terhadap bangsa Yahudi di Jerman dan negara-negara lain yang ditaklukkannya. Ratusan orang mati dalam siksaannya. Nah, Nazi Jerman dan Fasis Italia ini banyak kesamaan untuk kata fasist yang digunakan oleh Hitler dan Mussolini bagi gerakan revolusioner mereka yang sangat kental dengan kekerasan. Banyak filsuf dan pemikir dunia yang menolak fasisme dan Nazi sebagai sebuah idiologi. Mereka menganggap hanya sebagai sebuah gerakan. Di dunia ini, tidak ada ideologi yang tujuan utamanya melakukan kekerasan dan pembantaian umat manusia.
Gerakan fasisme yang diinisiasi oleh Mussolini mulai berkembang pesat di Eropa sejak 1935, terutama di Italia dan Jerman, lalu disusul Spanyol dan beberapa negara lainnya. Bahkan kemudian menyebar hingga ke beberapa negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin dalam nama dan bentuk yang berbeda. Kadang ada modifikasi sedikit, namun dasarnya tetap sama, yakni totaliter. Mereka, para pemimpin penganut fasisme, tidak melakukan kongres internasional, sebagaimana komunisme dengan komintrennya, yang sering mengadakan pertemuan interasional. Pemimpin fasis menjadikan diri mereka sendiri sebagai simbol hukum negara. Mereka saling terhubung dan saling mempengaruhi antarnegara penganutnya, yang disatukan satu orde fasis yang sangat kuat dan berkuasa secara luas di Eropa. Misalnya, Fasis Italia, Nazi Jerman, Falange Spanyol, Serikat Fasis Inggris, Rex Belgia, dan organisasi lainnya yang memiliki karakter sama. Karakter ini adalah role model bagi partai-partai fasis. Misalnya, sekumpulan orang Jerman yang menyambut Hitler dengan begitu fanatik pada upacara Nazi, akan berteriak: “Ein Reich! Ein Volk! Ein Fuehrer!” –Satu Negara! Satu Bangsa! Satu Pemimpin!– sebagai sebuah slogan yang menjelaskan apa sebenarnya fasisme itu.
Fasisme mengajarkan bahwa negara harus dipimpin secara totaliter. Ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tiran dan kediktatoran. Tangan besi. Bisa dalam wujud apa pun. Pemerintahan sipil yang dilindungi militer, atau malah junta militer yang berkuasa. Yang artinya, negara harus memiliki kekuasaan total, tak terbatas, pada semua aspek kehidupan setiap rakyatnya. Atau kalau masih dalam tataran partai, semua anggota partai harus tunduk tanpa syarat kepada kekuasaan elit pimpinannya. Hal ini tentu berbeda dengan demokrasi yang dikembangkan –saat itu, misalnya di Inggris yang juga muncul Partai Fasis— bahwa negara ada untuk rakyatnya untuk menjaga dan mengizinkan masyarakat untuk melakukan apa yang diinginkan. Dalam sistem totaliter, rakyat diwajibkan ada untuk keuntungan negara.
Di negara fasis dan totaliter, hanya ada satu partai yang berkuasa, dan itu adalah pemerintah. Jika ada negara penganut fasisme dan totaliter yang memiliki lebih satu partai, dipastikan itu hanya simbol, seolah ada demokrasi di situ. Di masa Orde Baru di Indonesia, hal ini pernah terjadi ketika Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hanya dijadikan pendamping partai penguasa, Golkar. Tapi di setiap pemilu, Golkar mesti menang. Jika di sebuah wilayah Golkar kalah, dipastikan penguasa wilayah tersebut akan dipecat.
Pemerintahan fasis atau totalisme akan mengontrol semuanya. Pendidikan, media massa, industri, perdagangan, pertanian, agama atau kepercayaan, bahkan hingga ke ranah privasi seperti keluarga. Hal seperti ini sebenarnya terjadi juga pada negara penganut komunisme yang menjalankan pemerintahan secara totaliter. Tidak ada kebebasan di sana. Semuanya serba terkontrol. Tak ada kebebasan individu; tak bisa mengeluarkan pendapat sesukanya; tak bisa pergi ke mana pun sesukanya; dan tak bisa mendidik anak-anak sesuai yang diinginkan. Seperti yang selalu diajarkan Hitler kepada anggota Partai Nazi-nya: “Kamu bukan apa-apa, negaramu adalah segalanya!”.
Sebagai kloning dari totaliter, fasisme mengajarkan bahwa kekuatan adalah hal yang lebih penting dari kebebasan. Rakyat harus bersatu dan berkorban untuk negara. Di masa fasisme berkembang di Eropa, demokrasi disebut sebagai paham yang melemahkan negara. Bagi mereka, demokrasi hanyalah sedikit lebih baik daripada chaos. Bahkan ada yang menyebut bahwa demokrasi adalah awal kehancuran sebuah negara karena jika rakyat diberi kebebasan, negara akan dilemahkan. Di sana tidak ada kedisiplinan, tak ada kekuatan bersama membagun negara, dan mengizinkan warga negara mengeluarkan pendapat secara bebas akan mendorong egoisme individu yang bisa saja berakhir dengan anarki. Seperti dikatakan seorang fasis muda Prancis, Charles Maurras, “Hanya ada satu cara untuk memperbaiki demokrasi, yaitu menghancurkan demokrasi itu sendiri…”***