Saat ini di beberapa daerah di Indonesia mengalami berbagai bencana. Sebagian wilayah Jakarta pada awal tahun 2020 mengalami banjir. Sebagian lain di wilayah Jawa Barat dan Banten seperti Kabupaten Bekasi, Kabuapaten Tangerang, Kabupaten Bogor dan beberapa kabupaten lainya juga mengalami banjir dan di perparah lagi dengan bencana longsor. Di Provinsi Riau juga mengalami bencana banjir seperti Kabupaten Kampar, Kabupaten Kuansing dan beberpa daerah lainya. Derasnya intensitas hujan dan cuaca ekstrem di daerah sekitar bencana serta penanganan tata ruang dan tata kelola pengairan yang tidak baik di beberapa wilayah dituding penyebab terjadinya bencana tersebut.
Pemberitaan Bencana
Ada yang menarik dari bencana yang terjadi di Indonesia, pemberitaan media massa yang menjadi ujung tombak informasi terhadap peristiwa yang menimpa wilayah dan masyarakat yang terkena bencana. Sebagian orang menilai pemberitaan yang diliput media baik media lokal maupun media nasional dikriminastif.
Secara idealnya media menurut McQuail (2002) dalam bukunya “Mass Communication Theories” media massa dipandang sebagai window on events and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak “melihat†apa yang sedang terjadi di luar sana ataupun pada diri mereka sendiri. Selain itu media juga sering dianggap sebagai cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Apa yang salah dari media tersebut?
Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh beberapa faktor. Pamela J. Shoemker dan Stephen D. Reese (1996) dalam Mediating The Message : Theories of Influence on Mass Media Content menegaskan bahwa pengaruh terhadap isi pemberitaan media oleh faktor internal dan eksternal. Pengaruh ini dibagi ke dalam beberapa level.
Individual Level. Karakteristik individu pekerja media (seperti latar belakang dan pengalaman jurnalis) memang tidak memiliki pengaruh langsung kepada isi media, namun karakteristik individual tersebut mempengaruhi baik sikap maupun perilaku personal serta profesional yang bersangkutan. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi isi media. Dengan kata lain, efek latar belakang individual terhadap isi media dimediasi oleh perilaku personal serta profesional individu yang bersangkutan. Lebih spesifik, keyakinan dan sikap profesional (yang merujuk pada kode etik profesional individu pekerja media) lebih mempengaruhi isi media ketimbang keyakinan personal (keyakinan politik atau faktor-faktor demografi seperti jenis kelamin, etnis, orientasi seksual, dan sebagainya). Contoh, Sebuah berita yang baik harus bebas dari nilai-nilai subjektif dari redaksi. Namun pengambilan sudut pandang (standpoint) yang biasa disebut angle biasanya didasari pengalaman subjektif dari redaksi (baik reporter maupun redaktur)
Media Routines Level. Yang dimaksud media routines (rutinitas media) adalah kebiasaan media dalam mengemas berita. Media rutin dibentuk oleh tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu sumber berita (suppliers), organisasi media (processor), dan khalayak (consumers).
Organizational Level. Level ketiga dalam teori hirarki pengaruh media adalah level organisasi media. Level ini berkaitan dengan struktur manajemen organisasi, kebijakan dan tujuan media. Level ini dianggap Shoemaker-Reese lebih berpengaruh pada isi media ketimbang dua level sebelumnya, yaitu level individu dan rutinitas media. Mengapa ? Karena, kebijakan dipegang pemilik media melalui editor. Jadi penentu kebijakan dalam menentukan pemberitaan tetap dipegang pemilik media. Contoh; ketika terjadinya Tsunami di Aceh, sebagaimana kita ketahui Metro TV memberikan liputan penuh pada bencana yang terjadi. Ini dipahami oleh para pengamat media karena kedekatan salah seorang pemilik (owner) Metro TV dengan Provinsi Aceh
Extramedia Level. Level keempat adalah level pengaruh dari luar organisasi media atau extramedia level. Pengaruh-pengaruh itu berasal dari sumber berita, public relation, pengiklan dan penonton, pemerintah, pangsa pasar dan teknologi. Ini yang disebut pengaruh luar organisasi media.
Ideological Level. Level yang terakhir dalam teori hirarki pengaruh Shoemaker-Reese ini adalah ideologi. Ideologi dipandang sebagai kerangka berpikir tertentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana menghadapinya. Berbeda dengan level sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Level ini berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsir realitas dalam media.
Demikianlah alasan mengapa terjadinya diskriminasi media dalam menyajikan berita bencana yang ada.***