Senin, 25 November 2024
spot_img

Refleksi Banjir dalam Perspektif Penataan Ruang

Dalam konteks penataan ruang, permasalahan perkotaan seperti banjir yang terjadi di Kota Pekanbaru harus dilihat secara holistik dan komprehensif. Memaknai banjir sebagai akibat dari perencanaan drainase yang bermasalah maupun curah hujan yang tinggi merupakan perspektif praktis jangka pendek yang tidak salah. Akan tetapi memahami banjir sebagai sebuah permasalahan perkotaan secara lebih luas merupakan perspektif jangka panjang dengan sasaran terhadap solusi di masa yang akan datang.

Tantangan terbesar dalam permasalahan perecanaan kota pada masa yang akan datang adalah terkait dengan populasi penduduk dan bencana. Pada tahun 2050, diperkirakan total populasi perkotaan di negara-negara berkembang akan berlipat ganda dari 2,5 miliar menjadi 5,3 miliar. Pertumbuhan populasi perkotaan tersebut akan berdampak pada konsumsi tanah, air dan makanan, serta kebutuhan infrastruktur, perumahan serta lapangan pekerjaan (Steinberg, 2014). 

Di Indonesia sendiri terdapat 52 persen penduduk bermukim di perkotaan pada tahun 2010 dan akan semakin meningkat hingga 66 persen pada tahun 2035 (Bappenas, BPS, UNFPA, 2013). Hal ini telah menjadikan perkotaan sebagai titik fokus dari dampak urbanisasi, globalisasi dan juga perubahan iklim. Selain populasi, bencana juga merupakan tantangan dalam perencanaan kota di masa datang, baik berupa bencana alam maupun wabah penyakit. 

Baca Juga:  Desa Tangguh Bencana

Kondisi global permasalahan kota tersebut di atas tentu juga akan dihadapi oleh Kota Pekanbaru pada masa yang akan datang, atau mungkin sudah mulai dirasakan melalui datangnya banjir yang melanda Kota Pekanbaru saat ini. Untuk menjawab tantangan tantangan permasalahan global tersebut, penting untuk mulai mempertimbangkan penataan ruang yang mengadopsi perencanaan Kota Hijau yang Adaptif dan Berkelanjutan. 

Kota hijau merupakan kota dengan infrastruktur hijau, yaitu  merupakan system yang saling terkait dan berhubungan antara jaringan dengan ruang hijau yang dapat memberikan manfaat bagi nilai ekosistem alam dan bagi populasi manusia (Benediktus & McMahon, 2012). Kota dengan infrastruktur hijau telah digunakan untuk mengatasi risiko bahaya air seperti banjir, angin topan, tsunami dan sebagainya. Kebijakan kota hijau juga semakin banyak digunakan sebagai alat untuk meningkatkan ketahanan perkotaan dan keberlanjutan mendukung keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem (Simmons et al., 2008). 

Pembangunan infrastruktur hijau juga dapat berfungsi sebagai tindakan mitigasi bahaya berkelanjutan. Mitigasi bahaya berkelanjutan adalah sebuah konsep yang menghubungkan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana dengan ekonomi lokal dan ketahanan sosial "Mileti & Gailus, 2005 dalam Tyler, 2016). Memahami permasalahan banjir Kota Pekanbaru terhadap perencanaan Kota Hijau merupakan upaya jangka panjang melalui integrasi infrastruktur dan penggunaan lahan secara bijak serta lebih bertanggungjawab.

Baca Juga:  Membunuh Rasa Ego

Perencanaan kota yang adaptif merupakan perencanaan kota yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, adaptasi tata kelola solusi berbasis alam dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait, dan pertimbangan terhadap keadilan sosial dan lingkungan (Kabisch, 2016). Dengan melihat pemahaman tersebut, kota yang adaptif merupakan kota yang mampu menyesuaikan dengan tantangan dan permasalahan yang dihadapi pada masa yang akan datang, sehingga ada upaya antisipasi terhadap perencanaan kota di masa sekarang. 

Permasalahan banjir Kota Pekanbaru juga harus dipahami sebagai sebuah upaya antisipasi jangka panjang terhadap tantangan dan permasalahan yang disebabkan oleh aspek alam maupun aspek sosial yang menjadi penyebab banjir. 

Konsepsi pembangunan kota yang berkelaniutan dapat dilihat dari tiga dimensi yang saling berkaitan yaitu lingkungan, sosial, serta ekonomi. Dalam Undang–undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, perencanaan yang berkelanjutan.  

Sehingga memahami banjir Kota Pekanbaru juga harus dilihat dari dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Seberapa besar pengaruh perekonomian dan kehidupan sosial terhadap lingkungan sehingga secara langsung maupun tidak langsung menjadi bagian dari terjadinya banjir di Kota Pekanbaru.***

Dalam konteks penataan ruang, permasalahan perkotaan seperti banjir yang terjadi di Kota Pekanbaru harus dilihat secara holistik dan komprehensif. Memaknai banjir sebagai akibat dari perencanaan drainase yang bermasalah maupun curah hujan yang tinggi merupakan perspektif praktis jangka pendek yang tidak salah. Akan tetapi memahami banjir sebagai sebuah permasalahan perkotaan secara lebih luas merupakan perspektif jangka panjang dengan sasaran terhadap solusi di masa yang akan datang.

Tantangan terbesar dalam permasalahan perecanaan kota pada masa yang akan datang adalah terkait dengan populasi penduduk dan bencana. Pada tahun 2050, diperkirakan total populasi perkotaan di negara-negara berkembang akan berlipat ganda dari 2,5 miliar menjadi 5,3 miliar. Pertumbuhan populasi perkotaan tersebut akan berdampak pada konsumsi tanah, air dan makanan, serta kebutuhan infrastruktur, perumahan serta lapangan pekerjaan (Steinberg, 2014). 

- Advertisement -

Di Indonesia sendiri terdapat 52 persen penduduk bermukim di perkotaan pada tahun 2010 dan akan semakin meningkat hingga 66 persen pada tahun 2035 (Bappenas, BPS, UNFPA, 2013). Hal ini telah menjadikan perkotaan sebagai titik fokus dari dampak urbanisasi, globalisasi dan juga perubahan iklim. Selain populasi, bencana juga merupakan tantangan dalam perencanaan kota di masa datang, baik berupa bencana alam maupun wabah penyakit. 

Baca Juga:  Refleksi HUT Ke-236 Pekanbaru: Jadikan Pekanbaru Metropolitan, Bukan Kampung Besar

Kondisi global permasalahan kota tersebut di atas tentu juga akan dihadapi oleh Kota Pekanbaru pada masa yang akan datang, atau mungkin sudah mulai dirasakan melalui datangnya banjir yang melanda Kota Pekanbaru saat ini. Untuk menjawab tantangan tantangan permasalahan global tersebut, penting untuk mulai mempertimbangkan penataan ruang yang mengadopsi perencanaan Kota Hijau yang Adaptif dan Berkelanjutan. 

- Advertisement -

Kota hijau merupakan kota dengan infrastruktur hijau, yaitu  merupakan system yang saling terkait dan berhubungan antara jaringan dengan ruang hijau yang dapat memberikan manfaat bagi nilai ekosistem alam dan bagi populasi manusia (Benediktus & McMahon, 2012). Kota dengan infrastruktur hijau telah digunakan untuk mengatasi risiko bahaya air seperti banjir, angin topan, tsunami dan sebagainya. Kebijakan kota hijau juga semakin banyak digunakan sebagai alat untuk meningkatkan ketahanan perkotaan dan keberlanjutan mendukung keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem (Simmons et al., 2008). 

Pembangunan infrastruktur hijau juga dapat berfungsi sebagai tindakan mitigasi bahaya berkelanjutan. Mitigasi bahaya berkelanjutan adalah sebuah konsep yang menghubungkan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana dengan ekonomi lokal dan ketahanan sosial "Mileti & Gailus, 2005 dalam Tyler, 2016). Memahami permasalahan banjir Kota Pekanbaru terhadap perencanaan Kota Hijau merupakan upaya jangka panjang melalui integrasi infrastruktur dan penggunaan lahan secara bijak serta lebih bertanggungjawab.

Baca Juga:  Desa Tangguh Bencana

Perencanaan kota yang adaptif merupakan perencanaan kota yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, adaptasi tata kelola solusi berbasis alam dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait, dan pertimbangan terhadap keadilan sosial dan lingkungan (Kabisch, 2016). Dengan melihat pemahaman tersebut, kota yang adaptif merupakan kota yang mampu menyesuaikan dengan tantangan dan permasalahan yang dihadapi pada masa yang akan datang, sehingga ada upaya antisipasi terhadap perencanaan kota di masa sekarang. 

Permasalahan banjir Kota Pekanbaru juga harus dipahami sebagai sebuah upaya antisipasi jangka panjang terhadap tantangan dan permasalahan yang disebabkan oleh aspek alam maupun aspek sosial yang menjadi penyebab banjir. 

Konsepsi pembangunan kota yang berkelaniutan dapat dilihat dari tiga dimensi yang saling berkaitan yaitu lingkungan, sosial, serta ekonomi. Dalam Undang–undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, perencanaan yang berkelanjutan.  

Sehingga memahami banjir Kota Pekanbaru juga harus dilihat dari dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Seberapa besar pengaruh perekonomian dan kehidupan sosial terhadap lingkungan sehingga secara langsung maupun tidak langsung menjadi bagian dari terjadinya banjir di Kota Pekanbaru.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari