Investasi menjadi kata paling populer akhir-akhir ini. Paling gres kata tersebut melatarbelakangi terbitnya Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang mendapat protes keras banyak pihak terutama kalangan buruh, akademisi, mahasiswa, praktisi hingga daerah. Kata sama juga menjadi objek pembahasan di lembaga DPRD Provinsi Riau paska dibentuk Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Investasi Daerah. Bedanya investasi yang dibahas di DPRD Riau tidak sekontroversi UU Ciptaker yang disebut obral diskon kemudahan. Sampai dituding mengabaikan kualitas hidup buruh dan pekerja ke depan, mereduksi aspek kepedulian lingkungan dan kembalinya praktik sentralisasi yang lama dicampakan. Sementara di DPRD Riau justru ingin mengatur secara ketat investasi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) agar dalam koridor peraturan; agar penggunaan “duit rakyat” dapat dipertanggungjawabkan; dan output-nya mendatangkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat Riau. Intinya agar tidak ugal-ugalan mempergunakan duit APBD dengan berlindung di balik kata investasi daerah.
Lahirnya Raperda tentang Penyelenggaraan Investasi Daerah yang digagas Komisi III DPRD Provinsi Riau sebagai pedoman. Selama ini investasi yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau masih jauh dari efektif, efisien dan menguntungkan ekonomi daerah dan bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam beberapa kasus malah merugikan. Tak sedikit malah jadi temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Harus Jeli
Kontribusi dan efektivitas investasi yang telah dilakukan Pemprov Riau setakad ini masih jauh dari yang diharapkan. Terutama menyorot investasi penyertaan modal ke BUMD yang menyedot anggaran dan bahkan membebani APBD. Ironisnya, hasilnya tidak sepadan dengan nilai tambah dan pemasukan bagi daerah. Selain disebabkan tata kelola BUMD yang tidak optimal, Pemprov Riau juga dinilai kurang cermat. Padahal unsur kehati-hatian dan kecermatan (accountability dan responsibility) merupakan syarat mutlak investasi daerah. Maka tak heran penyertaan modal kerap melahirkan permasalahan kemudian hari. Baik itu persoalan manajerial hingga konsekuensi akibat ketidakpatuhan terhadap aturan. Misalkan aturan yang mengharuskan BUMD menyetor laporan keuangan yang telah diaudit, yang tak habis pikir seringkali lalai dilaksanakan. Padahal sudah banyak kasus investasi daerah berujung ke ranah hukum gara-gara kelalaian tadi.
Mengingat investasi memakai duit rakyat, maka kajian terhadap berbagai aspek perlu dilakukan. Sehingga diperoleh gambaran utuh apakah BUMD telah melaksanakan efisiensi atas modal yang diterima sebelumnya? Apakah BUMD telah mengelola core bisnis secara optimal? Dan pertanyaan lain yang bisa menambah preferensi Pemprov. Berikut landasan yuridis, ekonomis, dan marketable, secara detail bisa dengan mengkaji struktur neraca BUMD minimal dalam dua tahun terakhir berikut strategi dan proyeksi BUMD dan strategi usaha atau bisnis pada laporan terakhir termasuk keuntungan yang diperoleh diproyeksikan ke mana. Pekerjaan ini tentu perlu SDM dengan kapasitas dan kapabilitas mumpuni. Tanpa bermaksud mendiskreditkan, kayaknya mengandalkan SDM Pemprov bakal susah. Sebab butuh individu yang memiliki paradigma dan mentalitas bisnis. Pemprov perlu profesional entah itu konsultan dan sejenisnya yang dapat memberi masukan dan pertimbangan. Posisi konsultan bisa berada di bawah BPKAD atau Biro Perekonomian.
Kunci Ekonomi Daerah
Maka, dalam rangka optimalisasi investasi daerah perlu regulasi yang handal. Melalui Reperda diharapkan dapat mendorong tumbuh kembangnya BUMD, sehingga kedepan dapat mengembangkan core bisnisnya semisal bekerjasama dengan pihak ketiga. Seperti BRK yang sudah melakukan kerjasama dalam pengelolaan e-tol dengan PT HKI. Mengacu ke provinsi lain, banyak Bank Pembangunan Daerah (BPD) mengalami peningkatan aset yang signifikan setelah melakukan kerja sama dalam pengelolaan tol. Masukan dari sejumlah pihak juga mengharapkan Raperda dapat memberikan solusi bagi BUMD yang saat ini mengalami kesulitan menjalankan kegiatan dan mengembangkan kegiatan bisnis; skema pengelolaan Investasi; dan menyiasati hubungan antar OPD khususnya Biro Perekonomian, BPKAD dan juga pelaksana investasi. Karena sinergitas dan koordinasi merupakan faktor krusial yang menentukan keberhasilan investasi pemerintah.
Selain bicara profitable, juga perlu melirik nilai kemanfaatan lain dari investasi daerah yang berdampak langsung bagi masyarakat. Terkait ini, investasi non permanen juga tak kalah penting. Karena investasi tersebut bersifat penunjang tumbuh-kembangnya usaha masyarakat. Adapun harapannya dampaknya tidak hanya berupa profit sharing, akan tetapi juga berefek bagi perekonomian masyarakat.
Akhir tulisan, bagaimanapun Raperda ini tentu punya ruang dan batasan. Perda saja percuma tanpa diiringi itikad komitmen dan pembenahan pola pikir dan mentalitas kesungguhan organisasi Pemprov Riau. Apalagi Riau dihadapkan pada kondisi keterbatasan anggaran. Untuk itu peruntukan dan penggunaan anggaran wajib tepat guna. Masukan sejumlah kalangan terhadap Raperda, diharapkan tidak sekedar mengatur bentuk investasi. Tetapi paling penting menjadi guide line bagi Pemda untuk memutuskan apakah sebuah investasi layak dilakukan (baca: diperketat). Intinya, investasi daerah harus mempertimbangkan dan mengkaji segala aspek. Semua demi satu tujuan: supaya duit rakyat dapat dipakai tepat guna dan rakyat dapat merasakan nilai manfaatnya secara nyata.***
Sofyan Siroj Abdul Wahab (Anggota Pansus Ranperda Penyelenggaraan Investasi Daerah DPRD Riau)