Kita tentu saja berharap pandemi Covid-19 tidak seganas Influenza 1918. Rekomendasi Priyanto Wibowo dkk berdasarkan pandemi Influenza 1918 harus menjadi pegangan bagi kita dalam penanganan Covid-19, yakni: penangangan influenza harus melibatkan semua sektor, tidak hanya kesehatan; bahwa ego individu dan kepentingan kelompok harus dikesampingkan apabila ingin merespon pandemi influenza dengan cepat agar dapat menyelamatkan sebanyak mungkin manusia.
Gaya hidup berkumpul dalam jumlah besar menjadi penyebab utama penyebaran Covid-19. Himbauan untuk melakukan social distancing terasa sangat berat dilakukan karena kita telah terbiasa berkumpul. Jargon bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah dari rumah mudah diucapkan tetapi sangat sulit diterapkan. Larangan untuk berkumpul pasti mendapat penolakan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia karena kita sudah terbiasa berkumpul dan bahkan kebiasaan berkumpul di warung kopi berjam-jam sudah dianggap model interaksi sosial bagi kelompok masyarakat tertentu. Berbagai ritual budaya dan agama juga biasa dilakukan dengan menghadirkan banyak orang. Kenduri, syukuran, selamatan, ulang tahun, pesta dan upacara adat dilakukan dengan melibatkan banyak orang tidak bisa dilaksanakan akibat Covid-19. Kebiasaan bersalaman, merangkul, berpelukan dan berciuman harus dihentikan karena dianggap berpotensi menyebarkan Covid-19. Budaya mudik di Indonesia juga akan meningkatkan penyebaran Covid-19. Pemberlakuan lockdown total, lockdown parsial, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau apapun namanya bertujuan untuk membatasi gerak manusia agar bisa memutus penyebaran Covid-19. Setiap negera dapat memilih model pembatasan apa yang sesuai dengan kondisi dan kemampuannya dalam menangani Covid-19.
Ritual ibadah yang dilakukan secara berjamaah juga tidak bisa dilakukan. Perdebatan imbauan untuk tidak melakukan ibadah secara berjamaah sangat jelas terlihat di Indonesia. Meskipun pemerintah dan ulama telah menghimbau agar umat beragama tidak melaksanakan ibadah secara berjamaah di rumah ibadah, masih ada kelompok masyarakat yang melakukan itu dengan berbagai dalih. Mereka yakin bahwa Tuhan akan melindungi mereka dari penyebaran Covid-19 sehingga mereka mengabaikan himbauan tersebut. Tidak mengherankan sampai saat ini masih ada rumah ibadah yang tetap menjalankan ibadah yang melibatkan banyak orang baik secara terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi. Bahkan ada pula pandangan yang bernada negatif terhadap pemerintah karena pemerintah dipandang sengaja melarang umat beribadah. Pandangan seperti ini menjadi hambatan dalam upaya memutus penyebaran Covid-19. Peran tokoh masyarakat dan ulama sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada umat beragama. Apalagi menjelang masuknya Ramadhan dan Idul Fitri ritual ibadah bersama-sama telah menjadi kebiasaan umat Islam. Pendekatan yang bersifat soft harus terus dilakukan oleh berbagai pihak untuk memberikan pemahaman yang benar untuk mencegah penyebaran Covid-19. Pendekatan hukum tidak selalu menyelesaikan masalah. Penetapan fatwa haram untuk mudik juga kurang tepat karena mudik bukan berada pada ranah agama tetapi ia berada pada wilayah budaya.
Masyarakat harus terus diberi informasi yang benar dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami. ***
Junaidi, Rektor Universitas Lancang Kuning