Terjadinya kebakaran hutan dan lahan dipicu oleh berbagai faktor, baik faktor alam maupun faktor manusia. Kondisi iklim yang ekstrem, seperti musim kemarau yang berkepanjangan karena fenomena El Nino menjadi faktor alami yang sering memicu kebakaran hutan dan lahan. Namun kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diduga lebih disebabkan oleh pengaruh aktivitas manusia daripada faktor alam. Tetapi hal ini, diperlukan analisis kuantitatif yang menjelaskan keterkaitan dan peran masing-masing faktor yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, di tanah mineral dan gambut. Kebakaran yang terjadi di lahan gambut lebih sulit diatasi karena api dapat menyebar melalui biomassa di atas tanah dan di lapisan gambut di bawah permukaan. Proses membara di lahan gambut ini sulit diketahui penyebarannya secara visual. Kondisi gambut kering akibat pembukaan lahan dan kanal/parit dapat menyebabkan lahan gambut mudah terbakar, terutama di musim kemarau yang panjang.
Provinsi Riau menjadi salah satu daerah yang perlu mendapat perhatian khusus karena memiliki luas lahan gambut di Provinsi Riau mencapai 5,09 juta ha (56,42 persen dari luas total lahan gambut di Pulau Sumatera), memiliki potensi dalam menyimpan karbon sebesar 14.605 juta ton, yang menjadikan Provinsi Riau memainkan peranan yang sangat penting dalam lingkungan lokal dan juga lingkungan global. Ketersediaan data/informasi tentang tingkat kerentanan dan potensi kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau menjadi penting. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah salah satu metode yang dapat memfasilitasi para pemangku kepentingan dalam memantau dan memahami terjadinya kebakaran hutan, apakah insiden tersebut telah terjadi atau prediksi kebakaran di masa depan.
Pemodelan spasial kebakaran hutan dan lahan telah menjadi topik studi oleh banyak peneliti, menggunakan berbagai pendekatan dan pertimbangan, termasuk faktor lingkungan (biofisik), sosial ekonomi, dan kebijakan. Jaya et al. (2007) memodelkan kebakaran dengan menggunakan variasi dalam pola iklim lokal (curah hujan), vegetasi (tutupan lahan, kepadatan biomassa, dan kelembaban), penggunaan lahan dan beberapa faktor terkait seperti jarak dari sungai, jalan dan pemukiman.
Salah satu strategi untuk mempercepat pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan adalah melalui pengembangan desa/kelurahan tangguh terhadap bencana dengan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK). Dalam PRBBK, proses pengelolaan risiko bencana melibatkan secara aktif masyarakat dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya.
Ketangguhan menghadapi bencana ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana (PRB), dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pasca keadaan darurat. Pengembangan Destana/Katana merupakan salah satu upaya pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat dengan meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan, yang direncanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama. Masyarakat di dalam desa tangguh bencana aktif terlibat dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi, dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
Destana/Katana merupakan salah satu perwujudan dari tanggung jawab pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana. Tujuan pengembangannya untuk melindungi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bahaya dari dampak-dampak merugikan bencana, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dalam rangka mengurangi risiko bencana, meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya, dan pemeliharaan kearifan lokal bagi pengurangan risiko bencana, meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan sumber daya dan teknis bagi pengurangan risiko bencana, meningkatkan kerja sama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak pemerintah daerah, sektor swasta, perguruan tinggi, LSM, organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok lain yang peduli.
Program Destana/Katana mengacu pada kerangka masyarakat tangguh internasional yang dikembangkan berdasarkan Kerangka Aksi Hyogo. Pertama, memprioritaskan pengurangan risiko bencana (PRB) sebagai prioritas nasional dan daerah yang dilaksanakan melalui kelembagaan yang kuat. Kedua, mengidentifikasi, mengkaji, dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini. Dalam upaya mengidentifikasi dan mengkaji risiko bencana, masing-masing daerah yang ada di Indonesia harusnya sudah memiliki peta risiko bencana. Ketiga, memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan masyarakat. Untuk meningkatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan kebencanaan, para akademisi dan praktisi harus membuat sebuah sistem penyampaian informasi yang benar tentang kebencanaan kepada masyarakat awam.
Penyampaian informasi yang benar akan mengurangi tingkat kekhawatiran masyarakat. Banyak kasus kepanikan masyarakat yang terjadi karena tidak sampainya informasi yang benar kepada masyarakat sehingga ketika masyarakat mendengar atau menerima informasi yang salah, kepanikan tidak dapat dihindari.
Keempat, mengurangi faktor-faktor mendasar penyebab timbulnya atau meningkatnya risiko bencana. Faktor sumber daya alam dan lingkungan sering kali menjadi faktor mendasar terjadinya bencana alam dan sosial. Kelima, memperkuat kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respon yang dilakukan lebih efektif.
Destana dibagi menjadi tiga kriteria utama. Pertama, desa/kelurahan tangguh bencana utama, yang merupakan tingkat tertinggi desa/kelurahan dengan ciri-ciri adanya kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk Perdes atau perangkat hukum setingkat di kelurahan, memiliki dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam RPJMDes dan dirinci ke dalam RKPDes, mempunyai forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil pemerintah desa/kelurahan, yang berfungsi dengan aktif, memiliki tim relawan PB desa/kelurahan yang secara rutin terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, selalu melakukan upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko, dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan, dan upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana.
Kedua, Destana/Katana Madya yakni Destana/Katana tingkat menengah dengan ciri, memiliki kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa atau kelurahan, adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa, mempunyai forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, tetapi belum berfungsi penuh dan aktif, tim relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan, dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, tetapi belum rutin dan tidak terlalu aktif, upaya untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan,tetapi belum terlalu teruji, peningkatan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis.
Ketiga, Destana/Katana Pratama yang merupakan Detana/Kastana tingkat awal yang dicirikan dengan melaksanakan upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa atau kelurahan, melakukan penyusunan awal untuk menyusun dokumen perencanaan PB, membentuk forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat, membentuk tim relawan PB desa/kelurahan, adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana.
Ketangguhan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah menyiapkan semua kelompok masyarakat di dalam desa untuk selalu siap jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Karenanya semua kelompok masyarakat, terutama kelompok berisiko atau rentan, harus menjadi bagian dari pengembangan dan penguatan Destana. Kelompok berisiko, yakni perempuan, perempuan kepala rumah tangga, ibu hamil, ibu menyusui, anak, lanjut usia, dan disabilitas harus mendapat perhatian khusus dalam pemasangan rambu-rambu jalur evakuasi. Jalur evakuasi harus memungkinkan dapat digunakan oleh penduduk dalam kondisi khusus, utamanya ibu hamil, ibu menyusui, anak, lanjut usia, dan disabilitas.
Tentu, lembaga atau organisasi yang bertanggung jawab untuk penanggulangan bencana harus mempuyai data yang valid mengenai kelompok rentan dan selalu divalidasi. Di desa pasti ada orang-orang yang memerlukan bantuan jika terjadi bencana karena mereka kesulitan menyelamatkan diri, seperti disabilitas, orang-orang tua, ibu hamil, dan anak-anak kecil. Karena itu, jalur-jalur evakuasi harus dibangun disesuaikan untuk bisa dilalui oleh semua orang.***