Sabtu, 27 Juli 2024

Dunia Ini Panggung Sandiwara Menjadi Realita

Panggung sandiwara memang seolah-olah berkonotasi negatif, namun di era disrupsi, justru menjadi “trending topic”, sebab banyak kejadian termanipulasi akibat dampak lanjutan dari kecanggihan teknologi itu sendiri.

Kita masih hangat di pikiran kita terkait kasus mantan PM Malaysia Najib Razak, dengan penggiringan opini melalui mobilisasi menggunakan tagar #DearNajib, dengan tujuan untuk mengekspresikan kemarahan yang luar biasa pada pemerintahan Najib. Penggiringan opini itu dengan pola mobilisasi bisa dengan sangat besar memungkinkan terjadinya penggiringan opini atau dalam bahasa terangnya adalah manipulasi opini.

- Advertisement -

Lebih lanjut terkait panggung sandiwara ini, ada yang menarik untuk dicermati, terkait ketokohan. Dulu di zaman sebelum era digital ataupun era connected society, yang ditokohkan dalam suatu masyarakat itu adalah para pemuka agama, dan para pejabat pemerintahan, dan ternyata di saat ini terjadi pergeseran paradigma secara sistematis, yang ditokohkan itu para youtubers, selebgram yang memiliki banyak follower, tidak peduli yang ditokohkan itu punya kasus moral atau tidak, yang penting adalah segala perilakunya yang menjadi trending topic baik secara positif maupun sisi negatif, maka akan terjadi penokohan kepada yang bersangkutan. Kok bisa meleset ya?

Selanjutnya ada contoh lain lagi yang tak kalah menariknya adalah dalam rangka untuk menaikan rating seorang artis maupun rating suatu produk, maka acap kali kita dipertontonkan suatu kejadian perkelahian atau konflik yang norak dalam durasi yang panjang di dunia maya. Ada artis A menyerang artis B, dan pada akhirnya masing-masing twitter nya mengalami pelonjakan follower yang luar biasa. Cara seperti itu biasanya acap kali dipakai oleh para produser film yang akan meluncurkan film barunya, merancang suatu cerita dalam rangkaian konflik di antara para pemain film itu. Biasanya film nya itu membludak penontonnya. Tidak jarang para follower terjebak emosi mengikuti proses konflik para artis itu.

Baca Juga:  Haji di Masa Covid-19

Kisah acara di stasiun TV Swasta misalnya pada acara  Dangdut Academy (D’Academy) terbukti selalu meraih rating tertinggi dalam hal jumlah pemirsa, padahal ditayangkan sampai larut malam, yaitu pukul 19.00 sampai dengan pukul 24.00. Kok bisa ya ratingnya tinggi?  Apakah yang tampil adalah para penyanyi yang memiliki talenta yang luar biasa dan menjadikan para pemirsa TV terkagum-kagum? Ternyata tidak begitu penyebab angka ratingnya jadi tinggi. Yang menjadi sangat menarik para pemirsa TV adalah rangkaian konflik dalam bentuk drama terselubung yang dilakoni oleh masing-masing juri. Hal itu tanpa disadari penonton, selalu menjadi tambah penasaran dan terbawa emosi pula lagi. Bahkan tidak jarang percakapan para juri itu menjadi viral di media sosial.

- Advertisement -

Ada lagi yang menarik dan menjadi tontonan lawakan yang tidak lucu yaitu ketika ada acara Pilkada serentak pada tahun lalu, kita sering dipertontonkan perang fitnah dari pendukung maupun timses  para kanditat. Yang uniknya pada ada kandidat yang sering arogan, sering caci maki, dan kurang bijak menyikapi sesuatu permasalahan, sering disebut sumbu pendek, biasanya oleh para timses-nya dikemas sebagai orang yang sangat  tegas. Penggiringan opini dan mindset  terkait hal ini, memang membuyarkan banyak teori, terutama teori tentang leadership. Ini memang sandiwara yang tidak lucu.

Baca Juga:  Membangkitkan Kembali Wisata Sejarah Pekanbaru

Dari sejumlah contoh realita di atas bahwa dunia ini memang panggung sandiwara, mewajibkan kita harus paham bahwa marketing  berbeda dengan mobilisasi. Bedanya di mana ya? Marketing itu bisa disarikan dari sejumlah referensi, merupakan sebagai upaya untuk masuk ke pasar dan bahkan untuk meningkatkan pangsa pasar dalam kaitan pemenuhan kepuasan pelanggan.  Sedangkan mobilisasi dalam konteks terkait marketing, merupakan penggiringan opini dalam kaitan menghambat langkah lawan, dan untuk memperoleh dukungan. Ya bisa saja bila diarahkan  agak nyeleneh, maka mobilisasi itu sebagai aktivitas marketing yang diselewengkan dengan kemasan yang bisa mengiring emosi dan  perasaan orang.

Lalu pesan moral apa yang tersirat pada uraian di atas ya? Dalam alam layar terkembang ini, telah banyak membuktikan kepada kita bahwa kecanggihan teknologi saat ini yang selalu bertumbuh secara dinamis, ternyata segala macam rekayasa bisa terjadi, dan benarlah bahwa dunia ini panggung sandiwara menjadi realita.***

Panggung sandiwara memang seolah-olah berkonotasi negatif, namun di era disrupsi, justru menjadi “trending topic”, sebab banyak kejadian termanipulasi akibat dampak lanjutan dari kecanggihan teknologi itu sendiri.

Kita masih hangat di pikiran kita terkait kasus mantan PM Malaysia Najib Razak, dengan penggiringan opini melalui mobilisasi menggunakan tagar #DearNajib, dengan tujuan untuk mengekspresikan kemarahan yang luar biasa pada pemerintahan Najib. Penggiringan opini itu dengan pola mobilisasi bisa dengan sangat besar memungkinkan terjadinya penggiringan opini atau dalam bahasa terangnya adalah manipulasi opini.

Lebih lanjut terkait panggung sandiwara ini, ada yang menarik untuk dicermati, terkait ketokohan. Dulu di zaman sebelum era digital ataupun era connected society, yang ditokohkan dalam suatu masyarakat itu adalah para pemuka agama, dan para pejabat pemerintahan, dan ternyata di saat ini terjadi pergeseran paradigma secara sistematis, yang ditokohkan itu para youtubers, selebgram yang memiliki banyak follower, tidak peduli yang ditokohkan itu punya kasus moral atau tidak, yang penting adalah segala perilakunya yang menjadi trending topic baik secara positif maupun sisi negatif, maka akan terjadi penokohan kepada yang bersangkutan. Kok bisa meleset ya?

Selanjutnya ada contoh lain lagi yang tak kalah menariknya adalah dalam rangka untuk menaikan rating seorang artis maupun rating suatu produk, maka acap kali kita dipertontonkan suatu kejadian perkelahian atau konflik yang norak dalam durasi yang panjang di dunia maya. Ada artis A menyerang artis B, dan pada akhirnya masing-masing twitter nya mengalami pelonjakan follower yang luar biasa. Cara seperti itu biasanya acap kali dipakai oleh para produser film yang akan meluncurkan film barunya, merancang suatu cerita dalam rangkaian konflik di antara para pemain film itu. Biasanya film nya itu membludak penontonnya. Tidak jarang para follower terjebak emosi mengikuti proses konflik para artis itu.

Baca Juga:  Mengelola Momentum Pemulihan Ekonomi Riau

Kisah acara di stasiun TV Swasta misalnya pada acara  Dangdut Academy (D’Academy) terbukti selalu meraih rating tertinggi dalam hal jumlah pemirsa, padahal ditayangkan sampai larut malam, yaitu pukul 19.00 sampai dengan pukul 24.00. Kok bisa ya ratingnya tinggi?  Apakah yang tampil adalah para penyanyi yang memiliki talenta yang luar biasa dan menjadikan para pemirsa TV terkagum-kagum? Ternyata tidak begitu penyebab angka ratingnya jadi tinggi. Yang menjadi sangat menarik para pemirsa TV adalah rangkaian konflik dalam bentuk drama terselubung yang dilakoni oleh masing-masing juri. Hal itu tanpa disadari penonton, selalu menjadi tambah penasaran dan terbawa emosi pula lagi. Bahkan tidak jarang percakapan para juri itu menjadi viral di media sosial.

Ada lagi yang menarik dan menjadi tontonan lawakan yang tidak lucu yaitu ketika ada acara Pilkada serentak pada tahun lalu, kita sering dipertontonkan perang fitnah dari pendukung maupun timses  para kanditat. Yang uniknya pada ada kandidat yang sering arogan, sering caci maki, dan kurang bijak menyikapi sesuatu permasalahan, sering disebut sumbu pendek, biasanya oleh para timses-nya dikemas sebagai orang yang sangat  tegas. Penggiringan opini dan mindset  terkait hal ini, memang membuyarkan banyak teori, terutama teori tentang leadership. Ini memang sandiwara yang tidak lucu.

Baca Juga:  Melawan "Sindrom Lupa"

Dari sejumlah contoh realita di atas bahwa dunia ini memang panggung sandiwara, mewajibkan kita harus paham bahwa marketing  berbeda dengan mobilisasi. Bedanya di mana ya? Marketing itu bisa disarikan dari sejumlah referensi, merupakan sebagai upaya untuk masuk ke pasar dan bahkan untuk meningkatkan pangsa pasar dalam kaitan pemenuhan kepuasan pelanggan.  Sedangkan mobilisasi dalam konteks terkait marketing, merupakan penggiringan opini dalam kaitan menghambat langkah lawan, dan untuk memperoleh dukungan. Ya bisa saja bila diarahkan  agak nyeleneh, maka mobilisasi itu sebagai aktivitas marketing yang diselewengkan dengan kemasan yang bisa mengiring emosi dan  perasaan orang.

Lalu pesan moral apa yang tersirat pada uraian di atas ya? Dalam alam layar terkembang ini, telah banyak membuktikan kepada kita bahwa kecanggihan teknologi saat ini yang selalu bertumbuh secara dinamis, ternyata segala macam rekayasa bisa terjadi, dan benarlah bahwa dunia ini panggung sandiwara menjadi realita.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari