Pemerintah Indonesia, melalui Tim Gugus Covid-19 yang sudah dibentuk, hingga kini terus saja bekerja di lapangan secara terstruktur, sistemik dan masif, memerangi wabah corona agar tidak menyebar di tengah masyarakat.
Berbagai cara dengan regulasi yang dilahirkan, coba diterapkan. Hanya saja diyakini masih kurang ampuh, karena tidak seimbang antara janji yang diumbar ke masyarakat, dengan kenyataan di lapangan. Di satu sisi, masyarakat yang terkena imbas pandemi ini, tetap “bandel” ke luar rumah, dengan alasan logis, karena ekonomi.
Pertanyaannya, mau sampai kapan penanganan Covid-19 dilaksanakan di Indonesia? Meski dibuat sejumlah aturan yang membredel kegiatan masyarakat.
Lebih ironis lagi, nyaris semua pemegang kebijakan, mulai presiden, para menteri hingga kepala daerah, ingin menjadi nakhoda, sehingga tidak jelas aturan mana yang mau diterapkan. Istilah masyarakatnya, terlalu banyak komando dalam menjalankan kasus ini. Komando siapa yang harus diikuti?
Ya, idealnya pemerintah memang dituntut tegas dalam regulasi dan rules yang ada, dalam rangka menjalankan pasal 28 d ayat 1 UUD NKRI 1945. Di sisi lain, ada pula kebijakan yang bentrok di lapangan, karena ada oknum pejabat yang membuat aturan sendiri, dengan jualannya untuk kepentingan masyarakat banyak.
Untuk diketahui saja, pandemi Covid-19 terdeteksi pertama kali di Cina pada 17 November 2019. Dan yang pertama kali yang terkena Covid-19 ini, warga berusia 55 tahun penduduk Wuhan, Hubai, Cina. Hingga tanggal 2 Mei 2020, total penduduk Cina yang positif terkena virus covid 19 berjumlah 82.874. Dari angka tersebut sudah menelan korban sebanyak 4.633 orang meninggal dunia.
Diakui, bahwa mulanya yang terdeteksi Covid-19 di Indonesia, bukan berasal dari masyarakat Indonesia, tapi warga negara Jepang. Bahkan ini diumumkan oleh Menteri Kesehatan dr Terawan pada 2 Maret 2020.
Atas kasus ini, tak perlu menyalahkan siapapun. Nasi sudah menjadi bubur, sebagai bangsa besar dan maju selaku umat manusia biasa kita harus siap untuk melakukan langkah antisipasi. Sekarang, yang harus pemerintah pikirkan, bagaimana cara Covid-19 hengkang kaki dari bumi pertiwi. Apakah dengan cara lockdown dan PSBB itu sudah cukup?
Tentunya, melihat kondisi ini, seharusnya Pemerintah Indonesia, dari awal sudah membuat regulasi dan rules yang tegas, untuk tidak menerima tamu asing dari luar negeri. Apapun itu alasannya.
Baik untuk urusan bisnis, wisatawan dan lainnya. Apalagi TKA Cina dan negara lain. Indonesia sudah mempunyai segudang aturan, baik itu bernama Peraturan Pemerintah (PP), Permen, Perda hingga Perwako/Perbup. Jalankan saja on the track, dan jangan setengah hati.
Secara hirarki, pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah jelas. UU No15/2019 perubahan atas UU No 12 tahun 2011,dan perubahan atas UU No10/2004 biasa dikenal dengan hirarki per undang-undangan.
Menurut saya, pemerintah keluarkan Perppu (peraturan presiden pengganti undang undang) karena setingkat dengan UU, dan pemerintah harus menjelaskan secara detail kepada masyarakat mengenai pandemi Covid-19 ini.
Bagaimana cara virus ini berhenti atau bertahan. Secara teori contohnya, 14 hari masyarakat jangan bersentuhan dan jaga jarak minimal 2 meter, dan Covid-19 akan mati dengan sendirinya alias musnah.
Bagi masyarakat yang sudah terpapar dirawat di rumah sakit, yang dikarantina, dan yang di rumah. Untuk rumah sakit misalnya, harus membuat peraturan tegas. Jangan sampai bahkan ada yang melarikan diri. Begitu halnya yang di karantina, di perkampungan warga, perumahan dan apartemen, bisa dibikin jalur satu pintu masuk dan keluar dan pintu lainnya diblokade dan dijaga ketat oleh aparat (tim Gugus).
Dalam kondisi sekarang, pemerintah daerah dan jajarannya harus berlari cepat bergerak cepat jangan monoton. Keluarkan ide-ide kreatif. Contohnya bila masyarakat yang ingin berobat diizinkan dan harus dikawal. Sebaliknya yang mau ke pasar juga seperti itu.
Begitu halnya dengan dunia usaha. Tetapkan yang boleh buka seperti restoran, farmasi, dan pasar, harus dibuat rules-nya. Kondisi sekarang, jangan sampai melahirkan warga miskin baru, yang lebih banyak dan rakyat akan sengsara. Sehingga besar kemungkin akan lahir aksi kriminal dengan pelaku yang baru pula.
Sebagai masukan, dalam kondisi darurat pandemi seperti saat sekarang melanda Ibu Pertiwi, cukup dikomandoi oleh satu orang saja, yaitu Presiden.***