(RIAUPOS.CO) – Saat ini dengan kecanggihan teknologi tentunya perlu dimbangi dengan beragam aktivitas positif termasuk di era digital dengan menciptakan narasi berbasis literasi digital untuk melahirkan kesalehan digital. Dunia semakin canggih tanpa dibarengi ilmu dan akhlak generasi penerus tentunya akan mengalami degradasi moral. Tentunya krisis keadaban membuat manusia mudah memproduksi hoaks, kebencian, permusuhan, saling mencela, menghina, dan erosi moralitas.
Kesantunan, kearifan, dan akhlak mulia mengalami peluruhan. Guna mengatasi hal itu, saatnya dibangun dasar nilai yang membingkai perilaku bermedia sosial, dan media digital secara bermoral dalam wujud kesalehan digital. Kesalehan itu berupa adanya kesadaran moral atau etik dalam memanfaatkan sistern dan hidup pada era digital. Dasar nilai untuk membangun kesalehan digital dapat berupa panduan moral berbasis agama dan gerakan budaya literasi.
Gerakan literasi antara lain dapat berupa penyediaan content creator ajaran, dan nilai-nilai keadaban lslami di dunia digital. Harapannya, konten-konten itu dapat mengurangi bahkan menghilangkan konten-konten negative. Membangun kesalehan digital seharusnya juga dilakukan di setiap institusi dan lingkungan masyarakat.
Panduan kaagamaan dan moral dalam memanfaatkan media digital perlu disusun, disosialisasikan, dan diterapkan secara masif di setiap institusi sehingga tercipta perilaku berdigital secara saleh. Membangun kesalehan digital suatu keniscayaan bagi institusi pendidikan, karena institusi itu bertangung jawab terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Institusi pendidikan wajib menyelenggarakan pembelajaran dan pembiasaan pada peserta didik agar berperilaku saleh dalam berdigital.Setiap institusi pendidikan perlu memiliki aturan dan norma yang mengikat terhadap semua warganya dalam memanfaatkan teknologi digital. Kesalehan digital, apa itu? Pertanyaan ini mungkin terlintas paling awal ketika membaca judul tulisan ini.
Di tengah ledakan digitalisasi dan internet, beragam hal dalam kehidupan pribadi kita turut berubah, termasuk kesalehan. Kita tidak lagi sekedar beragama atau menjalankan ritual, namun di saat bersamaan kita juga menghadirkannya di internet atau dunia digital. Internet dan dunia digital sudah semakin personal. Keberagamaan kita pun turut terseret di dalamnya.
Dulu banyak kita percaya kesalehan dibangun di ruang-ruang sunyi. Namun, hari ini, kesalehan personal telah berkelindan dengan ruang publik yang jauh lebih luas bernama internet. Kita pun tak ragu atau segan menghadir beragam aktifitas keberagamaan di ruang digital atau internet.
Bayangan paling awal terkait kesalehan di ruang digital berkisar pada swafoto atau tayangan beragam kegiatan keagamaan di Youtube. Imaji ini sebenarnya tak menjelaskan sepenuhnya apa itu kesalehan digital. Sedikitnya, kesalehan digital di kalangan Muslim adalah beragam aktifitas, ekspresi, impressi hingga konsumsi beragam konten terkait keberagamaan kita di ruang-ruang digital atau internet.
Era digital seperti saat ini, esensi bentuk nyata kesalehan digital terdiri dari tiga yakni pertama, baik, dengan menghargai keragaman serta memberikan contoh kebaikan juga inspiratif. Kedua, tidak merusak integritas identitas diri sendiri, memikirkan dampak perilaku digital. Ketiga, patut yakni menjaga kesopanan dalam bertutur, dan punya etiket yang baik dalam berkomunikasi.
Semenatara itu tentang konsep ihsan dalam dunia digital. Hal tersebut dapat diimplementasikan dengan pelibatan Tuhan dalam segala aktivitas atau tindakan yang dilakukan. Melibatkan Tuhan dalam semua aktivitas termasuk dalam aktivitas digital, sehingga apa yang kita lakukan di dunia digital mempunyai nilai ibadah dan bermanfaat.
Maka dalam dunia digital pun, aktivitas yang dilakukan harus mengarah pada kedamaian, kesejahteraan dan keadilan. Tidak hanya itu, perlu juga memuat konten yang menguatkan perdamaian, keumatan, dan kebangsaan. Dalam menggunakan media sosial, Alim juga menyarankan para pengguna untuk melakukan double cek terkait informasi yang diterima. Pengguna pun juga harus jujur dalam menggunakan medianya, dalam segala hal termasuk dunia bisnis. Hal yang penting lainnya adalah perlunya penguatan kesalehan digital subtantif, bukan hanya kesalehan digital yang formalistik. (Alimatul Qibtiyah, 2022)
Edy M Ya’kub (2023) penulis buku ‘’ Kesalehan Digital’’ mengatakan dunia maya yang memang berpotensi menciptakan jebakan yang menjadi perangkap manipulasi dengan berbagai bentuk, seperti video lama yang dimunculkan lagi; atau video dari lokasi lain yang dinarasikan seolah terjadi di dekat kita. Selain itu pula, video dan foto yang diberi narasi yang berbeda, dengan tempelan atau dubbing;foto/video yang merupakan potongan; narasi versus narasi, tapi tidak imbang; narasi hoaks dengan mengaduk emosi SARA; dan lainnya.
Secara teoritis, bentuk jebakan manipulasi dalam jebakan digital itu dapat disederhanakan dalam 4 pola, yakni mis-informasi, dis-informasi, hoaks, dan mala-Informasi.
Mis-informasi, dis-informasi, dan hoaks memang informasi keliru, sedangkan mala-informasi merupakan “pembelokan” informasi.
Jadi, kenapa Orang Indonesia tergolong mudah terkena Jebakan Digital ?! Paling tidak, ada tiga penyebab, yakni: pertama, pengguna smartphone di Indonesia merupakan pengguna “terbesar ketiga” di Asia Pasifik (diatas 100 juta/akun). Youtube di Indonesia ada 113 juta pengguna,b. facebook ada 111 juta pengguna,c. Twitter/ig juga tidak jauh dari angka 100 juta itu.
Transmedia (perpaduan teks+suara+gambar+gerak : teknologi terbaru membuat gosip bisa berpotensi membesar : TikTok)e. pengguna: Gen-X 1965-1980, milenial-Y 1980-1995, digital-Z 1995-2010, alpha 2010-2036 (‘booming’ SDM digital : 70 persen = 2036).
Kedua, Orang Indonesia suka Gosip (mahluk sosial?), karena budaya bertutur/dongeng langsung “loncat” ke budaya tonton (sendratari/wayang) tanpa melewati budaya baca. Loncatan itu kini justru “didukung” teknologi yang cepat di dunia. Jebakan Digital pun menyatukan digitalisasi dengan Gosip menjadi “ngeri” (gosip digital).
Materi digital yang paling sering (“trending topic”) atau gosip digital bagi orang Indonesia: A). isu SARA (suku/etnis, agama, ras/pribumi-nonpribumi, dan antargolongan/kaya-miskin). B) isu politis (soal beda pilihan politik, bukan soal Negara/Bangsa). C) isu trend/”ngeri” (kesehatan, artis, kriminalitas).
Ketiga, orang Indonesia memiliki “wajah ganda” di antara dunia nyata dan dunia maya. Seorang peneliti asing menyimpulkan orang Indonesia dengan sosok “wajah ganda” (beda dalam sosok di dunia maya/digital dan sosok di dunia nyata). Tidak sedikit orang kaget kenapa orang Indonesia bisa menjadi ‘jahat’ di dunia maya, karena itu saya coba buktikan di dunia nyata, ternyata orang Indonesia itu sangat ramah di dunia nyata.
Era digital menghadirkan informasi yang melimpah, orang bisa mendapatkan informasi dengan mudah dan instan, termasuk juga bagi mereka yang berhasrat mempelajari agama ada yang menjadikan internet menjadi rujukan. Tantangan yang kita hadapi di era digital ini adalah banyaknya situs-situs dan akun media sosial yang menyebarkan paham-paham radikal dengan agitasi yang mengusik kerukunan umat beragama.
Pertumbuhan internet memang ibarat pedang bermata dua, bisa berdampak positif atau negatif, semuanya tergantung dari sudut pandang kita. Maka sudah saatnya bagi kita membumikan kesalehan digital. Pakar media sosial Nukman Lutfie mengatakan tanpa kita sadari sebenarnya kita meninggalkan banyak jejak digital, ada “malaikat digital” yang mencatat jejak kita di dunia maya.
Kesalehan kita di dunia nyata semestinya juga kita wujudkan di dunia maya. Apa yang kita ungkapkan di media sosial disadari atau tidak, bisa saja berpengaruh bagi orang lain. Ada pepatah Arab yang berbunyi: segala sesuatu yang jatuh pasti akan ada yang memungut. Lantas kita menjadi pewaris kebaikan digital sebaik implementasi kesalehan digital atau sebaliknya?***