Istilah “membakar uang” merupakan lazim kita dengar ketika para investor pada saat membeli perusahaan platform yang merupakan start up company, di mana kondisinya secara analisa rasio keuangan memang tidak layak dilirik oleh para investor. Namun apa yang terjadi pada era disruspsi yang dipenuhi oleh perusahaan platform?
Banyak bukti untuk kita lihat sejumlah contoh kejadian. Ini terjadi pada Twitter pada saat IPO (Initial Public Offering) di tahun 2013 dalam keadaan rugi sebesar 79 juta dolar AS, namun valuasi sahamnya dinilai sebesar 23 milliar dolar AS. Contoh lain adalah pada tahun 2016 pada saat Facebook dengan keyakinan penuh membeli WhatsApp dengan nilai 19 milliar dolar AS, dan dalam kondisi saat ini WhatsApp belum memperlihatkan hasil revenue yang menggembirakan.
Ada lagi yang lebih mengejutkan, yaitu ketika pada tahun 2016 juga, pihak Microsoft dengan berani membeli Linkedin senilai 26 milliar dolar AS, dan saat ini Linkedin-nya dalam posisi merugi. Kalau begitu apa yang dicari oleh para investor pada perusahaan-perusahaan platform ini?
Di Indonesia juga ada sejumlah contoh, Gojek oleh sejumlah investor menjadi indola seperti para investor kakap pemain global: Tencent (Cina), Google (AS), Temasek Holding (Singapura), dan Astra International (Indonesia), di mana untuk kesekian kalinya pula dan pada tahun 2018 lalu para investor tersebut telah menyuntik sebesar 1,5 miliar dolar AS pada saham Seri D-nya Gojek.
Siapa yang peduli dengan labanya Gojek saat ini? Coba saja kita bandingkan dengan Garuda yang memiliki sekitar 142 pesawat terbang (sebagian besar adalah milik sendiri) dengan asset sebesar 4,5 miliar dolar AS dan kapitalisasi pasarnya pada Juli 2019 lalu sebesar Rp11 triliun (data Bloomberg, Juli 2019). Sebaliknya Gojek sepanjang kita tahu bahwa tidak memiliki satupun sepeda motor atau mobil sebagai dan armada operasionalnya dan bahkan sudah diakui sebagai “decacorn” memiliki valuasi sebesar 10 milliar dolar AS atau setara dengan Rp142 triliun dolar AS, ya itu artinya valuasi Gojek hampir 13 kali lipat lebih besar dari Garuda Indonesia.
Kita bandingkan pula antara Blue Bird dengan Grab. Dari data Bloomberg, Juli 2019 tercatat bahwa valuasi dari Grab adalah sebesar Rp 198 triliun dengan tanpa punya “heavy asset”, sedangkan Blue Bird adalah dengan usia yang jauh lebih lama beroperasi dan memiliki “heavy asset”, ternyata valuasinya sebesar Rp7,25 triliun atau 1/27 kali dari Grab.
Pertanyaannya kok kenapa Gojek maupun Grab bisa dinilai lebih tinggi dari perusahaan-perusahaan konvensional seperti Blue Bird, Garuda Indonesia?
Kekuatannya adalah ada pada “network effect value” yang besar dimana pada jejaring-jejaring yang muncul tersebut terdapat jalinan para pemakai, jalinan para pengemudi, pemilik warung, dan restoran donator.
Coba kita tinjau pada perusahaan seperti Blue Bird (ketika masih standalone company) di mana ketika kita memesan taksi, kita hanya bisa berhubungan dengan perusahaan taksi dan akan mendapatkan satu layanan semata. Beda dengan layanan perusahaan platform seperti Gojek, satu kali pencet aplikasi maka kita akan bisa terhubung dengan 16 jenis layanan dan ditambah lagi dengan ribuan restoran dan ribuan pilihan dalam layanan yang bisa kita pilih. Itulah yang disebut dengan “network effect value”.
Era disruption memang unik dan sering disebut pula sebagai era “sharing economy”, artinya kita bisa maju tanpa harus punya modal terlebih dahulu, kita bisa maju bisnisnya tanpa paham strategy pemasaran, kita bisa berbisnis hotel tanpa punya asset gedung terlebih dahulu.
Dampak “network effect value” yang hidup pada era “haring economy” semuanya bisa serba mungkin.***