Permasalahan keterbatasan penyediaan infrastruktur di Provinsi Riau terus mengemuka, sementara di sisi lain sumber dana pembangunan, terutama yang berasal dari Dana Transfer Pusat (DBH Migas dan DAK) dalam kurun waktu lima tahun terakhir terus mengalami penurunan yang signifikan.
Beberapa permasalahan infrastruktur yang masih dihadapi oleh Provinsi Riau antara lain: Pertama, 55,18 persen Jalan Provinsi dalam keadaan rusak. Kedua, indeks aksesibiltas baru mencapai 0,49 (rendah), ketiga, terbatasnya akses air bersih dan air minum perpipaan. Ketiga, rendahnya kualitas dan kuantitas jaringan irigasi. Kelima, kekurangan 314.692 unit rumah layak huni bagi rumah tangga miskin. Keenam, rendahnya cakupan pelayanan infrastruktur sanitasi permukiman (limbah, sampah dan drianase). Ketujuh, rasio elektrifikasi baru mencapai 84,26 persen
Permasalahan tersebut, belum termasuk beberapa ruas jalan nasional menuju Kawasan Industri Buton dan Kawasan Industri Kuala Enok yang masih jalan tanah, serta masih banyak lagi permasalahan infrastruktur lain yang dihadapi pemerintah kabupaten/kota.
Dengan kondisi seperti ini, bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk keluar dari trap ini? Jawabannya tentu adalah melakukan inovasi terhadap sumber-sumber pendanaan pembangunan infrastruktur. Salah satu upaya yang dilakukan oleh adalah sukuk.
Apa Itu Sukuk?
Secara “terminologi”, sukuk merupakan surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah. Sukuk pada hakikatnya adalah surat berharga yang menjadi instrument investasi.
Sukuk adalah investasi yang halal sesuai syariah Islam sehingga terbebas dari riba, maysir dan gharar. Sukuk ini bisa disusun dalam bentuk skim murabahah, mudharabah, musyarakah, ijarah dan salam atau campuran antara dua atau lebih skim syariah.
Sukuk tidak mengandung bunga, hal ini sesuai Fatwa Majlis Ulama Indonesia No: 32/DSN-MUI/IX/2002, yang menyatakan sukuk adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah. Sukuk mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Menurut hitungan rasional, instrumen sukuk lebih menguntungkan daripada obligasi konvensional, seperti nilai return yang lebih menjanjikan, sistem kepemilikannya, dan keamanan investasi yang ditanggung pemerintah.
Untuk mendorong perkembangan keuangan syariah, sejak tahun 2009 pemerintah secara rutin telah menerbitkan sukuk sebagai instrumen investasi berbasis syariah. Sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), untuk setiap penerbitan Sukuk Negara harus telah memperoleh fatwa dan/atau Pernyataan Kesesuaian Syariah dari DSN-MUI. Hingga saat ini, Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan enam buah fatwa terkait Sukuk Negara yang dapat digunakan sebagai pedoman syariah dalam rangka penerbitannya.
Dewasa ini pembangunan daerah tidak bisa lagi sepenuhnya bergantung pada anggaran pemerintah. Dengan semakin tingginya tuntutan pembangunan di daerah, pemerintah daerah diharapkan mulai berpikir untuk mencari sumber pendanaan baru. Pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mendorong agar daerah dapat menerbitkan Sukuk Daerah sebagai sumber pendanaan bagi APBD di daerah. Sukuk daerah ini diarahkan untuk menjadi sumber pembiayaan infrastruktur daerah yang produktif dan bukan belanja rutin, sehingga diharapkan daerah tidak hanya bergantung pada APBN ataupun APBD dalam pembiayaan infrastruktur di daerahnya.
Dengan semakin menurunnya transfer DBH Migas yang diterima Provinsi Riau, insya Allah pendanaan pembangunan infrastruktur melalui sukuk dapat menjadi salah satu solusi alternatif yang terbaik.***