Pada bulan suci ramadan ini, banyak kita berharap hati ini kembali menjadi putih, suci, bening dan jernih, bagaikan sejernih air sungai yang mengalir tenang diiringi oleh suara indah gemericik arusnya. Akan tetapi, sungai yang akan menjadi jernih itu tiba-tiba dikotori oleh sampah bangkai yang dibuang oleh oknum manusia yang tidak bertanggung jawab. Sehingga air sungai yang hampir jernih dan bening itu seketika itu juga menjadi keruh, yang diiringi oleh bau busuk menyengat yang tidak enak tercium oleh hidung dan tak sedap dipandang mata.
Semua orang tertegun, kesal, kecewa, dan sedih melihatnya. Begitulah ungkapan pilu, kesal dan kecewanya kita. Di bulan nan suci penuh berkah dan ampunan ini, ditambah lagi saat hampir di seluruh wilayah di negara nan luas ini ditimpa krisis yang sangat memprihatinkan kita, yaitu merabaknya wabah virus corona, sehingga memaksa sebagian besar wilayah provinsi, kabupaten/kota memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) guna memutuskan mata rantai penyebaran virus ini. Dunia pendidikan provinsi Riau, daerah yang terkenal dengan budaya Melayu dan Islaminya tercoreng malu oleh ulah beberapa oknum siswa di salah satu kecamatan Kabupaten ROHUL. Daerah yang terkenal dengan sebutan negeri seribu suluk, mendokumentasikan tindakan tidak senonoh mereka yang melakukan pesta bebas kelulusan sekolah.Tindakan mereka, yang kemudian viral di medsos, membuat tokoh masyarakat, penggiat pendidikan, kaum intelektual, dan sebagainya sangat kecewa, kesal dan marah. Seperti biasa, sebagian besar komentar dan kritik tertuju kepada orang tua dan guru yang ditengarai merupakan pihak yang sangat bertanggung jawab atas tindakan immoral tersebut.
Sudah lumrah, dan sepertinya menjadi trade mark dari sebagian besar masyarakat kita, jika terdengar dan membaca kasus oknum siswa yang melakukan tindakan perilaku misbehaviour (menyimpang), pihak yang paling disorot adalah orang tua dan guru. Mengapa demikian? Karena kedua pihak inilah yang paling dekat secara emosional dengan anak-anak kita. Interaksi yang intens dan intensif, yang terjadi dalam hitungan detik, menit, jam, dan hari, membuat orang tua dan guru harus rela dijadikan kambing hitam.
Sebenarnya, jika kita merenungi secara mendalam, ada sesuatu kekeliruan yang telah kita buat selama ini, baik secara sadar maupun tidak sadar, membuat wajah pendidikan kita selalu tercoreng dan malu. setiap tahun, selalu ada kasus-kasus, baik yang berskala kecil dan besar, dilakukan oleh oknum siswa dan guru.
Bicara masalah pendidikan, sebenarnya kita harus melakukan suatu refleksi atau bahkan suatu transformasi secara komprehensif. Menyadari bahwa pendidikan sebenarnya merupakan ranah bagian aktivitas sosial kemasyarakatan. Setiap bicara isu-isu pendidikan, dia secara langsung memiliki koneksi dan hubungan yang erat dengan seluruh sektor kehidupan: agama, sosial dan kemasyarakatan. Oleh sebab itu, tidak bisa kita memiliki sikap pragmatis bahwa bicara masalah pendidikan, adalah tanggung jawab orang tua dan guru semata. Anak akan menjadi nakal atau baik, ya, itu tanggung jawab orang tua dan guru. Di lain pihak kita tidak menyadari bahwa keberhasilan suatu proses pendidikan adalah jika terciptanya suatu mata rantai kuat yang direalisasikan dalam bentuk hubungan yang solid dan harmonis: saling memerlukan, berkoordinasi satu sama lain, serta saling peduli dan memperkuat satu sama lain.
Orang tua – masyarakat – tokoh agama – pemerintah – guru merupakan mata rantai pendidikan yang seyogyanya, salah satunya tidak boleh dibiarkan berkarat atau rapuh, tetapi harus diusahakan tetap terjaga agar kuat dan berdaya.
Karena pendidikan adalah ranah yang melibatkan hajat hidup orang banyak, tidak bisa kita pungkiri bahwa harus ada keterlibatan aktif pihak lain, karena jika hanya terpola kepada pemikiran konservatif dan naif bahwa pendidikan adalah tanggung jawab orang tua dan guru walhasil negara ini akan selalu mengalami krisis dan kasus-kasus immoral akan selalu tetap terjadi dalam frekuensi yang lebih tinggi dan bahkan menggunakan peralatan dan media yang lebih canggih dan mumpuni dikarenakan perkembangan teknologi yang massiv dan dinamis.
Ada suatu argumentasi, tanpa diminta pun, mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat, pemerintah, tokoh agama, sebenarnya sudah sering terlibat dalam masalah pendidikan. Akan tetapi, yang terlihat di lapangan, keterlibatan pihak-pihak selain orang tua dan guru di dunia pendidikan kita, terlihat belum optimal, bahkan terkesan hanya bersifat semu dan formalitas semata.
Peranan Pemerintah
Peranan pemerintah kita sekarang ini di sektor pendidikan dalam realita di lapangan, terkesan hanya pemberi instruksi dan pembuat kebijakan. Salah satu contoh, saat pemberlakuan kurikulum berkharakter 2013, kementrian pendidikan, di atas kertas memiliki segudang rencana yang brilian dalam kurikulum tersebut, dan central pointnya adalah memfokuskan kepada pengembangan kharakter anak didik yang ta’at dan berakhlak, memiliki wawasan pengetahuan yang luas, serta memiliki skill yang mumpuni. Pada kenyataanya, saat implementasi kurikulum ini dilaksanakan, yang terjadi adalah lemahnya koordinasi dan pengawasan dari kementrian pendidikan dengan pihak sekolah: monitoring dan evaluasi masih belum optimal, karena tidak dilakukan secara sistematis dan periodik. Pihak sekolah hanya diberikan input dan informasi tentang kurikulum pada saat-saat awal pemberlakuan, setelah itu dilepas sendiri. Konsekuensinya, kita melihat, ketika terjadi lagi berbagai kasus immoral, yang terjadi adalah, pihak birokrasi pendidikan dan masyarakat langsung menyalahkan orang tua dan pihak sekolah, dalam hal ini guru, yang gagal membentuk pola pendidikan kharakter pada anak. Seharusnya, kementrian pendidikan, dalam pembinaan kharakter ini, harus melakukan koordinasi yang intensif dengan pihak-pihak terkait, misalnya kementrian agama, pihak pemerintah kota/kabupaten, para tokoh masyarakat, dan orang tua, dengan membuat suatu perencanaa skema kerja dan program-program yang sistimatis, terstruktur, dan periodik, sehingga dapat memantau perkembangan kharakter anak. Apa yang terjadi, kementrian pendidikan berjalan sendiri, hanya berkoordinasi dengan sekolah, itupun hanya di awal-awal peluncuran kurikulum, ditambah lagi kurangnya pengawasan, sehingga kasus-kasus yang melanggar norma agama dan budaya tetap saja terjadi.
Peranan Guru dan Sekolah
Sebagai pihak yang mengimplementasikan kebijakan dan aturan pemerintah, dalam hal ini pihak kementrian pendidikan, sekolah dan guru terlihat belum mampu menjalin suatu atmosfir hubungan yang harmonis dan intensif dengan pihak orang tua dan siswa. Kebanyakan guru dan pihak sekolah, di saat ada beberapa siswa yang condong memiliki prilaku yang menyimpang, mereka seperti tidak perduli, bahkan sering menghakimi dan membenci para siswa yang nakal dan bermasalah. Keberadaan guru konselingpun diposisikan sebagai guru yang hanya bertugas di kala ada anak yang berkasus di sekolah, kurang melakukan pendekatan interpersonal dan komunikasi yang efektif dengan para siswa yang bermasalah tersebut. Hal ini ditambah lagi dengan jarangnya pihak sekolah dan guru melakukan koordinasi yang bersifat sistematis dan periodik dengan orang tua, sehingga di kala ada anak yang bermasalah, tindakan yang dilakukan hanya memanggil orang tua, dibertahu kesalahan anaknya, seolah-olah anak yang bermasalah tersebut adalah tanggung jawab orang tua. Yang harus dilakukan di sini sebenarnya, orang tua dan guru, harus memiliki hubungan yang akrab, tidak saling menyalahkan atau membebani sepihak di saat ada kasus-kasus immoral terjadi.
Di Finlandia dan Jepang misalnya, hubungan orang tua dan guru dibuat seakrab mungkin. Dalam sebulan, selalu ada acara bersama dalam bentuk pertemuan ramah tamah, olah raga, makan bersama, dan outing (pergi tamasya), di saat itulah, disela-sela acara, para guru, orang tua, siswa, dapat saling berdiskusi langsung, saling berbagi mengenai suka duka dalam membimbing dan mendidik anak-anak mereka, apa yang harus dilakukan saat melihat ada beberapa anak yang dalam pemantauan masing-masing pihak, yaitu orang tua dan guru cenderung memiliki prilaku menyimpang. Kenyataannya kita lihat di lapangan, meskipun tidak semua, sebagian besar sekolah hanya mengundang guru ketika siswa bermasalah, saat meminta sumbangan, dan di saat memberikan lapor hasil kenaikan kelas dan kelulusan siswa. Para orang tuapun sering bersikap skeptis bila ada undangan dari sekolah dan komite, karena mereka tahu, itu akan berhubungan dengan pemungutan sumbangan atau saat anak mereka bermasalah,
Peranan Orang Tua
Di era abad ke-21 yang penuh dengan persaingan dan tingkat mobilitas aktivitas yang tinggi kita sering mendapatkan beberapa orang tua yang hectic, workaholic serta memiliki sikap ego sentris atau egois. Ayah dan ibu yang berkarir, sehingga pendidikan dan perkembangan anak terkesan diabaikan, hanya dilimpahkan kepada pembantu di rumah dan guru. Peranan orang tua kebanyakan sekarang hanya mensupplai keperluan materi anak. Mereka jarang berdiskusi santai menanyakan anak mereka tentang sekolah mereka, kegiatan mereka setiap hari, dengan siapa anak-anak mereka bergaul, apa yang dilakukan saat mereka berada di kamar, ditambahlagi dengan sangat lemahnya pendidikan agama di rumah. Walhasil, di saat anak-anak mereka bermasalah, baru mereka kelabakan, dan kebanyakan saling menyalahkan, dan saat disurati oleh pihak sekolah, mereka bahkan ada yang tidak bersedia dan hanya menyalahkan pihak sekolah dan guru semata.
Sebenarnya dalam menyikapi hal ini, untuk menumbuhkan sikap a sense of responsibility dan a sense of empathy and care, (rasa tanggung jawab dan rasa memiliki empati dan peduli), pihak kementrian pendidikan dan sekolah bisa membuat suatu peraturan perundang-undangan bahwa setiap wali murid, mulai dari tingkat PAUD hingga Sekolah Menengah Atas, tanpa alasan apapun, wajb mengikuti apa yang disebut dengan parenting education. Parenting education adalah suatu aktivitas pendidikan yang wajib dilakukan orang tua bagi anak-anak mereka dengan tetap diawasi oleh pihak sekolah dan pemerintah, dapat dilakukan dalam dua kali sebulan di akhir minggu dan tidak akan menganggu aktivitas jam kerja orang tua. Pihak sekolah biasanya akan berkoordinasi dengan para praktisi dan tokoh-tokoh agama dalam memberikan arahan dan bimbingan. Dengan pemberlakuan wajib mengikuti program-program parenting education ini, diharapkan pihak orang tua semakin sadar dan memiliki wawasan dan ilmu yang mumpuni dalam mendidik anak-anak mereka.
Selain itu, hubungan yang intensif dan koordinasi dengan pihak sekolah dan guru, mau tidak mau akan terus terjadi, karena oran tua wajib melaporkan perkembangan dan masalah-masalah pribadi yang terjadi pada anak. Dengan parenting education ini, Insya Allah kita akan mendapatkan iklim perkembangan anak didik yang terus terpantau dan terawasi oleh guru dan orang tua.
Peranan Masyarakat
Masyarakat sebenarnya dalam dunia pendidikan juga harus dilibatkan secara aktif. Mengapa? karena pada hakikatnya mereka juga para orang tua dan para pemimpin keluarga di rumah. Jika peranan masyarakat tidak dioptimalkan, hal ini juga akan memberikan efek dalam pendidikan kita. Kita contohkan begini, di saat pemerintah, dalam hal ini pihak Depdikbud menerapkan suatu kurikulum baru, sosialisasi kurikulum itu seharusnya juga disosialisasikan kepada masyarakat. Pengalaman di lapangan, saat pemberlakuan berbagai kurikulum, termasuk kurikulum 2013, pihak kemendikbud hanya mensosialisasikan kurikulum dalam internal atau inner circle mereka: pihak sekolah dan guru.
Walhasil, ada pengalaman lucu yang saya alami sendiri, terkait pemberlakuan kurikulum 2013, seorang pemilik toko barang harian bertanya kepada saya “pak, disekolah, guru manyuruah anak awak berkarakter, apo tu?â€. Sebenarnya dalam hal ini, pihak dinas pendidikan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus membuat suatu program khusus, dengan berkoordinasi dengan pihak kecamatan dan keluarahan, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang kurikulum ini. Hal ini dilakukan agar masyarakat juga terlibat. Apalagi menyangkut pendidikan karakter, masyarakat kita yang heterogen dan plural. Dari segi pendidikan, wawasan, budaya dan agama jika mereka tidak diberitahu harapan pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan karakter sering kita lihat mereka kebanyakan tidak perduli dalam mengawasi kharakter anak-anak kita.
Para pedagang kecil misalnya, terlihat tidak perduli di saat ada anak-anak ABG usia sekolah yang seenaknya membeli rokok, atau para pemilik online game, terkesan tidak acuh dan hanya memikirkan profit semata, saat anak-anak usia sekolah hingga tengah malam, tetap bermain game di rental mereka. Melibatkan masyarakat dalam dunia pendidikan tidak cukup dengan pemberlakuan Perda saja, karena terbukti di lapangan tidak berjalan efektif sama sekali. Ditambah dengan tingkah oknum-oknum aparat yang gampang disogok dan diberi fasilitas oleh beberapa oknum usahawan.
Kita juga harus mengembangkan community-based education yaitu pendidikan berbasis masyarakat yaitu dalam bentuk mengaktifkan organisasi sosial kemasyarakatan disetiap kecamatan dan kelurahan untuk memberdayakan masyarakat sekitar, memantau dan mengawasi tingkah laku anak-anak kita sehingga perkembangan pendidikan kharakter anak-anak kita juga dapat diawasi oleh masyarakat. Jika terjalin hubungan kekeluargaan dan hubungan yang harmonis pemerintah, guru dan sekolah, orang tua, dan masyarakat terjaga, anak-anak kita saya yakin akan ragu untuk melakukan tindakan-tindakan immoral, karena masyarakat juga terlibat dan merasa bertanggung jawab untuk memantau mereka. Mereka merasa anak-anak kita juga adalah anak-anak mereka, yang harus diawasi agar tidak melakukan prilaku-prilaku yang menyimpang.
Peranan Tokoh Agama
Para tokoh agama juga seyogyanya dilibatkan secara efektif dalam pendidikan. Peranan tokoh agama ini akan menjadi sangat penting dalam memantau kharakter-kharakter anak yang bermasalah. Selama ini kita lakukan adalah peranan tokoh agama hanya sebatas formalitas pada perayaaan-perayaan dan acara keagamaan semata. Selain itu dalam bidang keagamaan, para siswa kita hanya mendapat bekal pelajaran agama yang merupakan salah satu mata pelajaran wajib di tiap sekolah. Guru agama di sini berperan sama halnya dengan guru-guru pelajaran lain, sebatas mengajarkan kepada anak tentang agama sesuai dengan yang digariskan dalam kurikulum. Seharusnya, dalam pengajaran agama, contohnya agama Islam, pengajaran agama harus dilakukan di Masjid atau Musholla. Mengapa demikian? dengan dilaksanakannya di Masjid, atmosfir spiritual yang tenang dan nyaman akan terbentuk sedemikian rupa. Pihak sekolah, yang dikoordinir oleh guru agama dapat melibatkan tokoh agama, dengan mengundang mereka dua kali dalam sebulan menjadi nara sumber membimbing para siswa agar memahami dan menyadari pentingnya pembinaan spiritual mereka. Tokoh agama juga bisa dilibatkan saat kunjungan ke panti asuhan, rumah-rumah jompo, juga kegiatan-kegiatan outbound sambil berdiskusi dan curhat tentang masalah agama. Kegiatan-kegiatan kerohanian yang variatif dan melibatkan tokoh-tokoh agama seperti ini akan sangat bermanfaat sekali terhadap perkembangan psikologis dan spiritual anak. Mereka akan merasa haus ilmu dan keinginan mereka untuk belajar agama dan mengetahui informasi tentang agama akan semakin kuat. Pola-pola pendidikan agama yang hanya dalam bentuk ceramah harusnya dibarengi dengan kegiatan-kegiatan lain yang dapat memancing minat siswa untuk ikut. Kegiatan talk-show, mengunjungi panti asuhan, outbound, olah raga yang diselingi dengan kegiatan kerohanian akan sangat disenangi oleh siswa.
Kita berharap mata rantai pendidikan ini tidak lagi rapuh, sehingga dapat meminimalisir kasus-kasus perilaku menyimpang, yang tidak sesuai dengan norma agama dan budaya ketimuran. Terus berikhtiar dan berdoa demi kelangsungan masa depan dunia dan akhirat anak-anak kita. Insya Allah!***