Stunting masih menjadi beban kesehatan masyarakat terutama di negara berpenghasilan rendah-menengah. Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi, di antaranya karena kecukupan gizi yang tidak terpenuhi dan terkena penyakit infeksi berulang dalam jangka waktu yang cukup lama, anemia pada masa kehamilan, praktek pengasuhan yang kurang baik (pola asuh), lingkungan tempat tinggal yang kurang baik (kumuh), kurang akses terhadap makanan yang bergizi, minimya air bersih dan sanitasi (Agustina, 2020).
Stunting yang terjadi sebelum anak berusia dua tahun dapat diprediksi buruknya perkembangan kognitif dan prestasi anak ketika memasuki usia sekolah. Studi yang dilakukan di Guatemala menemukan bahwa anak stunting memiliki periode sekolah yang kurang, hasil tes yang rendah, pengeluaran rumah tangga yang rendah, dan cenderung hidup dalam kemiskinan. Selanjutnya, ada keterkaitan antara perempuan stunting dengan melahirkan pada usia muda, memiliki jumlah kehamilan yang lebih tinggi dan anak yang banyak.
Permasalahan penanganan stunting berbeda-beda di masing masing kabupaten/desa lokus. Di antaranya mulai dari permasalahan perencanaan dan penganggaran, permasalahan SDM baik dari jumlah dan kompetensi, dari sisi pelaksanaan, mulai dari pendataan balita stunting, koordinasi yang kurang optimal, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat kurang, terbatasnya infrastruktur dasar.
Semua permasalahan tersebut memerlukan intervensi yang dilaksanakan melalui aksi konvergensi. Untuk memastikan konvergensi diperlukan komitmen dari pimpinan tertinggi di daerah. Sebagaia pengetahuan kita bersama Aksi Konvergensi adalah sebuah instrumen dalam bentuk kegiatan yang digunakan untuk meningkatkan pelaksanaan intervensi gizi dalam pencegahan dan penurunan stunting. Pelaksanaan intervensi gizi penurunan stunting membutuhkan pndekatan melalui pelaksanaan program dan perilaku lintas sektor, agar program dan kegiatan intervensi gizi dapat menyasar langsung kepada rumah tangga 1000 HPK.
Dalam aksi konvergensi terdapat delapan aksi, yang harus dilaksanakan secara terintegrasi oleh perangkat daerah kabupaten kota sesuai tupoksi dan kewenangan. Semua ini memerlukan dukungan mulai dari proses perencanaan dan penganggaran yang tepat sasaran agar dapat berjalan secara konvergen. Tidak hanya itu, komunikasi dan koordinasi antar lintas Perangkat Daerah (lintas sektor) tak kalah pentingnya memegang peranan yang sangat penting.
Seluruh intervensi yang dilakukan harus sampai kepada rumah tangga 1000 HPK, artinya, intervensi yang dilakukan OPD menuju atau menyasar kepada rumah tangga yang mempunyai balita stunting di desa lokus yang mendapatkan pelayanan. Kendala yagn dihadapi seperti, rumah tangga balita stunting berada jauh dari pusat ibukota, keterbatasan infrastruktur jalan dan bahkan ada yang menyeberang sungai, oleh karena itu perpanjangan tangan seperti kader ibu-ibu pos yandu, petugas pendamping PKH, KPM (Kader pembangunan Manusia) yang ada di Desa menjadi sangat berarti.
Sampai tahun 2020, di Provinsi Riau terdapat 5 kabupaten yang sudah ditetapkan oleh TNP2K sebagai lokus stunting yaitu : Kabupaten Rokan Hulu pada tahun 2018, menyusul Kabupaten Kampar pada tahun 2019, sedangkan 3 kabupaten lagi yaitu Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Meranti dan Kabupaten Rokan Hilir ditetapkan sebagai kabupaten lokus pada tahun 2020, berdasarkan SK Menteri Bappenas RI tentang Perluasan Lokasi Fokus Intervensi Penurunan Stuting terintegrasi dan memiliki jumlah balita stunting yang tinggi.
Berdasarkan hasil survei status gizi balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, terdapat dua daerah yang memiliki prevalensi stunting dibawah 20 persen (Standar WHO) yaitu Kota Pekanbaru 18,58 persen dan Kota Dumai 11,59 persen. Sedangkan 10 Kabupaten lainnya masih diatas 20 persen meskipun di beberapa kabupaten angka stunting sudah menunjukkan adanya penurunan.
Penanganan stunting dilaksanakan melalui 8 aksi konvergensi pencegahan Stunting dilakukan melalui 8 tahapan yaitu: Analisis situasi (Aksi 1), Penyusunan Rencana Kegiatan (aksi 2), Rembuk stunting (aksi 3) penetapan peraturan Bupati/Walikota (aksi 4), Pembinaan Kader Pembangunan Manusia (aksi 5), Sistem Manajemen Data (aksi 6), Pengukuran dan publikasi stunting (aksi 7) dan Review Kinerja Tahunan (aksi 8).
Penilaian aksi Konvergensi tahun 2021 ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja Pemerintah kabupaten kota dalam penurunan prevalensi stunting, melalui 8 aksi konvergensi. Selain itu mengetahui aspek kinerja yang perlu mendapat penguatan dan perhatian khusus oleh perangkat daerah baik di lingkungan pemerintah provinsi maupun pemerintah Kabupaten kota.
Penilaian dilakukan terhadap aksi 1 – 8, mulai dari proses perencanaan dan penganggaran, implementasi serta pemantauan program/kegiatan. Pelaksanaan aksi konvergensi dilakukan melalui intervensi gizi spesfik dan sensitif yang terdiri dari 20 (dua puluh) indikator.
Keseluruhan intervensi dilakukan oleh organisasi perangkat daerah di kabupaten/kota sesuai tupoksinya masing-masing dan diharapkan sampai menyentuh rumah tangga 1000 hari pertama kehidupan (HPK).
Berdasarkan penilaian kinerja terhadap kriteria yang telah ditentukan, skor tertinggi di raih oleh Kabupaten Kepulauan Meranti, peringkat berikutnya Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rokan Hilir. Penilaian kinerja ini memberikan gambaran kepada kita bahwa secara umum seluruh intervensi telah dilakukan oleh perangkat daerah masing-masing.***