WACANA "mendegradasi" pelatih timnas Indonesia asal Korea Selatan (Korsel), Shin Tae Yong (STY), agar fokus menangani timnas U-19 yang dipersiapkan untuk Piala Dunia U-20 2023 –di mana Indonesia menjadi tuan rumah– membuat pecinta sepakbola Indonesia mempertanyakan kinerja PSSI, terutama Ketua Umum Mochamad Ariawan alis Iwan Bule.
Para anggota executive committee (Exco) yang membuat wacana itu menjadi membesar, juga dianggap hanya mencari panggung di tengah upaya kerja STY dan para asistennya membangun dasar sepakbola Indonesia. Dari 12 anggota Exco PSSI, kabarnya hanya dua orang yang setuju STY menangani dua tim langsung, tim senior dan U-19. Selebihnya, termasuk Iwan Bule, setuju STY hanya menangani U-19. Alasannya, Piala Dunia U-20 lebih prestisius karena tajuknya “Piala Dunia”.
Wacana itu muncul sebelum Indonesia menang 7-0 atas Nepal dalam pertarungan babak kualifikasi Piala Asia 2023 Grup A. Kemenangan itu mengantar Indonesia lolos ke Piala Asia 2023 yang sedianya akan dimainkan di Cina, namun karena alasan Covid-19 yang masih mengancam negara tersebut, Cina memilih mundur. Kini ada empat negara yang serius ingin menjadi tuan rumah: mereka adalah Qatar, Korsel, Jepang, dan Australia. Indonesia bersama semua negara yang memastikan diri lolos, juga diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai tuan rumah.
Keberhasilan lolos ke Piala Asia 2023 mengakhiri penantian 15 tahun kegagalan ke kejuaraan sepakbola tertinggi di Asia itu. Indonesia terakhir bermain di Piala Asia ketika dipentaskan di Indonesia tahun 2007. Sebagai salah satu tuan rumah, Indonesia lolos otomatis. Sebelumnya Indonesia sudah pernah lolos pada tahun 1996 di Uni Emirat Arab (UEA), 2000 di Lebanon, dan 2004 di Cina. Setelah itu, dalam tiga perhelatan selanjutnya, Indonesia selalu gagal lolos ke Piala Asia 2011 di Qatar, 2015 di Australia, dan 2019 di UEA.
STY adalah salah satu pelatih terbaik di Asia. Dia sudah membuktikan dirinya sangat kompetitif. Lelaki kelahiran Yeongdeok, Gyeongbuk, Korsel, ini, sangat dikenal di Korsel, baik sebagai pemain maupun pelatih. Sebagai pemain, dia pernah membawa klubnya, Seongnam Ilhwa Chunma, juara Liga Champions Asia tahun 1995, dan juara Piala Super Asia 1996. Lalu, sebagai pelatih, dia juga membawa Seongnam meraih juara Liga Champions Asia 2010 dan Piala FA Korea 2011, sebelum akhirnya diangkat menjadi pelatih timnas Korsel pada 2014.
Di timnas Korsel, STY menangani timnas berbagai usia. Dari U-20 (lolos ke 16 besar Piala Dunia U-20 tahun 2017), U-23 (lolos ke perempatfinal Olimpiade Rio de Janeiro 2016), meloloskan tim senior ke Piala Dunia 2018 dan mengalahkan Jerman 2-0 dalam penyisihan grup meski gagal lolos ke babak selanjutnya. Kekalahan dari Korsel dan gagal lolos ke babak selanjutnya –padahal sebagai juara bertahan 2014– membuat borok timnas Jerman ketika itu terkuak. Ada konflik rumit di internal tim yang akhirnya membuat Mesut Ozil –yang didakwa sebagai salah satu penyebabnya– memilih mengakhiri karirnya di tim Der Panzer.
Artinya, dibanding Luis Milla –yang dianggap “sukses” menangani timnas sebelum tak diperpanjang kontraknya dan digantikan Simon McMenemmy– jelas rekam jejak STY lebih mentereng. Dia bukan pelatih kaleng-kaleng. Dia berpengalaman menangani tim dari berbagai level, baik klub maupun timnas, baik usia muda maupun senior.
Kebiasaan orang-orang internal pengurus PSSI yang suka mengobok-obok dan ikut campur terlalu jauh dalam kebijakan pelatih di lapangan –termasuk merecoki tim mana yang harus dilatih STY saat ini– mestinya tak perlu dilakukan. Mungkin mereka berpikir bahwa mereka bisa menentukan apa saja dalam hal kebijakan di PSSI. Tetapi, tidak semuanya harus direcoki.
Dalam kontrak yang ditandatangani STY pada Januari 2020 saat dia dipilih menangani tim Indonesia, dia akan menangani tiga timnas sekaligus. Yakni U-19 proyeksi Piala Dunia 2023, U-23 untuk proyeksi SEA Games dan kejuaraan lainnya yang menggunakan umur itu, dan timnas senior. Dalam dua tahun di tangannya, memang belum ada prestasi puncak (juara) dari berbagai iven yang diikuti. STY hanya membawa tim senior menjadi runner-up Piala AFF 2021 di tim senior dan medali perunggu SEA Games Vietnam (U-23), namun kesuksesan mengantar tim senior lolos ke Piala Asia harus dianggap sebagai sebuah prestasi besar.
STY harus diberi waktu membangun pondasi timnas kita untuk tujuan akhir di timnas senior. Itu harus dimulai dari U-19 sebagai level menuju senior. Di Piala AFF 2021, STY berhasil memadukan pemain muda dan pemain senior dalam tim dan hasilnya cukup signifikan. Puncak dari itu adalah meloloskan Indonesia ke Piala Asia 2023 dengan menyingkirkan salah satu tim kuat Asia yang juga tuan rumah, Kuwait. Padahal, saat berangkat, tak ada orang yang yakin Indonesia mampu lolos karena harus bertarung dengan Kuwait dan Yordania yang lebih diunggulkan, bersama Nepal sebagai tim underdog.
Membidik hasil maksimal di Piala Dunia U-20, tidak ada yang salah. Apalagi sebagai tuan rumah. Namun, di manapun, yang namanya muara dari seluruh prestasi dalam sepakbola –juga cabang olahraga lainnya– adalah tim senior. STY toh punya tim pelatih yang bagus yang bisa menangani tim masing-masing jika dia fokus di salah satunya. Dia tidak harus meninggalkan salah satunya karena konsep dari bangunan dia untuk timnas Indonesia memang harus dimulai dari tim yang lebih muda, dalam hal ini U-19/U-20. Jika kemudian PSSI membuat alasan bahwa STY keteteran dengan tiga tim itu dan harus memilih tim mana yang lebih difokuskan, rasanya ini malah akan memangkas konsep yang tengah dibangun tersebut.
Iwan Bule akhirnya memang menarik ucapannya bahwa STY akan tetap menangani timnas senior dan U-19 dan mempersilakan jika ingin tetap menangani U-23 (STY sendiri mengaku tak akan mundur dari salah satu tim tersebut). Namun kebiasaan buruk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan di PSSI yang merecoki pelatih yang sedang menangani tim –sebelumnya salah satu anggota Exco, Haruna Sumitro, juga merecoki STY ketika gagal di final Piala AFF 2021– harus dihentikan.
Jika punya niat membangun sepakbola Indonesia yang muaranya adalah prestasi timnas, maka para pengurus PSSI itu harus memperbaiki semuanya. Mulai dari memperbaiki kompetisi yang acakadul, membasmi mafia sepakbola yang sudah mengakar di semua level kompetisi, meningkatkan kualitas wasit dan pelatih, dan yang terakhir adalah membangun training center yang dikeluhkan STY.
Biarkan STY bekerja dulu, dan PSSI juga bekerja memperbaiki yang selama ini terlihat buruk.***