Kita memang tak tahu nasib dan takdir kita akan seperti apa dalam hidup. Inilah yang dialami oleh mantan Menteri Komunikasi Afghanistan era 2016-2018 yang kini tinggal di Jerman, Sayed Sadaat. Ia kini melanjutkan hidup dengan menjadi pengantar makanan seperti piza menggunakan sepeda.
Meskipun pernah menjabat menjadi menteri, ia tak merasa malu melakoni pekerjaan sekarang di perusahaan Lieferando.
"Tidak ada rasa malu sama sekali dalam bekerja. Kerja adalah kerja," katanya kepada AFP, Senin (30/8/2021).
Sadaat bekerja selama enam jam di hari kerja. Sementara di hari libur ia bekerja mulai tengah hari hingga pukul 10 malam.
Tiap bekerja, Sadaat menggunakan mantel khasnya yang berwarna oranye. Ia terlihat membawa ransel besar persegi yang berisi pizza atau pesanan lain untuk pelanggan yang diletakkan di sepedanya.
"Kalau ada pekerjaan, berarti ada tuntutan masyarakat harus ada yang melakukannya," lanjutnya.
Sadaat merupakan salah satu dari ribuan warga Afghanistan yang memilih menetap di Jerman selama beberapa tahun terakhir.
Sejak 2015, sekitar 210 ribu warga Afghanistan mencari suaka di Jerman. Di tahun itu pula, banyak warga Suriah dan Irak yang turut menyeberang negaranya agar bisa lari dari perang dan kemiskinan di Timur Tengah.
Jumlah pengungsi Afghanistan di Jerman menjadi populasi terbesar kedua setelah warga pengungsi Suriah.
Sadaat memutuskan berhenti menjadi menteri karena muak dengan korupsi di pemerintahan.
"Saat menjalankan tugas sebagai menteri ada perbedaan antara orang-orang yang dekat dengan presiden dan saya sendiri," tuturnya.
"Tuntutan mereka untuk kepentingan pribadi, saya ingin uang untuk proyek-proyek pemerintah dilaksanakan dengan baik," lanjut Sadaat.
Ia merasa tak bisa memenuhi tuntutan mereka. Para pejabat itu kemudian mencoba menekan Sadaat, melalui presiden.
Usai tak lagi menjabat menteri, Sadaat menjadi konsultan telekomunikasi di Afghanistan. Sayangnya, pada tahun 2020 situasi keamanan memburuk.
"Jadi saya memutuskan untuk pergi," selorohnya kepada AFP.
Perjalanan Sadaat ke Jerman tergolong mengerikan. Ia memilih pindah ke Jerman akhir 2020 meski memiliki dua kewarganegaraan ganda, Afghanistan-Inggris.
Perjalanan itu ditempuh sebelum Brexit membuat kebijakan yang membuat warga Inggris tak mungkin lagi mendapat tempat tinggal di Uni Eropa tanpa syarat, seperti tawaran pekerjaan.
Sadaat bisa saja mengamankan pos di Inggris, tapi dia merasa hidup di Jerman lebih banyak peluang. Tanpa orang Jerman, Sadaat berjuang sendiri untuk bisa mendapat pekerjaan.
Tahun 2020, seluruh dunia dihantam virus corona, tak terkecuali Jerman. Wabah ini juga berdampak pada Sadaat, ia jadi tak bisa belajar bahasa Jerman secara langsung.
Tapi, kini ia mengambil kelas bahasa selama empat jam dalam sehari, sebelum mengantar makanan untuk para pelangganya.
Meski penuh liku hidup di Jerman, Sadaat tak menyesali keputusannya.
"Saya tahu tantangan (pekerjaan, red) ini untuk sementara, sampai saya bisa mendapat pekerjaan lain," paparnya sembari menceritakan manfaat bersepeda 1.200 kilometer tiap bulan.
Jatuhnya Afghanistan ke tangan Taliban tentu sampai ke telinga Sadaat.
"Saya bisa memberi saran kepada pemerintah Jerman mengenai Afghanistan, agar rakyat Afghanistan bisa memperoleh manfaat. Karena saya cerminan yang terjadi di sana," katanya.
Namun demikian, Sadaat juga mengakui belum ada kontak yang dilakukan dengan pihak berwenang Jerman mengenai masalah tersebut. Sementara Taliban, ia percaya kelompok itu belajar dari masa lalu dalam hal hak asasi manusia dan hak perempuan.
Sadaat juga tetap meminta komunitas internasional tak balik badan terhadap Afghanistan, tetapi tetap memberikan dukungan ekonomi.
Saat shift-nya dimulai pada tengah hari, dia membolak-balik teleponnya.
"Saya harus pergi sekarang," katanya. Ia berkendara menembus hujan untuk pengiriman pertamanya hari ini.
Sumber: AFP/Reuters/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun