Kamis, 21 November 2024

Pantun Warisan Dunia

- Advertisement -

Pantun sejak kecil biasa didengar. Hingga kini semakin dikenal. Tidak hanya orang tua, tapi juga anak muda yang bermain di dunia maya. Karena pantun juga milik negara serumpun, melalui Indonesia, ia diusulkan sebagai warisan dunia.

(RIAUPOS.CO) – BANYAK orang berpantun, baik dalam pernikahan, pengobatan, pidato atau sambutan, bahkan pembawa acara. Dari orang tua hingga anak-anak muda, suka berpantun. Orang desa hingga anak-anak gaul, semuanya tahu tentang pantun. Meski tidak sekhidmat pantun orangtua, tapi paling tidak, kata yang dirangkai anak muda mengarah kepada pantun, juga pantun. Begitu luas dan berpengaruhnya pantun. Begitu dekat dan menyeluruhnya pantun di Riau.

- Advertisement -

Melihat perkembangan pantun dari zaman ke zaman, posisi pantun yang tetap kuat dari masa ke masa yang di dalamnya mencerminkan kebudayaan berkaum dan berbangsa, maka, pantun (yang tidak hanya) milik Riau diusulkan pemerintah Indonesia agar bisa diakui menjadi warisan dunia. Tentu dengan banyak alasan. Tentu dengan banyak sebab dan manfaat. Tentu juga dengan kajian-kajian mendalam yang dimulai dengan sejarah awal munculnya pantun beribu tahun silam hingga saat ini; ketika dunia kian mengawang di alam maya.

Budayawan Riau, Al Azhar, membeberkan alasan mengapa pantun Riau harus disepekati untuk diusulkan sebagai warisan dunia melalui. Tulisan Al Azhar itu: pakar sastra Melayu seperti Harun Mat Piah (1989) dan Ding Choo Ming (2010) memperkirakan pantun sudah dikenal sejak lebih 1500 tahun yang lalu, sebelum kedatangan Hindu di alam Melayu. Menilik keberadaannya dalam ritual-ritual magis yang masih menggunakan simbol-simbol animistik, pantun pada awalnya sangat mungkin digunakan sebagai bagian dari cara berkomunikasi dengan alam gaib untuk mengelola hubungan harmonis manusia dengan alam semesta. Misalnya, pada ritual pengobatan Bulian/Belian (Suku Talak Mamak dan Petalangan), Dikei (Suku Sakai), Bedewo (Suku Bonai). Susunan bahasa dari kata-kata magis (monto/mantra, jampi, dan serapah) yang ‘dinyanyikan’ sambil ‘menari’ oleh kemantan (bomo atau dukun yang memimpin upacara), sebagian besar adalah berbentuk pantun. Demikian pula susunan bahasa dalam upacara-upacara daur hidup (rite de passage) dan mata pencaharian masyarakat Melayu tradisional.

Baca Juga:  Mantel Hujan

Dari ritual-magis, pantun kemudian berkembang memasuki ruang komunal (seperti acara-acara adat). Bersama gurindam dan pepatah-petitih, pantun menjadikan acara-acara komunal itu sebagai panggung kepiawaian berbahasa kias (figuratif) orang-orang Melayu sampai ke masa kini. Selanjutnya, pantun menjalar ke wilayah popular, dalam berbagai ekspresi estetis (seperti dalam nyanyian/lirik lagu), dan pernyataan-pernyataan emosi lainnya dalam pergaulan antar-individu sehari-hari.

- Advertisement -

Berasal dari kelisanan primer (primary orality), pantun kemudian masuk ke dalam peradaban tertulis (naskah/manuskrip dan cetak) serta elektronik/digital. Dalam tradisi naskah Melayu, misalnya, pantun tampil ‘menghiasi’ sejumlah kisahan historiografi Melayu. Dalam satu episode Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) yang diperkirakan ditulis pada abad ke-18, misalnya, kita menyaksikan sang narator mengungkapkan empatinya pada bentuk kematian seorang tokoh yang dikisahkannya, dengan pantun:

Baca Juga:  Insentif Guru PAI Bukan PNS Cair, Begini Alur dan Syaratnya

Telur itik dari Senggora
Pandan terletak dilangkahi
Darahnya titik di Singapura
Badannya terhantar ke Langkawi

Pada tahun 1860-an, seorang pujangga dari lingkaran Penyengat (Kerajaan Riau-Lingga) bernama Haji Ibrahim, menyusun sebuah buku yang seluruhnya berisi pantun (terbit 1870-an dengan judul Pantoen2 Melajoe – Pantun-pantun Melayu). Pantun juga menjadi bahan ajar sejumlah buku pelajaran Bahasa Melayu di era kolonial. Selanjutnya, pantun diperkenalkan ke dunia ilmiah antara lain oleh William Marsden (1812; A Dictionary and Grammar of the Malayan Language ), dan H.C. Klinkert (1868; De Pantoens of Minnezangen der Maleiers – Pantun-pantun atau  Nyanyian-nyanyian Orang Melayu). Kemudian, pantun juga dikaji dan ditelaah oleh para pakar dunia, di antaranya Van Ophuijsen, R. J. Wilkinson, R. O. Winstedt, Hoesin Djajadiningrat, Muhammad Haji Salleh, Harun Mat Piah, dan lain-lain.

Pantun sejak kecil biasa didengar. Hingga kini semakin dikenal. Tidak hanya orang tua, tapi juga anak muda yang bermain di dunia maya. Karena pantun juga milik negara serumpun, melalui Indonesia, ia diusulkan sebagai warisan dunia.

(RIAUPOS.CO) – BANYAK orang berpantun, baik dalam pernikahan, pengobatan, pidato atau sambutan, bahkan pembawa acara. Dari orang tua hingga anak-anak muda, suka berpantun. Orang desa hingga anak-anak gaul, semuanya tahu tentang pantun. Meski tidak sekhidmat pantun orangtua, tapi paling tidak, kata yang dirangkai anak muda mengarah kepada pantun, juga pantun. Begitu luas dan berpengaruhnya pantun. Begitu dekat dan menyeluruhnya pantun di Riau.

- Advertisement -

Melihat perkembangan pantun dari zaman ke zaman, posisi pantun yang tetap kuat dari masa ke masa yang di dalamnya mencerminkan kebudayaan berkaum dan berbangsa, maka, pantun (yang tidak hanya) milik Riau diusulkan pemerintah Indonesia agar bisa diakui menjadi warisan dunia. Tentu dengan banyak alasan. Tentu dengan banyak sebab dan manfaat. Tentu juga dengan kajian-kajian mendalam yang dimulai dengan sejarah awal munculnya pantun beribu tahun silam hingga saat ini; ketika dunia kian mengawang di alam maya.

Budayawan Riau, Al Azhar, membeberkan alasan mengapa pantun Riau harus disepekati untuk diusulkan sebagai warisan dunia melalui. Tulisan Al Azhar itu: pakar sastra Melayu seperti Harun Mat Piah (1989) dan Ding Choo Ming (2010) memperkirakan pantun sudah dikenal sejak lebih 1500 tahun yang lalu, sebelum kedatangan Hindu di alam Melayu. Menilik keberadaannya dalam ritual-ritual magis yang masih menggunakan simbol-simbol animistik, pantun pada awalnya sangat mungkin digunakan sebagai bagian dari cara berkomunikasi dengan alam gaib untuk mengelola hubungan harmonis manusia dengan alam semesta. Misalnya, pada ritual pengobatan Bulian/Belian (Suku Talak Mamak dan Petalangan), Dikei (Suku Sakai), Bedewo (Suku Bonai). Susunan bahasa dari kata-kata magis (monto/mantra, jampi, dan serapah) yang ‘dinyanyikan’ sambil ‘menari’ oleh kemantan (bomo atau dukun yang memimpin upacara), sebagian besar adalah berbentuk pantun. Demikian pula susunan bahasa dalam upacara-upacara daur hidup (rite de passage) dan mata pencaharian masyarakat Melayu tradisional.

- Advertisement -
Baca Juga:  Aplikasi Diskominfo Permudah Pelayanan

Dari ritual-magis, pantun kemudian berkembang memasuki ruang komunal (seperti acara-acara adat). Bersama gurindam dan pepatah-petitih, pantun menjadikan acara-acara komunal itu sebagai panggung kepiawaian berbahasa kias (figuratif) orang-orang Melayu sampai ke masa kini. Selanjutnya, pantun menjalar ke wilayah popular, dalam berbagai ekspresi estetis (seperti dalam nyanyian/lirik lagu), dan pernyataan-pernyataan emosi lainnya dalam pergaulan antar-individu sehari-hari.

Berasal dari kelisanan primer (primary orality), pantun kemudian masuk ke dalam peradaban tertulis (naskah/manuskrip dan cetak) serta elektronik/digital. Dalam tradisi naskah Melayu, misalnya, pantun tampil ‘menghiasi’ sejumlah kisahan historiografi Melayu. Dalam satu episode Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) yang diperkirakan ditulis pada abad ke-18, misalnya, kita menyaksikan sang narator mengungkapkan empatinya pada bentuk kematian seorang tokoh yang dikisahkannya, dengan pantun:

Baca Juga:  Tarik Sepihak Penyidik Rossa, Pimpinan KPK Dinilai Melanggar Kode Etik

Telur itik dari Senggora
Pandan terletak dilangkahi
Darahnya titik di Singapura
Badannya terhantar ke Langkawi

Pada tahun 1860-an, seorang pujangga dari lingkaran Penyengat (Kerajaan Riau-Lingga) bernama Haji Ibrahim, menyusun sebuah buku yang seluruhnya berisi pantun (terbit 1870-an dengan judul Pantoen2 Melajoe – Pantun-pantun Melayu). Pantun juga menjadi bahan ajar sejumlah buku pelajaran Bahasa Melayu di era kolonial. Selanjutnya, pantun diperkenalkan ke dunia ilmiah antara lain oleh William Marsden (1812; A Dictionary and Grammar of the Malayan Language ), dan H.C. Klinkert (1868; De Pantoens of Minnezangen der Maleiers – Pantun-pantun atau  Nyanyian-nyanyian Orang Melayu). Kemudian, pantun juga dikaji dan ditelaah oleh para pakar dunia, di antaranya Van Ophuijsen, R. J. Wilkinson, R. O. Winstedt, Hoesin Djajadiningrat, Muhammad Haji Salleh, Harun Mat Piah, dan lain-lain.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari