SURIAH (RIAUPOS.CO) — Sejak 19 Desember, gempuran pasukan pendukung rezim Presiden Bashar Al Assad ke Idlib kian kuat. Sedikit demi sedikit, wilayah yang dikuasai oposisi itu kini beralih kendali. Mau tak mau, penduduk akhirnya harus pergi.
Jalanan Maaret al-Numan, Idlib, penuh beberapa hari ini. Mobil-mobil yang membawa berbagai barang berjalan lambat menuju utara. Semuanya meninggalkan wilayah selatan Idlib yang menjadi pusat pertempuran antara oposisi dan pasukan rezim Presiden Bashar Al Assad.
Idlib adalah satu-satunya wilayah yang dikuasai oposisi. Pengikut Hayat Tahrir al-Sham (HTS) mendominasi wilayah yang dihuni lebih dari 3 juta penduduk tersebut. Jika gempuran pasukan Assad terus berlanjut, jutaan orang itu terancam kehilangan tempat tinggal, bahkan nyawa. Sejak pertengahan Desember, sudah ada 80 penduduk sipil yang tewas.
Maaret al-Numan yang merupakan pusat kota terbesar di Idlib kini sepi. Ia seperti kota mati. Hanya ada beberapa orang yang memilih tinggal. Mereka bukannya berani, tapi tak punya nyali untuk pergi. Ada ketakutan luar biasa bahwa rombongan yang meninggalkan kota tersebut akan diserang dari udara.
Iring-iringan penduduk yang meninggalkan Maaret al-Numan memang bisa menjadi sasaran empuk. Mereka berada di area terbuka tanpa perlindungan. Meski risikonya besar, peluang untuk hidup juga sama besarnya.
Bertahan di Maaret al-Numan sama dengan menanti kematian. Sebab, pasukan Assad sudah berjarak 4 kilometer dari kota itu. Mereka berhasil mengambil alih puluhan kota kecil dan desa-desa sebelum Maaret al-Numan.
OCHA mengungkapkan bahwa sejak 12–25 Desember ada lebih dari 235 ribu penduduk yang melarikan diri ke utara. Mayoritas dari Maaret al-Numan. Sisanya dari Kota Saraqeb dan sekitarnya.
"Lebih dari 80 persennya adalah perempuan dan anak-anak," tutur Juru Bicara OCHA David Swanson, Jumat (27/12) seperti dikutip Agence France-Presse.
Mereka yang pergi terpaksa harus tinggal di kamp-kamp pengungsian yang tidak layak huni. Salah satunya berada di Kota Dana. Hujan deras, makanan yang minim, tidak ada pemanas, dan baju yang terbatas membuat para pengungsi tertekan.
"Saya tidak bisa tinggal di kamp-kamp pengungsian," kata Umm Abdo, ibu lima anak yang baru tiba di Dana.
Para pengungsi itu memang bak jatuh tertimpa tangga pula. Mereka harus pergi dari rumah di saat musim dingin tiba. Hujan turun terus-menerus dan membuat kamp-kamp pengungsian kian kumuh. Mereka rentan sakit. Terlebih, tidak ada air bersih dan toilet yang memadai.
Karena pertempuran yang kian sengit, berbagai lembaga kemanusiaan menghentikan operasi di Idlib. Tidak ada lagi obat-obatan dan suplai makanan. Padahal, mayoritas penduduk Idlib bergantung pada bantuan kemanusiaan tersebut. Biasanya bantuan itu dikirim dari perbatasan Turki ke Idlib.
Nasib mereka Januari nanti juga tidak bisa diprediksi. PBB berencana memperpanjang pengiriman bantuan untuk Idlib tahun depan. Namun, Tiongkok dan Rusia memveto keputusan tersebut.
Pemimpin Komite Negosiasi Tinggi Oposisi Nasr Hariri meminta komunitas internasional agar membantu warga Idlib dan menghentikan perang. "Ada bencana kemanusiaan di dalam Suriah," ujarnya seperti dikutip Global News.
Jika serangan terus berlangsung, krisis pengungsi akan kembali terjadi. Turki tentu saja bakal terbebani. Sebab, para pengungsi menuju negeri yang terletak di dua benua itu. Menurut Hariri, harus ada gencatan senjata permanen di Idlib, bukan yang hanya berlaku sesaat. Idlib saat ini pantas disebut sebagai daerah bencana dan harus segera mendapatkan penanganan yang layak.
"Jika komunitas internasional tidak bisa melindungi warga sipil itu, mereka harus mengirim bantuan kemanusiaan agar pengungsi bisa bertahan di cuaca dingin dan keadaan yang sulit ini," ungkapnya.
Salah satu lembaga kemanusiaan yang bertahan di Suriah adalah Mercy Corps. Mereka meningkatkan operasi agar lonjakan pengungsi tidak terabaikan. Selama tiga hari belakangan ini mereka sudah membagikan alat-alat masak dan kebersihan diri kepada lebih dari 3.000 orang. Juga air bersih kepada 2.500 orang.
"Bagi ribuan penduduk sipil tak berdosa itu, satu-satunya pilihan adalah melarikan diri," ujar Direktur Mercy Corps Syria Wolfgang Gressmann. Namun, kini bahkan melarikan diri adalah hal yang sangat menakutkan.(*/c22/dos/jpg)
Laporan SITI AISYAH, Suriah