Tidak ada kawan dan lawan abadi di arena politik, yang ada hanya kepentingan abadi. Adagium atau peribahasa ini bisa sangat membantu publik untuk memahami fenomena kondisi politik lokal maupun nasional.
Masyarakat sudah jengah jika diajak bincang terkait dukungan. Sebab banyak yang kecewa terkait keputusan politik sang jago yang diadu berdamai dengan lawan tanding. Tiba masanya berhantam lalu tiba-tiba berpelukan.
Realita dalam helat pemilu atau pilkada bisa dengan mudah dua atau lebih kubu berada pada posisi berlawanan bahkan duwel brutal, tiba-tiba berpelukan mesra.
Sementara dua kubu pendukung sama sama militan kadung pasang harga mati. Bersumpah setia sampai titik darah terakhir. Slogannya sama sama maju tak gentar bela yang benar, bukan membela yang bayar.
Boleh saja sikap kesatria pada dunia pewayangan jauh beda di pentas jagat politik. Prinsip kesatria lebih baik mati dari pada hidup mencium kaki musuh. Di arena jagat politik terjadi sebaliknya, bahkan sebagian pengamat berpendapat berkoalisi dengan musuh dianggap sosok yang legowo dan berjiwa negarawan sejati.
Nabi Muhammad telah berpesan jangan terlalu cinta, sekedarnya saja. Cintailah orang yang kau cinta dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kau benci menjadi orang yang kau cinta.
Jika benci dengan orang jangan sampai kelewatan, begitu juga kalau mencintai jangan membabi buta. Seiring dentingan waktu bisa jadi akan membuat salah tingkah polah dan pipi memerah. Banyak sudah peristiwa politik membaling berbalik arah.
Benar bahwa posisi seseorang menentukan sikapnya. Siapa dan di mana berada akan mempengaruhi arah dan pilihan. Belum lama kita disajikan hidangan politik nasional yang fenomenal serta arah anginnya frontal bahkan bisa disebut radikal.
Lawan super keras Jokowi pada pemilu Presiden yaitu Prabowo Subianto berangkulan mesra. Lalu dilanjutkan gerbong parpolnya masuk koalisi pemegang kekuasaan. Maka pemuja dan pemilihnya terbelah antara kecewa dan suka cita. Di Malaysia Mahatir Muhammad bisa berdamai dengan kawan yang juga dikenal sebagai musuh politik bebuyutannya yaitu Anwar Ibrahim. Dulu sebelum dan awal Indonesia merdeka, permusuhan di dunia politik juga kerap terjadi.
Soekarno juga pernah berlawanan dengan sejumlah sahabatnya. Para tokoh hebat yang menjadi lawan Soekarno misalnya Tan Malaka, Kartosoewirjo, Musso, Abdul Karim Amrullah (Buya Hamka) dan Mohammad Hatta.
Lawan menjadi kawan juga terjadi pada politik lokal di Riau. Contoh terbaru adalah posisi Gubernur Riau Syamsuar. Banyak sahabat, kolega dan handai taulan berbaris rapat menyokong dan berjibaku ketika merebut tahta kursi Gubernur Riau.
Peta politik berubah tatkala Syamsuar setelah menjabat Gubernur juga menjadi Ketua Golkar. Berlakulah dalil kawan jadi lawan. Sebut saja Alfedri, Irwan Nasir, keduanya kader PAN terpaksa harus pasang kuda-kuda berlawanan untuk berkompetisi pada pilkada di Siak, Meranti.
Begitupun para pendukung, relawan yang setia karena beda posisi dipastikan akan terpecah. Hal ini bukan karena perangai baik dan buruk Syamsuar tetapi akibat posisi jabatan yang melekat.
Fakta politik akan lebih lucu dan unik di Kuansing. Pada Pilkada tahun 2016 pasangan Indra Putra-Komprensi vs Mursini-Halim, sementara pada pilkada 2020 terjadi “lukir” politik. Mursini berpasangan dengan Indra sedangkan Halim berbalik menjadi jatuh cinta pada lawan politik lamanya yaitu Komprensi.
Pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati pada praktiknya merupakan proses politik untuk memperoleh kekuasaan sehingga tidak ada istilah kawan atau lawan abadi, maka yang sebelumnya musuh kini bisa menjadi kawan.
Kita telah bersepakat mengagungkan demokrasi. Dan kita paham watak dasar demokrasi mengajarkan untuk berpecah dan bangga dengan golongan atau kelompok. Dominasi yang kuat mengalahkan yang lemah. Minoritas tak ada hak untuk melawan keputusan.
Maka masa-masa pemilu tidak lebih dari perebutan kekuasaan, bukan mencari sosok pemimpin. Secara filosofi, pemilu merupakan hal yang mulia lantaran memiliki tujuan untuk mencari pemimpin rakyat. Namun, dalam praktiknya, pemilu justru menjadi proses politik untuk memperoleh, mempertahankan, atau mendapat bagian dari kekuasaan.
Tak ada yang melarang atau menyuruh merangkul lawan jadi kawan atau sebaliknya. Tapi bila demokrasi model semacam ini dibiarkan terjadi terus-menerus dipastikan akan berdampak buruk. Oleh karena itu, perlu teman nomokrasi untuk mengontrol demokrasi agar tidak menimbulkan kekacauan.
Kalau demokrasi mencari menang, nomokrasi itu mencari benar. Bahwa sistem pemerintahan ini perlu memiliki instrumen hukum kelembagaan yang kuat untuk mengawal demokrasi supaya tidak salah arah.
Dipersilahkan mengukur tensi politik tubuh kita masing masing. Bahwa tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik itu betul adanya. Cuma kita berada di sudut yang mana. Tersebab beda ide dan prinsip seperti Soekarno atau semata-mata mencari kekuasaan, keuntungan pribadi dan golongan.***
Oleh: Bagus Santoso Wartawan Senior dan Politisi