Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Mendaulat Kampung Adat

Riau sudah memiliki kampung adat. Kekuatan adat dan pelaksanaannya di kampung-kampung tersebut menjadi lebih mapan hukumnya. Adat yang hilang dikembalikan, adat yang terlupa, dilupa jangan. Bak mengangkat batang terendam,ianya  semakin bertempat.

(RIAUPOS.CO) – MATAHARI baru saja tenggelam. Jingga senja di ufuk Barat baru saja meninggalkan jejaknya di riak air selat di pelabuhan Tanjung Pal, Desa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Rabu. Warga suku asli yang tinggal di desa ini  baru saja menjalankan aktifiasnya. Para ayah baru saja lalu lalang naik ke darat memanggul kayu dari pelabuhan. Anak-anak baru saja selesai bermain tatakan di halaman rumah. Sebagian ibu baru saja duduk santai di teras. Sebagiannya lagi baru selesai belanja sayur pada pedagang keliling di tepi jalan. Senda gurau mereka terdengar riuh. Listrik desa juga baru menyala tiga jam lalu. Malam belum larut. Jam baru menunjukkan pukul 21.00 WIB. Tapi, kedai Alit yang tidak jauh dari pelabuhan, sudah tutup. Pintu-pintu rumah warga juga sudah terkatub. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada juga suara tetangga yang sedang berbual. Sunyi.

"Naiklah. Kita duduk di depan saja. Ini dapur. Kotor. Mari masuk," pinta Wel kepada Riau Pos saat baru saja menjejakkan kaki di pintu rumahnya malam itu, beberapa waktu lalu. Wel merupakan tokoh masyarakat Suku Asli Anak Rawa di desa ini. Abangnya, Dum, merupakan kepala suku. Rumahnya berada persis di depan rumah Wel. Sayang dia sedang tidak ada di kampung dan baru akan pulang dua minggu lagi.

Rumah wel terbuat dari kayu, menghadap ke jalan dan bentuknya memanjang ke samping. Pintu ruang tamu dan pintu dapur sama-sama menghadap ke jalan. Bagian dapur lebih rendah dari ruang tamu. Bedanya sekitar tiga jengkal. Satu-satunya kamar yang terletak di bagian tengah, menjadi pembatas antara dapur dan ruang tamu. Dua lampu yang dipasang di ruang tamu dan dapur, juga memperjelas warna cokelat kusam dindingnya. Rumah Wel bukan rumah panggung. Tidak seperti rumah warga yang tinggal lebih dekat dengan laut -panggung sekitar satu meter- di sepanjang jalan Dusun I bagian laut atau rumah warga dengan ketinggian panggung lebih 3 meter di Dusun III Kuala Mungkal yang terletak persis di tepi laut.

Warga yang tinggal di Dusun I dan II desa ini jauh lebih maju dibandingkan yang tinggal di Dusun III khususnya Kuala Mungkal dan sekitarnya. Selain dekat dengan ibu desa yakni, Tanjung Pal, juga dekat dengan fasilitas umum seperti sekolah, perpustakaan mini, kantor desa, pelabuhan, rumah ibadah seperti masjid dan gereja dan rumah bidan. Meski jaraknya sekitar 20 kilo meter dari simpang empat Tanjung Buton, tapi untuk sampai ke desa ini sudah bisa melalui jalan darat. Bahkan sebagian jalannya merupakan jalan mulus dan sebagian lain sirtu serta sebagian kecil jalan tanah. Meski terletak paling ujung kedua setelah Desa Teluk Lanus di Kabupaten Siak yang berbatasan dengan Kabupaten Pelalawan, tapi jalur laut tidak lagi menjadi satu-satunya jalur alternatif menuju desa ini seperti beberapa tahun sebelumnya.

Warga di kampung ini sudah tahu kalau desanya berubah nama dari desa menjadi kampung. Pengumuman resmi dari pemerintah Kabupaten Siak ditempel di berbagai lokasi. Seperti di kantor desa, di rumah sekolah, bahkan di kedai lontong yang ramai pengunjung. Seperti yang ditempel di kedai lontong Ci. Kertas pengumuman itu menjelaskan Perda Nomor 1 dan 2 tahun 2015 yang ditandatangani Kepala BPMPD Siak, Abdul Razak.

‘’Hampir 90 persen warga di sini suku asli. Sekarang sudah agak maju dibandingkan dulu. Sekarang ada sekolah, rumah ibadah dan sebagainya. Dulu tak ada. Kami tak ada sekolah. Orang menyebut kami suku terbelakang hanya  karena masalah pendidikan saja. Kami mana ada sekolah. Meski lebih maju, tapi kami tak lupa adat peninggalan leluhur. Hukum adat berjalan. Beberepa waktu lalu, ada yang mencuri dihukum bersih-bersih parit. Ya, seperti itu. Hubungan dengan suku lain juga sangat harmonis," kata Toko, yang juga tokoh masyarakat di sana.

Selain Toko dan Wel, juga ada Kehong selaku Kepala Dusun I. Toko dan Kehong mengenakan baju kemeja. Sedangkan Wel mengenakan baju kaos lengan pendek warna cokelat. Sementara, istrinya yang membawa empat gelas teh susu beralas talam plastik, mengenakan gaun pendek.

Adat yang berjalan saat ini memang tidak kental seperti beberapa tahun sebelumnya. Sejak akses jalan bisa ditempuh dari banyak jalur, pengaruh luar sangat mudah masuk. Ditambah lagi sistem pemerintahan yang kerap kali berubah. Jika awalnya dipimpin seorang bathin, kemudian dipimpin penghulu karena berubah menjadi kampung, setelah itu dipimpin kepala desa karena kampung berubah menjadi desa dan saat ini kembali menjadi kampung yang dimpimpin penghulu, tepatnya sejak 15 Februari 2015. Tepatnya lagi, setelah pemerintah Kabupaten Siak mengesahkan Perda Nomor 1 tahun 2015 tentang perubahan penamaan desa menjadi kampung dan Perda Nomor 2 tahun 2015 tentang penetapan kampung adat. Sejak itu, Desa Penyengat resmi berubah nama menjadi Kampung Adat Asli Anak Rawa Penyengat. Perda ini sendiri lahir dengan berpayung hukum kepada PP Nomor 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Di dalam Bab XIII undang undang inilah diatur dengan jelas tentang desa adat.  

‘’Sudah lama sekali kami ini di Siak. Kakek kami saja bathin ke-12, Bathin Teng namanya, bathin terakhir. Belum lagi penghulu, kepala desa dan berganti lagi ke penghulu. Di kabupaten lain seperti Bengkalis, Kepulauan Meranti dan Pelalawan, jauh lebih banyak. Kami sering berkomunikasi dengan suku asli di tempat-tempat lain. Kami juga berusaha menjaga adat dan tradisi kami. Salah satunya dengan menggelar festival adat budaya suku asli. Kami akan menjaga suku kami agar tetap utuh dan bertahan. Ya, kalau ada perubahan dan lebih maju, memang harus begitu. Tapi suku atau asal usul kita, adat dan budaya, tidak boleh lupa. Anak cucu juga harus menjaganya. Kita yang tua-tua inilah yang harus lebih perduli," kata Wel.

Baca Juga:  Ini Pesan Gubri Usai Tinjau Perbatasan Riau-Sumbar Bersama Kapolda

Adat yang masih berjalan di kampung ini lumayan banyak. Sebelumnya, sudah pasti jauh lebih banyak. Adat tersebut antara lain, adat nikah kawin, adat membela (:dibaca mbele) kampung atau yang dikenal dengan Netau, adat masuk ke tempat baru atau disebut dengan Beri Bahasa dan Tujuh Likur. Dari adat-adat ini, adat yang paling sering digunakan adalah adat nikah kawin. Adat dalam nikah kahwin ini juga banyak. Mulai dari proses menjelang pelaksanaan nikah kahwin seperti merisik, meminang atau lamaran dan hari H yang diramaikan dengan pencak silat dan tari leluhur yakni Tari Gendong.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang adat-adat tersebut, Riau Pos menjumpai Ketua Adat, Kiat, di rumahnya. Rumahnya tidak jauh dari rumah Dum atau Wel. Rumahnya juga terbuat dari kayu. Tidak jauh pula dari kompleks  SD, SMP dan kantor desa. Rumah di kampung ini letaknya berdekatan. Kiat mengatakan, pelaksanaan adat di kampungnya masih sangat kuat. Bukan bagaimana adat itu dilaksanakan, tapi juga hukum adat serta sanksi-sanksi yang diterapkan.

‘’Adat nikah kahwin, adat masuk ke tempat baru, adat beribadah, semuanya ada. Hukum adat juga berjalan. Kalau melanggar hukum adat, berarti ada sanksi adat. Ini masih dijalankan. Misalnya ada yang mencuri. Berarti sudah melanggar hukum adat. Ada sanksi atau hukumannya. Kita suruh yang bersangkutan mengembalikan apa yang dicuri. Ya, diselesaikan secara adat. Sekarang pelaksanaan adat dan hukum adat ini memang sudah mulai memudar. Dengan dijadikannya desa ini sebagai kampung adat, nanti kita akan merumuskan kembali dan memusyawarahkan kembali tentang adat, hukum adat dan sanksi adat di kampung ini. Kita menunggu arahan pemerintah lebih lanjut nantinya," kata Kiat.

Kiat juga menjelaskan tentang adat dan tradisi yang harus dijaga tersebut. Di antaranya adat Mbela Kampung (Netau) yang ditandai dengan doa khusus oleh dukun kampung. Sang dukun akan membawa perlengkapan mendoa atau yang juga disebut sesajen seperti nasi kuning, nasi putih, ketupat bantal, ketupat kerbau, ketupat ayam, ketupat pato, serabai dan beberapa lainnya. Seluruh makanan ini diletakkan di bawah pohon kayu dan di sinilah dukun kampung berdoa. Netau tidak mesti dilakukan setiap tahun. Bisa dua tahun sekali atau tiga tahun sekali. Tergantung kondisi kampung ketika itu. Netau hampir sama dengan Tetau. Hanya jangka waktu saja yang membedakan antara keduanya.

Begitu juga dengan Beri Bahasa. Beri bahasa artinya berkomunikasi dengan penunggu sutau wilayah yang baru dibuka atau yang didatangi ketika itu. Dengan kata lain, meminta izin kepada yang dipercayai berperan sebagai penunggu di sana. Beri Bahasa juga dilengkapi dengan sesajen seperti beras kuning, pinang, daun nipah dan begehtih (padi digoreng dan diambil berasnya saja). Beri Bahasa juga dilakukan di bawah pohon kayu punak.

‘’Beri Bahasa, Netau atau Tetau itu bukan menyembah Tuhan. Kadang ini disalahartikan. Itu hanya ritual adat meminta izin kepada penguasa suatau wilayah. Sama dengan kita bertamu ke kampung, tentu kita minta izin kepada RT atau RW-nya, kepala dusunnya. Ini juga seperti itu. Karena kita yakin suatu wilayah entah di hutan, di sungai atau di laut, ada penunggunya. Ada dukun yang memimpin pelaksanaannya," jelas Kiat.

Dijelaskan Kiat, Tari Gendong yang merupakan ciri khas suku asli merupakan adat tradisi yang harus lebih dikedepankan. Tujuh Likur juga masih berjalan. Tujuh Likur merupakan hari raya suku asli yang dilaksanakan pada malam 27 Ramadan. Warga memasak berbagai menu makanan lezat yang dihidangkan di dalam rumah. Sedikit menu ini kemudian disisihkan dan diletakkan di sudut halaman.

‘’Dulu, setiap nikah kahwin, setiap ada tamu datang, setiap ada acara besar di kampung ini, selalu menggunakan Tari Gendong. Ada beras kuning, telor dan lauk pauk lainnya diletakkan di suatu tempat yang disebut Puan. Menggunakan kemenyan juga. Penari mengitari Puan ini dengan iringan musik khusus asli kami. Sebagian besar adat hampir sama dengan orang Melayu. Kalau tamnu datang ke rumah, langsung kita suguhi sirih pinang. Setelah makan sirih pinang baru menanyakan maksud dan tujuan datang ke rumah. Itu dulu. Sekarang adat bertamu ini tak ada lagi. Nanti bisa kita munculkan lagi sesuai musyawarah bersama. Tak mudah dan menjalankan dan mengaktifkan adat yang pernah berlaku. Apalagi zaman terus berkembang. Tapi ini harus kita gali lagi dan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan kepada kampung adat," kata Kiat lagi.

Dengan telah berubahnya Desa Penyengat sebagai Kampung Adat Suku Asli Anak Rawa Penyengat, segenap tokoh adat, pemuka masyarakat dan pimpinan kampong mulai menginventarisir adat-adat yang sudah tidak dilaksanakan lagi, bahkan adat yang sudah hilang. Berbagai tahapan akan dilakukan termasuk meningkatkan komunikasi dengan Pemerintah Kabupaten, Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Siak dan camat selaku pembina dan pengawas kampung adat. Hal ini sebagaimana tertera dalam pasal 13 ayat 1 Perda Nomor  2 tahun 2015.

Baca Juga:  Kekayaan Bupati Indramayu yang Terjaring OTT KPK, Rp8,4 Miliar

‘’Suku asli sekitar 90 persen. Selebihnya campuran. Ada Suku Jawa, Batak, Nias, Melayu, Bugis, Minang dan Banjar. Agamanya juga bermacam-macam. Ada Islam, Budha dan sebagainya. Tapi adat dan budaya di sini masih jalan. Karena itulah, kita mengusulkan agar kampung kami ini dijadikan kampung adat. Tentu perlu pembinaan, pendampingan dan perhatian. Apalagi kalau kelak akan dijadikan kampung wisata. Saat ini kami mulai mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk menggali kembali adat-adat yang sudah tidak lagi dijalankan. Kita juga menunggu pembinaan dari pemerintah," kata Kepala Desa Abhok Agustunus pula.

Meski kelak akan menjadi kampung adat dengan hukum dan aturan-aturan adatnya, bukan berarti, masyarakat di kampung ini menutup diri dari yang lain, kata Ahok lagi. Banyaknya akses jalan, membuat kampung tersebut semakin maju, semakin disesaki dengan kebudayaan luar. ‘’Kampung biarlah maju, masyarakat biarlan maju, tapi adat jangan dilupakan, tetap kita jalankan. Jadi, kalau ada tamu luar yang datang, merekalah yang ikut adat kita," sambung Abhok.

Delapan Desa Adat

Tidak sedikit tahapan yang dilalui pemerintah Kabupaten Siak untuk mewujudkan desa adat. Ada 42 kali tahapan sejak Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa yang di dalamnya juga mengatur desa adat disahkan 15 Januari 2014. Pemerintah pusat memberi waktu satu tahun kepada seluruh kabupaten dan kota se-Indonesia untuk membentuk desa adat, selambat-lambatnya sudah terbentuk dan disahkan Perda yang mengatur desa adat 15 Januari 2015. Keputusan ini tertera jelas dalam undang undang tersebut, yakni pasal 116 ayat (3) yang berbunyi; penetapan desa dan desa adat sebagaimana dimaksud pada ayat 2 paling lama 1 (satu) tahun sejak undang undang ini diundangkan.

Mengacu kepada ketentuan ini, Pemkab Siak melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) selaku instansi terkait, mulai mengatur starategi. Diawali dengan rapat koordinasi pemerintah daerah, menyurati camat se-Kabupaten Siak, membentuk tim kecil di lingkungan BPMPD yang diketuai Hasmizal SSos, menginventarisir desa yang berpotensi menjadi desa adat, menerima usulan nama-nama desa adat dari camat dan LAMR Siak, menyosialisasikan desa adat dengan aktif kepada masyarakat, membentuk Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda), berkali-kali siding paripurna sampai akhirnya Ranperda disahkan menjadi Perda. Perda tersebut yakni Perda Nomor 1 tahun 2015 tentang perubahan penamaan desa menjadi kampung dan Perda Nomor 2 tahun 2015 tentang penetapan kampung adat.

‘’Proses membentuk kampung adat ini panjang dan harus dikerjakan terus menerus. Pertama, kita harus mengubah desa menjadi kampung dan kampung menjadi kampung adat. Ada delapan kampung adat yang disahkan. Usulan pertamanya dari masyarakat desa melalui perangkat desa lalu ke camat dan kemudian digodok dan diparipurnakan di DPRD. Usulan tidak hanya dari camat bersama masyarakat desa, tapi LAMR Siak juga mengusulkan," beber Kepala BPMPD Kabupaten Siak, Abdul Razak, waktu itu.

Suatu desa disetujui sebagai kampung adat karena memenuhi kriteria yang ditentukan, yakni, memiliki kode desa, masih ada adat yang berlaku atau dijalankan dan ada tokoh artau pemangku adatnya. Delapan desa tersebut yakni, Desa Lubuk Jering menjadi Kampung Adat Lubuk Jering, Kecamatan Sungai Mandau, Kampung Tengah menjadi Kampung Adat Kampung Tengah Kecamatan Mempura, Desa Kuala Gasib menjadi Kampung Adat Kuala Gasib Kecamatan Koto Gasib, Desa Penyengat menjadi Kampung Adat Asli Anak Rawa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Desa Minas Barat menjadi Kampung Adat Sakai Minas Kecamatan Minas, Desa Mandi Angin menjadi Kampung Adat Sakai Mandi Angin Kecamatan Minas, Desa Belakar menjadi Kampung Adat Sakai Belakar Kecamatan Kandis dan Desa Libo Jaya menjadi Kampung Adat Sakai Libo Jaya Kecamatan Kandis.

Dengan disahkannya Undang Undang Nomor 1 tahun 2015, maka terjadi perubahan sebutan nama pemerintahan dan kelembagaan kampung di Kabupaten Siak, termasuk kampung adat. Perubahan tersebut yakni, desa menjadi kampung, kepala desa menjadi penghulu, sekretaris desa menjadi kerani, kepala urusan menjadi juru tulis, kepala dusun tetap kepala dusun, rukun warga menjadi rukum kampung, rukun tetangga tetap rukun tetangga, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi Badan Permusyawaratan Kampung  (Bapekam) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) menjadi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK).

Berkembang Jadi Desa Wisata

Pemerintah Kabupaten Siak sedang bersemangat menjadikan Siak sebagai kota tujuan wisata nasional bahkan internasional. Berbagai upaya dilakukan. Tidak hanya wisata sejarah, wisata budaya, tapi juga wisata olahraga, bahkan wisata kuliner. Wisata adat dan budaya kembali digalakkan. Kampung adat yang telah resmi disahkan melalui Perda Nomor 1 tahun 2015 tentang perubahan nama desa menjadi kampung dan Perda Nomor 2 tahun 2015 tentang penetapan kampung adat, merupakan kunci utama untuk menjadikan kampung tersebut sebagai destinasi wisata baru di kota yang dijuluki Negeri Istana tersebut.

Dengan dibentuknya kampung adat, maka masyarakat akan bisa menjalankan hak-hak adatnya sesuai kesepakatan bersama, sambung Alfredi.  Dengan demikian, adat yang ada bisa terus djalankan dan dilestarikan. Hukum adat yang ada juga bisa dijalankan. Hal inilah yang nantinya membuat kampung-kampung adat tersebut menjadi lebih istimewa dibandingkan kampung yang lain.

Pemerintah akan berupaya memberikan pembinaan dan pengawasan kepada kampung-kampung adat. Ini juga sesuai amanah Perda Nomor 2 tahun 2015. Pemerintah yang dimaksud bukan hanya bupati atau wakil bupati, tapi juga camat setempat. Ditambah lagi pembinaan dan pengawasan dari Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Siak yang menjadi wadah bagi selluruh lembaga adat di kampung-kampung adat tersebut.***

 

Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru

Riau sudah memiliki kampung adat. Kekuatan adat dan pelaksanaannya di kampung-kampung tersebut menjadi lebih mapan hukumnya. Adat yang hilang dikembalikan, adat yang terlupa, dilupa jangan. Bak mengangkat batang terendam,ianya  semakin bertempat.

(RIAUPOS.CO) – MATAHARI baru saja tenggelam. Jingga senja di ufuk Barat baru saja meninggalkan jejaknya di riak air selat di pelabuhan Tanjung Pal, Desa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Rabu. Warga suku asli yang tinggal di desa ini  baru saja menjalankan aktifiasnya. Para ayah baru saja lalu lalang naik ke darat memanggul kayu dari pelabuhan. Anak-anak baru saja selesai bermain tatakan di halaman rumah. Sebagian ibu baru saja duduk santai di teras. Sebagiannya lagi baru selesai belanja sayur pada pedagang keliling di tepi jalan. Senda gurau mereka terdengar riuh. Listrik desa juga baru menyala tiga jam lalu. Malam belum larut. Jam baru menunjukkan pukul 21.00 WIB. Tapi, kedai Alit yang tidak jauh dari pelabuhan, sudah tutup. Pintu-pintu rumah warga juga sudah terkatub. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada juga suara tetangga yang sedang berbual. Sunyi.

- Advertisement -

"Naiklah. Kita duduk di depan saja. Ini dapur. Kotor. Mari masuk," pinta Wel kepada Riau Pos saat baru saja menjejakkan kaki di pintu rumahnya malam itu, beberapa waktu lalu. Wel merupakan tokoh masyarakat Suku Asli Anak Rawa di desa ini. Abangnya, Dum, merupakan kepala suku. Rumahnya berada persis di depan rumah Wel. Sayang dia sedang tidak ada di kampung dan baru akan pulang dua minggu lagi.

Rumah wel terbuat dari kayu, menghadap ke jalan dan bentuknya memanjang ke samping. Pintu ruang tamu dan pintu dapur sama-sama menghadap ke jalan. Bagian dapur lebih rendah dari ruang tamu. Bedanya sekitar tiga jengkal. Satu-satunya kamar yang terletak di bagian tengah, menjadi pembatas antara dapur dan ruang tamu. Dua lampu yang dipasang di ruang tamu dan dapur, juga memperjelas warna cokelat kusam dindingnya. Rumah Wel bukan rumah panggung. Tidak seperti rumah warga yang tinggal lebih dekat dengan laut -panggung sekitar satu meter- di sepanjang jalan Dusun I bagian laut atau rumah warga dengan ketinggian panggung lebih 3 meter di Dusun III Kuala Mungkal yang terletak persis di tepi laut.

- Advertisement -

Warga yang tinggal di Dusun I dan II desa ini jauh lebih maju dibandingkan yang tinggal di Dusun III khususnya Kuala Mungkal dan sekitarnya. Selain dekat dengan ibu desa yakni, Tanjung Pal, juga dekat dengan fasilitas umum seperti sekolah, perpustakaan mini, kantor desa, pelabuhan, rumah ibadah seperti masjid dan gereja dan rumah bidan. Meski jaraknya sekitar 20 kilo meter dari simpang empat Tanjung Buton, tapi untuk sampai ke desa ini sudah bisa melalui jalan darat. Bahkan sebagian jalannya merupakan jalan mulus dan sebagian lain sirtu serta sebagian kecil jalan tanah. Meski terletak paling ujung kedua setelah Desa Teluk Lanus di Kabupaten Siak yang berbatasan dengan Kabupaten Pelalawan, tapi jalur laut tidak lagi menjadi satu-satunya jalur alternatif menuju desa ini seperti beberapa tahun sebelumnya.

Warga di kampung ini sudah tahu kalau desanya berubah nama dari desa menjadi kampung. Pengumuman resmi dari pemerintah Kabupaten Siak ditempel di berbagai lokasi. Seperti di kantor desa, di rumah sekolah, bahkan di kedai lontong yang ramai pengunjung. Seperti yang ditempel di kedai lontong Ci. Kertas pengumuman itu menjelaskan Perda Nomor 1 dan 2 tahun 2015 yang ditandatangani Kepala BPMPD Siak, Abdul Razak.

‘’Hampir 90 persen warga di sini suku asli. Sekarang sudah agak maju dibandingkan dulu. Sekarang ada sekolah, rumah ibadah dan sebagainya. Dulu tak ada. Kami tak ada sekolah. Orang menyebut kami suku terbelakang hanya  karena masalah pendidikan saja. Kami mana ada sekolah. Meski lebih maju, tapi kami tak lupa adat peninggalan leluhur. Hukum adat berjalan. Beberepa waktu lalu, ada yang mencuri dihukum bersih-bersih parit. Ya, seperti itu. Hubungan dengan suku lain juga sangat harmonis," kata Toko, yang juga tokoh masyarakat di sana.

Selain Toko dan Wel, juga ada Kehong selaku Kepala Dusun I. Toko dan Kehong mengenakan baju kemeja. Sedangkan Wel mengenakan baju kaos lengan pendek warna cokelat. Sementara, istrinya yang membawa empat gelas teh susu beralas talam plastik, mengenakan gaun pendek.

Adat yang berjalan saat ini memang tidak kental seperti beberapa tahun sebelumnya. Sejak akses jalan bisa ditempuh dari banyak jalur, pengaruh luar sangat mudah masuk. Ditambah lagi sistem pemerintahan yang kerap kali berubah. Jika awalnya dipimpin seorang bathin, kemudian dipimpin penghulu karena berubah menjadi kampung, setelah itu dipimpin kepala desa karena kampung berubah menjadi desa dan saat ini kembali menjadi kampung yang dimpimpin penghulu, tepatnya sejak 15 Februari 2015. Tepatnya lagi, setelah pemerintah Kabupaten Siak mengesahkan Perda Nomor 1 tahun 2015 tentang perubahan penamaan desa menjadi kampung dan Perda Nomor 2 tahun 2015 tentang penetapan kampung adat. Sejak itu, Desa Penyengat resmi berubah nama menjadi Kampung Adat Asli Anak Rawa Penyengat. Perda ini sendiri lahir dengan berpayung hukum kepada PP Nomor 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Di dalam Bab XIII undang undang inilah diatur dengan jelas tentang desa adat.  

‘’Sudah lama sekali kami ini di Siak. Kakek kami saja bathin ke-12, Bathin Teng namanya, bathin terakhir. Belum lagi penghulu, kepala desa dan berganti lagi ke penghulu. Di kabupaten lain seperti Bengkalis, Kepulauan Meranti dan Pelalawan, jauh lebih banyak. Kami sering berkomunikasi dengan suku asli di tempat-tempat lain. Kami juga berusaha menjaga adat dan tradisi kami. Salah satunya dengan menggelar festival adat budaya suku asli. Kami akan menjaga suku kami agar tetap utuh dan bertahan. Ya, kalau ada perubahan dan lebih maju, memang harus begitu. Tapi suku atau asal usul kita, adat dan budaya, tidak boleh lupa. Anak cucu juga harus menjaganya. Kita yang tua-tua inilah yang harus lebih perduli," kata Wel.

Baca Juga:  Bupati Melayat ke Rumah Korban Hanyut

Adat yang masih berjalan di kampung ini lumayan banyak. Sebelumnya, sudah pasti jauh lebih banyak. Adat tersebut antara lain, adat nikah kawin, adat membela (:dibaca mbele) kampung atau yang dikenal dengan Netau, adat masuk ke tempat baru atau disebut dengan Beri Bahasa dan Tujuh Likur. Dari adat-adat ini, adat yang paling sering digunakan adalah adat nikah kawin. Adat dalam nikah kahwin ini juga banyak. Mulai dari proses menjelang pelaksanaan nikah kahwin seperti merisik, meminang atau lamaran dan hari H yang diramaikan dengan pencak silat dan tari leluhur yakni Tari Gendong.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang adat-adat tersebut, Riau Pos menjumpai Ketua Adat, Kiat, di rumahnya. Rumahnya tidak jauh dari rumah Dum atau Wel. Rumahnya juga terbuat dari kayu. Tidak jauh pula dari kompleks  SD, SMP dan kantor desa. Rumah di kampung ini letaknya berdekatan. Kiat mengatakan, pelaksanaan adat di kampungnya masih sangat kuat. Bukan bagaimana adat itu dilaksanakan, tapi juga hukum adat serta sanksi-sanksi yang diterapkan.

‘’Adat nikah kahwin, adat masuk ke tempat baru, adat beribadah, semuanya ada. Hukum adat juga berjalan. Kalau melanggar hukum adat, berarti ada sanksi adat. Ini masih dijalankan. Misalnya ada yang mencuri. Berarti sudah melanggar hukum adat. Ada sanksi atau hukumannya. Kita suruh yang bersangkutan mengembalikan apa yang dicuri. Ya, diselesaikan secara adat. Sekarang pelaksanaan adat dan hukum adat ini memang sudah mulai memudar. Dengan dijadikannya desa ini sebagai kampung adat, nanti kita akan merumuskan kembali dan memusyawarahkan kembali tentang adat, hukum adat dan sanksi adat di kampung ini. Kita menunggu arahan pemerintah lebih lanjut nantinya," kata Kiat.

Kiat juga menjelaskan tentang adat dan tradisi yang harus dijaga tersebut. Di antaranya adat Mbela Kampung (Netau) yang ditandai dengan doa khusus oleh dukun kampung. Sang dukun akan membawa perlengkapan mendoa atau yang juga disebut sesajen seperti nasi kuning, nasi putih, ketupat bantal, ketupat kerbau, ketupat ayam, ketupat pato, serabai dan beberapa lainnya. Seluruh makanan ini diletakkan di bawah pohon kayu dan di sinilah dukun kampung berdoa. Netau tidak mesti dilakukan setiap tahun. Bisa dua tahun sekali atau tiga tahun sekali. Tergantung kondisi kampung ketika itu. Netau hampir sama dengan Tetau. Hanya jangka waktu saja yang membedakan antara keduanya.

Begitu juga dengan Beri Bahasa. Beri bahasa artinya berkomunikasi dengan penunggu sutau wilayah yang baru dibuka atau yang didatangi ketika itu. Dengan kata lain, meminta izin kepada yang dipercayai berperan sebagai penunggu di sana. Beri Bahasa juga dilengkapi dengan sesajen seperti beras kuning, pinang, daun nipah dan begehtih (padi digoreng dan diambil berasnya saja). Beri Bahasa juga dilakukan di bawah pohon kayu punak.

‘’Beri Bahasa, Netau atau Tetau itu bukan menyembah Tuhan. Kadang ini disalahartikan. Itu hanya ritual adat meminta izin kepada penguasa suatau wilayah. Sama dengan kita bertamu ke kampung, tentu kita minta izin kepada RT atau RW-nya, kepala dusunnya. Ini juga seperti itu. Karena kita yakin suatu wilayah entah di hutan, di sungai atau di laut, ada penunggunya. Ada dukun yang memimpin pelaksanaannya," jelas Kiat.

Dijelaskan Kiat, Tari Gendong yang merupakan ciri khas suku asli merupakan adat tradisi yang harus lebih dikedepankan. Tujuh Likur juga masih berjalan. Tujuh Likur merupakan hari raya suku asli yang dilaksanakan pada malam 27 Ramadan. Warga memasak berbagai menu makanan lezat yang dihidangkan di dalam rumah. Sedikit menu ini kemudian disisihkan dan diletakkan di sudut halaman.

‘’Dulu, setiap nikah kahwin, setiap ada tamu datang, setiap ada acara besar di kampung ini, selalu menggunakan Tari Gendong. Ada beras kuning, telor dan lauk pauk lainnya diletakkan di suatu tempat yang disebut Puan. Menggunakan kemenyan juga. Penari mengitari Puan ini dengan iringan musik khusus asli kami. Sebagian besar adat hampir sama dengan orang Melayu. Kalau tamnu datang ke rumah, langsung kita suguhi sirih pinang. Setelah makan sirih pinang baru menanyakan maksud dan tujuan datang ke rumah. Itu dulu. Sekarang adat bertamu ini tak ada lagi. Nanti bisa kita munculkan lagi sesuai musyawarah bersama. Tak mudah dan menjalankan dan mengaktifkan adat yang pernah berlaku. Apalagi zaman terus berkembang. Tapi ini harus kita gali lagi dan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan kepada kampung adat," kata Kiat lagi.

Dengan telah berubahnya Desa Penyengat sebagai Kampung Adat Suku Asli Anak Rawa Penyengat, segenap tokoh adat, pemuka masyarakat dan pimpinan kampong mulai menginventarisir adat-adat yang sudah tidak dilaksanakan lagi, bahkan adat yang sudah hilang. Berbagai tahapan akan dilakukan termasuk meningkatkan komunikasi dengan Pemerintah Kabupaten, Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Siak dan camat selaku pembina dan pengawas kampung adat. Hal ini sebagaimana tertera dalam pasal 13 ayat 1 Perda Nomor  2 tahun 2015.

Baca Juga:  Ini Pesan Gubri Usai Tinjau Perbatasan Riau-Sumbar Bersama Kapolda

‘’Suku asli sekitar 90 persen. Selebihnya campuran. Ada Suku Jawa, Batak, Nias, Melayu, Bugis, Minang dan Banjar. Agamanya juga bermacam-macam. Ada Islam, Budha dan sebagainya. Tapi adat dan budaya di sini masih jalan. Karena itulah, kita mengusulkan agar kampung kami ini dijadikan kampung adat. Tentu perlu pembinaan, pendampingan dan perhatian. Apalagi kalau kelak akan dijadikan kampung wisata. Saat ini kami mulai mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk menggali kembali adat-adat yang sudah tidak lagi dijalankan. Kita juga menunggu pembinaan dari pemerintah," kata Kepala Desa Abhok Agustunus pula.

Meski kelak akan menjadi kampung adat dengan hukum dan aturan-aturan adatnya, bukan berarti, masyarakat di kampung ini menutup diri dari yang lain, kata Ahok lagi. Banyaknya akses jalan, membuat kampung tersebut semakin maju, semakin disesaki dengan kebudayaan luar. ‘’Kampung biarlah maju, masyarakat biarlan maju, tapi adat jangan dilupakan, tetap kita jalankan. Jadi, kalau ada tamu luar yang datang, merekalah yang ikut adat kita," sambung Abhok.

Delapan Desa Adat

Tidak sedikit tahapan yang dilalui pemerintah Kabupaten Siak untuk mewujudkan desa adat. Ada 42 kali tahapan sejak Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa yang di dalamnya juga mengatur desa adat disahkan 15 Januari 2014. Pemerintah pusat memberi waktu satu tahun kepada seluruh kabupaten dan kota se-Indonesia untuk membentuk desa adat, selambat-lambatnya sudah terbentuk dan disahkan Perda yang mengatur desa adat 15 Januari 2015. Keputusan ini tertera jelas dalam undang undang tersebut, yakni pasal 116 ayat (3) yang berbunyi; penetapan desa dan desa adat sebagaimana dimaksud pada ayat 2 paling lama 1 (satu) tahun sejak undang undang ini diundangkan.

Mengacu kepada ketentuan ini, Pemkab Siak melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) selaku instansi terkait, mulai mengatur starategi. Diawali dengan rapat koordinasi pemerintah daerah, menyurati camat se-Kabupaten Siak, membentuk tim kecil di lingkungan BPMPD yang diketuai Hasmizal SSos, menginventarisir desa yang berpotensi menjadi desa adat, menerima usulan nama-nama desa adat dari camat dan LAMR Siak, menyosialisasikan desa adat dengan aktif kepada masyarakat, membentuk Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda), berkali-kali siding paripurna sampai akhirnya Ranperda disahkan menjadi Perda. Perda tersebut yakni Perda Nomor 1 tahun 2015 tentang perubahan penamaan desa menjadi kampung dan Perda Nomor 2 tahun 2015 tentang penetapan kampung adat.

‘’Proses membentuk kampung adat ini panjang dan harus dikerjakan terus menerus. Pertama, kita harus mengubah desa menjadi kampung dan kampung menjadi kampung adat. Ada delapan kampung adat yang disahkan. Usulan pertamanya dari masyarakat desa melalui perangkat desa lalu ke camat dan kemudian digodok dan diparipurnakan di DPRD. Usulan tidak hanya dari camat bersama masyarakat desa, tapi LAMR Siak juga mengusulkan," beber Kepala BPMPD Kabupaten Siak, Abdul Razak, waktu itu.

Suatu desa disetujui sebagai kampung adat karena memenuhi kriteria yang ditentukan, yakni, memiliki kode desa, masih ada adat yang berlaku atau dijalankan dan ada tokoh artau pemangku adatnya. Delapan desa tersebut yakni, Desa Lubuk Jering menjadi Kampung Adat Lubuk Jering, Kecamatan Sungai Mandau, Kampung Tengah menjadi Kampung Adat Kampung Tengah Kecamatan Mempura, Desa Kuala Gasib menjadi Kampung Adat Kuala Gasib Kecamatan Koto Gasib, Desa Penyengat menjadi Kampung Adat Asli Anak Rawa Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Desa Minas Barat menjadi Kampung Adat Sakai Minas Kecamatan Minas, Desa Mandi Angin menjadi Kampung Adat Sakai Mandi Angin Kecamatan Minas, Desa Belakar menjadi Kampung Adat Sakai Belakar Kecamatan Kandis dan Desa Libo Jaya menjadi Kampung Adat Sakai Libo Jaya Kecamatan Kandis.

Dengan disahkannya Undang Undang Nomor 1 tahun 2015, maka terjadi perubahan sebutan nama pemerintahan dan kelembagaan kampung di Kabupaten Siak, termasuk kampung adat. Perubahan tersebut yakni, desa menjadi kampung, kepala desa menjadi penghulu, sekretaris desa menjadi kerani, kepala urusan menjadi juru tulis, kepala dusun tetap kepala dusun, rukun warga menjadi rukum kampung, rukun tetangga tetap rukun tetangga, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi Badan Permusyawaratan Kampung  (Bapekam) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) menjadi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK).

Berkembang Jadi Desa Wisata

Pemerintah Kabupaten Siak sedang bersemangat menjadikan Siak sebagai kota tujuan wisata nasional bahkan internasional. Berbagai upaya dilakukan. Tidak hanya wisata sejarah, wisata budaya, tapi juga wisata olahraga, bahkan wisata kuliner. Wisata adat dan budaya kembali digalakkan. Kampung adat yang telah resmi disahkan melalui Perda Nomor 1 tahun 2015 tentang perubahan nama desa menjadi kampung dan Perda Nomor 2 tahun 2015 tentang penetapan kampung adat, merupakan kunci utama untuk menjadikan kampung tersebut sebagai destinasi wisata baru di kota yang dijuluki Negeri Istana tersebut.

Dengan dibentuknya kampung adat, maka masyarakat akan bisa menjalankan hak-hak adatnya sesuai kesepakatan bersama, sambung Alfredi.  Dengan demikian, adat yang ada bisa terus djalankan dan dilestarikan. Hukum adat yang ada juga bisa dijalankan. Hal inilah yang nantinya membuat kampung-kampung adat tersebut menjadi lebih istimewa dibandingkan kampung yang lain.

Pemerintah akan berupaya memberikan pembinaan dan pengawasan kepada kampung-kampung adat. Ini juga sesuai amanah Perda Nomor 2 tahun 2015. Pemerintah yang dimaksud bukan hanya bupati atau wakil bupati, tapi juga camat setempat. Ditambah lagi pembinaan dan pengawasan dari Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Siak yang menjadi wadah bagi selluruh lembaga adat di kampung-kampung adat tersebut.***

 

Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari