Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Pemerintah Prioritaskan Anggaran Gender

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau bersama Kelompok Perempuan Riau gelar diskusi Personal Gender, Jumat (28/6) di Coffe Toffee Jalan Kartini.

Pemateri dari Fitra Riau yaitu Aksiza Putri, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Riau, Dra H Tengku Hidayati Effiza, Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Riau, Suratno, dan Anggota DPR Provinsi, Ade Hartati.

Pemateri dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, Aksiza Putri mengatakan, secara nasional kedua kasus Provinsi Riau merupakan daerah tertinggi kedua kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak se-Indonesia.

Katanya, kasus kekerasan tertinggi pada tahun 2017 yaitu 160 kasus. Lebih lanjut daerah paling tinggi adalah kota seperti pada tahun 2018 terdapat 108 kasus perempuan dan anak yang mengalami kekerasan.

“Maka dari itu, pentingnya peningkatan kapasitas pemberdayaan dan pembinaan terhadap kelompok-kelompok perempuan perlu terus ditingkatkan agar kesenjangan dan ketidakadilan gender dapat dikurangi,” jelasnya.

Hal itu pulalah, harus tercermin dalam berbagai kebijakan pemerintah daerah serta alokasi anggaran yang memadai setiap tahunnya. Salah satunya melalui intruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender yang harus terinternalisasi ke dalam kebijakan daerah.

Pembahasan lain pun menyangkut tentang kematian ibu (Aki) dan anak di Provinsi Riau. “Tiga tahun terakhir 2016-2018 menunjukan masih cukup tinggi meskipun terjadi penurunan berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Aki 2016 sebesar 120 kasus, Aki 2017 sebesar 119 kasus dan Aki 2018 sebesar 109 kasus kematian ibu dari per 100.000 kelahiran hidup,” sebutnya.

Baca Juga:  Setelah Tiga Bulan, Akhirnya Lolos ke Sumbar saat New Normal

Lalu, penyandang disabilitas pun menjadi perhatian. Sebab katanya, belum menjadi prioritas untuk diselesaikan Pemerintah Provinsi Riau berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau No.18 Tahun 2018 yang memandatkan alokasi anggaran minimal 1 persen dari total belanja daerah.

Masalah yang berkaitan dengan gender lainnya, katanya lebih spesifik pada masyarakat rentan seperti perempuan, anak dan disabilitas. Dari situ maka pemerintah perlu memprioritaskan anggaran untuk penyelesaian masalah gender tersebut.

“Hak itu sebagaimana sesuai mandat Peraturan Gubernur Riau Nomor 106 tentang Pedoman Pelaksana PUG di daerah. Di antaranya anggaran tersebut terdapat pada OPD sebagai leading sektor penyelesaian masalah gender. Di antaranya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, urusan keluarga berencana,  Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial,” ungkapnya.

Lanjutnya, proporsi belanja berbasis pada personal gender tiga tahun terakhir. Tahun 2017 sebesar 0,53 persen dari total belanja langsung sebesar Rp224,2 T, tahun 2018 sebesar Rp0,35 persen dari total belanja Rp4,5 T dan tahun 2019 sebesar 0,54 persen dari total sebesar Rp4,1T.

Berdasarkan analisa Fitra Riau dan kelompok perempuan terhadap gender, direkomendasikan alternatif kebijakan untuk perbaikan ke depan. Pertama, pemerintah perlu menyusun data pilah gender secara partisipatif bersama masyarakat serta mengukur target dan capaian dalam anggaran berbasis gender berdasarkan kriteria dan indikator permasalahan gender.

Baca Juga:  Menkumham Akan Objektif Menilai Permasalahan di Demokrat

Kedua, pentingnya peraturan daerah yang tegas untuk penyelesaian persoalan gender melalui kebijakan perencanaan, pelaksanaan dan monitoring alokasi anggaran yang memadai. Ketiga, harus adanya strategi kebijakan anggaran afirmasi untuj menyelesaikan persoalan gender khusus terhadap perempuan dan anak serta disabilitas sebagai dukungan anggaran yang memadai.

Sementara Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Riau, Dra H Tengku Hidayati Effiza mengatakan, akan mengupayakan untuk pembangunan halte busway bagi penyandang disabilitas.

Kemudian, terkait kekerasan terhadap anak dan perempuan dengan adanya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Anak dan Perempuan (P2TP2A) yang sekarang sudah di 12 kabupaten/kota di Riau, semoga nantinya bisa membantu pengungkapan kekerasan.

“P2TP2A pun harus melakukan sosialisasi keterampilan dalam melakukan penanganan terhadap korban. Memberikan pendidikan agama kepada keluarganya dan hal lainnya yang bersifat positif,” jelasnya.

Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Riau, Suratno mengatakan, isu sosial tentang memberantas kemiskinan, keterlantaran, disabilitas, keterpencilan komunitas adat.

“Sosial punya lima pelayanan wajib yaitu pelayanan dasar rehabilitasi anak terlantar. Untuk provinsi dibawa ke panti,” ujarnya.

Lebih lanjut, perlindungan untuk korban bencana, gepeng, tuna daksa dan orangtua terlantar.(*3)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau bersama Kelompok Perempuan Riau gelar diskusi Personal Gender, Jumat (28/6) di Coffe Toffee Jalan Kartini.

Pemateri dari Fitra Riau yaitu Aksiza Putri, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Riau, Dra H Tengku Hidayati Effiza, Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Riau, Suratno, dan Anggota DPR Provinsi, Ade Hartati.

- Advertisement -

Pemateri dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, Aksiza Putri mengatakan, secara nasional kedua kasus Provinsi Riau merupakan daerah tertinggi kedua kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak se-Indonesia.

Katanya, kasus kekerasan tertinggi pada tahun 2017 yaitu 160 kasus. Lebih lanjut daerah paling tinggi adalah kota seperti pada tahun 2018 terdapat 108 kasus perempuan dan anak yang mengalami kekerasan.

- Advertisement -

“Maka dari itu, pentingnya peningkatan kapasitas pemberdayaan dan pembinaan terhadap kelompok-kelompok perempuan perlu terus ditingkatkan agar kesenjangan dan ketidakadilan gender dapat dikurangi,” jelasnya.

Hal itu pulalah, harus tercermin dalam berbagai kebijakan pemerintah daerah serta alokasi anggaran yang memadai setiap tahunnya. Salah satunya melalui intruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender yang harus terinternalisasi ke dalam kebijakan daerah.

Pembahasan lain pun menyangkut tentang kematian ibu (Aki) dan anak di Provinsi Riau. “Tiga tahun terakhir 2016-2018 menunjukan masih cukup tinggi meskipun terjadi penurunan berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Aki 2016 sebesar 120 kasus, Aki 2017 sebesar 119 kasus dan Aki 2018 sebesar 109 kasus kematian ibu dari per 100.000 kelahiran hidup,” sebutnya.

Baca Juga:  Mendaki Kilimanjaro

Lalu, penyandang disabilitas pun menjadi perhatian. Sebab katanya, belum menjadi prioritas untuk diselesaikan Pemerintah Provinsi Riau berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau No.18 Tahun 2018 yang memandatkan alokasi anggaran minimal 1 persen dari total belanja daerah.

Masalah yang berkaitan dengan gender lainnya, katanya lebih spesifik pada masyarakat rentan seperti perempuan, anak dan disabilitas. Dari situ maka pemerintah perlu memprioritaskan anggaran untuk penyelesaian masalah gender tersebut.

“Hak itu sebagaimana sesuai mandat Peraturan Gubernur Riau Nomor 106 tentang Pedoman Pelaksana PUG di daerah. Di antaranya anggaran tersebut terdapat pada OPD sebagai leading sektor penyelesaian masalah gender. Di antaranya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, urusan keluarga berencana,  Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial,” ungkapnya.

Lanjutnya, proporsi belanja berbasis pada personal gender tiga tahun terakhir. Tahun 2017 sebesar 0,53 persen dari total belanja langsung sebesar Rp224,2 T, tahun 2018 sebesar Rp0,35 persen dari total belanja Rp4,5 T dan tahun 2019 sebesar 0,54 persen dari total sebesar Rp4,1T.

Berdasarkan analisa Fitra Riau dan kelompok perempuan terhadap gender, direkomendasikan alternatif kebijakan untuk perbaikan ke depan. Pertama, pemerintah perlu menyusun data pilah gender secara partisipatif bersama masyarakat serta mengukur target dan capaian dalam anggaran berbasis gender berdasarkan kriteria dan indikator permasalahan gender.

Baca Juga:  Shabby Chic Versi Elegan Minimalis

Kedua, pentingnya peraturan daerah yang tegas untuk penyelesaian persoalan gender melalui kebijakan perencanaan, pelaksanaan dan monitoring alokasi anggaran yang memadai. Ketiga, harus adanya strategi kebijakan anggaran afirmasi untuj menyelesaikan persoalan gender khusus terhadap perempuan dan anak serta disabilitas sebagai dukungan anggaran yang memadai.

Sementara Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Riau, Dra H Tengku Hidayati Effiza mengatakan, akan mengupayakan untuk pembangunan halte busway bagi penyandang disabilitas.

Kemudian, terkait kekerasan terhadap anak dan perempuan dengan adanya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Anak dan Perempuan (P2TP2A) yang sekarang sudah di 12 kabupaten/kota di Riau, semoga nantinya bisa membantu pengungkapan kekerasan.

“P2TP2A pun harus melakukan sosialisasi keterampilan dalam melakukan penanganan terhadap korban. Memberikan pendidikan agama kepada keluarganya dan hal lainnya yang bersifat positif,” jelasnya.

Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Riau, Suratno mengatakan, isu sosial tentang memberantas kemiskinan, keterlantaran, disabilitas, keterpencilan komunitas adat.

“Sosial punya lima pelayanan wajib yaitu pelayanan dasar rehabilitasi anak terlantar. Untuk provinsi dibawa ke panti,” ujarnya.

Lebih lanjut, perlindungan untuk korban bencana, gepeng, tuna daksa dan orangtua terlantar.(*3)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari