Catatan: UMI ILLIYINA SH MH*
PENGUJUNG musim semi di Belanda, siang hari lebih panjang. Puasa dijalani selama 18-19 jam. Tapi itu masih lumayan dibanding Islandia dan Finlandia yang berpuasa hingga 22-23 jam. Kondisi alam yang berbeda memunculkan banyak pendapat para ulama tentang waktu berpuasa.
Dini hari, tangan saya sibuk memilah dan memperhatikan setiap lembar foto kenangan di album bewarna biru. Foto dari kampung halaman itu menyimpan kenangan-kenangan masa lalu. Ada teman sepermainan waktu kecil. Ada masjid tempat saya belajar mengaji dulu. Ada jalanan yang biasa saya telusuri setelah subuh.
Saya lahir dan besar di Pekanbaru. Kenangan Ramadan di Pekanbaru adalah pemasangan lampu colok/obor pada malam-malam terakhir Ramadan yang tidak ada di tempat lain. Apalagi di Negeri Kincir Angin ini. Penjual takjil di Pasar Ramadan yang tidak akan dapat ditemui di Belanda. Suara tadarus anak-anak dari pengeras masjid.
Kumandang suara adzan pun tak pernah lagi terdengar bersahut-sahutan, teriakan anak-anak memukul perkakas sambil berteriak lantang “sahuuurrr†membangunkan warga yang masih terlelap pulas menjadi kenangan yang paling dirindukan. Lampu colok yang menghias setiap persimpangan jalan tak lagi dapat dilihat. Lamunan jauh melayang ke kampung halaman, namun jarum jam terus berdenting, waktu imsak sebentar lagi.
Leiden semakin cepat terang menjelang musim panas. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi, pesan dari seorang kolega masuk, “Hallo allemaal, morgen hebben we weer les. Komen jullie allemaal? Tot morgen!â€â€œHalo semuanya. Besok kita akan mendapat pelajaran lagi. Apakah kamu semua datang? Sampai jumpa besok! “ Ternyata pesan itu datang dari Ilse, dosen di kelas bahasa Belanda. “Hmmm.. dia pasti tidak tahu saya hanya tidur empat jam selama Ramadan ini,†gumam saya dalam hati.(bersambung)
>>>Selengkapnya baca Harian Riau Pos
Editor: Eko Faizin
Catatan: UMI ILLIYINA SH MH*
PENGUJUNG musim semi di Belanda, siang hari lebih panjang. Puasa dijalani selama 18-19 jam. Tapi itu masih lumayan dibanding Islandia dan Finlandia yang berpuasa hingga 22-23 jam. Kondisi alam yang berbeda memunculkan banyak pendapat para ulama tentang waktu berpuasa.
Dini hari, tangan saya sibuk memilah dan memperhatikan setiap lembar foto kenangan di album bewarna biru. Foto dari kampung halaman itu menyimpan kenangan-kenangan masa lalu. Ada teman sepermainan waktu kecil. Ada masjid tempat saya belajar mengaji dulu. Ada jalanan yang biasa saya telusuri setelah subuh.
- Advertisement -
Saya lahir dan besar di Pekanbaru. Kenangan Ramadan di Pekanbaru adalah pemasangan lampu colok/obor pada malam-malam terakhir Ramadan yang tidak ada di tempat lain. Apalagi di Negeri Kincir Angin ini. Penjual takjil di Pasar Ramadan yang tidak akan dapat ditemui di Belanda. Suara tadarus anak-anak dari pengeras masjid.
Kumandang suara adzan pun tak pernah lagi terdengar bersahut-sahutan, teriakan anak-anak memukul perkakas sambil berteriak lantang “sahuuurrr†membangunkan warga yang masih terlelap pulas menjadi kenangan yang paling dirindukan. Lampu colok yang menghias setiap persimpangan jalan tak lagi dapat dilihat. Lamunan jauh melayang ke kampung halaman, namun jarum jam terus berdenting, waktu imsak sebentar lagi.
- Advertisement -
Leiden semakin cepat terang menjelang musim panas. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi, pesan dari seorang kolega masuk, “Hallo allemaal, morgen hebben we weer les. Komen jullie allemaal? Tot morgen!â€â€œHalo semuanya. Besok kita akan mendapat pelajaran lagi. Apakah kamu semua datang? Sampai jumpa besok! “ Ternyata pesan itu datang dari Ilse, dosen di kelas bahasa Belanda. “Hmmm.. dia pasti tidak tahu saya hanya tidur empat jam selama Ramadan ini,†gumam saya dalam hati.(bersambung)
>>>Selengkapnya baca Harian Riau Pos
Editor: Eko Faizin