JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Covid-19 dinilai inkonstitusional. Kesimpulan tersebut disampaikan para penggugat Perppu 1/2020 di hadapan hakim konstitusi dalam sidang perdana di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, kemarin (28/4).
Poin-poin keberatan pemohon gugatan Perppu 1/2020 itu adalah, aspek kemendesakan tidak terpenuhi, potensi korupsi negara, Perppu memberikan imunitas, publik berpotensi kehilangan informasi keuangan negara.
Kuasa hukum pemohon Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 Ahmad Yani mengatakan, yang paling mendasar, aspek kemendesakan yang menjadi syarat utama penerbitan Perppu tidak terpenuhi. Dia menilai, UU 17 tahun 2003 sudah memberikan alternatif jalan keluar ketika pemerintah memutuskan untuk mengubah kebijakan keuangannya.
Pertama, pemerintah dapat melakukan perubahan UU APBN. Kedua, melaksanakan pergeseran anggaran dengan melakukan pengeluaran untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN. “Tanpa perlu mengeluarkan Perppu,” ujarnya.
Dengan dikeluarkannya Perppu, hak DPR sebagai representasi rakyat dalam memberikan persetujuan anggaran tidak terpenuhi. Di samping itu, ketentuan Pasal 27 ayat (1) Perppu 1/2020 juga membuka peluang korupsi. Sebab, normanya memberikan kekuasaan pada pemerintah untuk melakukan pembiayaan tanpa bisa dipersoalkan sekaligus mengabaikan peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 Boyamin Bin Saiman menambahkan, pasal tersebut juga berpotensi menciptakan imunitas. Sebab membebaskan pemerintah dari tuntutan melalui lembaga peradilan. Padahal sebagaimana layaknya, uang yang berasal dari keuangan negara harus dipertanggung jawabkan secara hukum jika ada dugaan penyelewengan.
“Dengan demikian, pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum,” imbuhnya. Dia menambahkan, frasa “jika” dalam pasal itu dapat saja dijadikan dalih bagi Pemerintah untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum. Sebab frasa “jika” dapat bersifat multitafsir dan pejabat akan berlindung dari frasa “itikad baik” untuk lepas dari tuntutan hukum.
Sementara kuasa hukum pemohon perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020 Arvid Martdwisaktyo menambahkan, penutupan akses maupun pengawasan bagi peradilan negara berpotensi juga menutup akses publik untuk mendapat informasi.
“Sehingga pasal tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan tanggung jawab dalam mencapai kemakmuran rakyat,” ungkapnya. Dengan berbagai dalil tersebut, Perppu 1/2020 dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Di luar dalil tersebut, para pemohon juga mengajukan kepada Mahkamah agar melibatkan BPK dalam persidangan sebagai pihak terkait. Pemohon menilai, kewengan BPK yang terpangkas menjadi persoalan tersendiri.
Menanggapi permohonan tersebut, Ketua Hakim Panel Aswanto menyatakan akan mempertimbangkan. Pasalnya, secara prosedur, pihak terkait hanya bisa diajukan oleh pihak yang bersangkutan dan mahkamah. “Permohonan mereka (BPK) sendiri atau atas permintaan mahkamah. Bukan atas permintaan pemohon,” ujarnya.
Untuk itu, kepastiannya akan bergantung dari Rapat Permusyawaratan Hakim. “Apakah menganggap relevan untuk meminta BPK,” tuturnya. Jika relevan, mahkamah akan mendatangkan.
Imunitas Bentuk Tidak Percaya Proses Hukum
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menegaskan dalam persidangan perdana ini bahwa gugatan tersebut bukan untuk melawan pemerintah. Boyamin menggarisbawahi bagian yang digugat organisasinya yakni soal kekebalan hukum pejabat negara yang mengambil kebijakan keuangan. Dia mempermasalahkan alasan adanya aturan imunitas itu.(far/deb)