Rabu, 18 September 2024

Indeks Persepsi Korupsi Anjlok Lagi

JAKARTA, (RIAUPOS.CO) – Bukan hanya sulit bagi pejuang penanggulangan pandemi Covid-19, tahun 2020 juga berat untuk pemberantasan korupsi. Indeks Persepsi

Korupsi yang disampaikan oleh Transparency International Indonesia (TII) kemarin (28/1) menegaskan hal itu. Berdasar catatan mereka, poin Indonesia turun signifikan bila dibandingkan dengan 2019. Dari angka 40 ke-37. Kerja keras bertahun-tahun untuk mendongkrak poin tersebut anjlok dalam setahun.

Dalam paparan yang disampaikan secara daring, Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko menyampaikan bahwa, indeks persepsi korupsi yang diluncurkan oleh lembaganya bersumber dari pengambilan data sepanjang 2020. Mulai awal tahun sampai Oktober. Turunnya poin indeks persepsi korupsi membawa Indonesia turun ranking ke-102. Selevel dengan Gambia. Padahal dengan 40 poin 2019 lalu, Indonesia sudah berada di ranking-85.  

Tidak hanya itu, merosotnya indeks persepsi korupsi tersebut membawa Indonesia mundur ke 2016. Saat itu poin Indonesia juga berada pada angka 37. Sepanjang periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, baru tahun lalu indeks persepsi korupsi di Tanah Air turun. Bahkan bila ditarik mundur, terakhir kali indeks persepsi korupsi Indonesia turun terjadi pada 2007 lalu. Menurut Wawan, ada beberapa hal yang menyebabkan turunnya angka tersebut.

- Advertisement -

Di antaranya kata Wawan, berkaitan dengan isu ekonomi dan investasi. "Secara umum beberapa indikator penyusun CPI (indeks persepsi korupsi, red) yang berhubungan dengan sektor ekonomi dan investasi serta kemudahan berusaha mengalami stagnasi," jelasnya. Kemudian, terjadi penurunan poin penyusun indeks persepsi korupsi yang terkait dengan isu politik dan demokrasi. "Itu berarti politik (di Indonesia) masih rentan terhadap kejadian korupsi," tambah dia.

Khusus pada sektor penegakan hukum, Wawan menyebut, data TII menyatakan ada kenaikan poin di salah satu indikatornya. Namun demikian tidak ada perubahan pada indikator perbaikan kualitas layanan yang berhubungan dengan korupsi. Di sisi lain, TII juga mencoba menarik data CPI mulai 2012 sampai 2017. Hasilnya cukup mengejutkan. "Korupsi telah menggeser alokasi anggaran layanan publik yang esensial, salah satunya kesehatan," terang dia.

- Advertisement -

Data TII mencatat, dari 180 negara dengan persentase korupsi yang tinggi pelit membagi anggaran untuk sektor kesehatan. "Negara dengan korupsi tinggi cenderung mengeluarkan uang lebih sedikit untuk kesehatan," jelas Wawan. Terkait pandemi Covid-19, TII menghasilkan analisis data yang menyatakan bahwa korupsi berkontribusi terhadap kemunduran demokrasi selama pandemi. "Negara dengan tingkat korupsi tinggi merespons krisis dengan cara kurang demokratis," imbuhnya.

Melihat poin atau skor indek persepsi korupsi Indonesia tahun lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik pemerintah dan lembaga pemberantasan korupsi di Tanah Air. "Data TII menjelaskan bahwa politik hukum pemerintah semakin menjauh dari agenda penguatan pemberantasan korupsi," ungkap dia. Menurut Kurnia, data-data yang dipaparkan TII menunjukkan hal itu. Setidaknya sepuluh tahun belakangan skor indeks persepsi korupsi di Indonesia tidak pernah turun.

Karena itu, ICW berharap pemerintah merespons cepat turunnya skor tersebut. "Semestinya (penurunan skor indeks persepsi korupsi) menjadi koreksi keras bagi kebijakan pemberantasan korupsi," imbuhnya. Dia pun menegaskan kembali, kebijakan yang selama ini diambil pemerintah sudah terbukti melemahkan agenda pemberantasan korupsi. "Skor itu dengan sendirinya membantah seluruh klaim pemerintah yang menarasikan penguatan KPK dan pemberantasan korupsi," kata dia.

Baca Juga:  Guru Honorer dan Guru Agama Dapat Subsidi Gaji

Kurnia juga menyebutkan, salah satu pangkal masalah pemberantasan korupsi adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada 2019. Salah satunya revisi undang-undang (UU) KPK. Selain itu, UU Omnibus Law Cipta Kerja juga dinilai turut berpengaruh.  Sebaliknya, nasib revisi UU tindak pidana korupsi, rancangan UU perampasan aset, dan rancangan UU pembatasan transaksi tunai yang dibutuhkan untuk melawan korupsi mandek. "Menggantung tanpa pembahasan," imbuhnya.  

Lebih lanjut, Kurnia menyebutkan, kegagalan reformasi penegakan hukum dalam memaksimalkan penindakan perkara korupsi dan turunnya performa KPK dalam pemberantasan korupsi dinilai ikut andil terhadap anjloknya skor indeks persepsi korupsi. "Mundurnya kinerja KPK tentu tidak bisa dilepaskan dari keputusan politik pemerintah dan DPR dalam menentukan komisioner KPK saat ini," jelas dia. Karena itu, ICW menilai perlu ada respons cepat.

Mereka mendorong presiden memaksimalkan program strategi nasional pencegahan korupsi, memastikan pencegahan korupsi di seluruh lembaga pemerintah berjalan optimal, mengubah pola pandang bahwa pemberantasan korupsi yang berhasil tidak mengecilkan langkah-langkah penindakan, dan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menjadikan survei TII 2020 sebagai salah satu pertimbangan dalam memutus permohonan uji materi UU KPK.

Trimedya Panjaitan, anggota Komisi III DPR RI mengatakan, untuk mengatasi menurunnya indeks persepsi korupsi, tiga lembaga penegak hukum, KPK, polri dan kejaksaan harus duduk bersama membahas strategi pemberantasan korupsi. "Itu tugas tiga instansi, polri, kejaksaan dan KPK," terangnya.

Ketiga lembaga itulah yang mempunyai kewenangan untuk pemberantasan korupsi. Menurut dia, tidak boleh ada rivalitas negatif dalam penegakan hukum. Mereka harus bersinergi dan bekerjasama dalam menangani kasus rasuah di Indonesia.  Menurut dia, sebenarnya penurunan indeks persepsi korupsi itu suatu yang biasa. Semua negara mengalaminya.

Namun, data yang disampaikan TII bisa menjadi warning bagi tiga instansi penegak hukum yang menjadi lokomotif dalam pemberantasan korupsi. Mereka harus bekerja lebih keras dalam penanganan tindak pidana korupsi. Trimedya mengatakan, pandemi Covid-19 memang menjadi salah satu faktor menurunya indeks persepsi korupsi.

Dengan adanya pandemi, gerak penegak hukum terbatas. Mereka harus betul-betul berhati-hati dalam melakukan tugas. Sebab, saat ini banyak penegak hukum yang terpapar Covid-19. Bahkan, lanjut dia, pegawai KPK akan yang meninggal dunia, karena terserang Covid-19. "Kalau di kepolisian dan kejaksaan, saya tidak tahu sudah berapa orang yang terkena Covid-19," ucap dia.

Jadi, Covid-19 menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum. Apalagi, lanjut dia, anggaran di bidang penindakan juga dipangkas. Hal itu menyebabkan penindakan berjalan tidak efektif. Dia pun berharap, agar pandemi Covid-19 bisa segera berlalu, sehingga kerja penegakan hukum bisa berjalan dengan baik. Gerak penegak hukum tidak lagi terhalang Covid-19.

Trimedya menegaskan, tiga instansi penegak hukum itu harus bekerjasama dan bekerja keras melakukan pemberantasan korupsi. Khususnya polri yang mempunyai Kapolri baru Jenderal Listyo Sigit Prabowo. "Dengan kapolri baru penindakan korupsi harus kenceng," tandasnya.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD membela diri dengan menyatakan bahwa indeks persepsi korupsi hanya sebatas persepsi, bukan fakta. "Oleh sebab itu, bagi pemerintah hasil sigi TII itu ya kami terima sebagai masukan yang baik," imbuhnya. Dia pun mengaku tidak kaget dengan skor indeks persepsi korupsi Indonesia.

Baca Juga:  Margarito: Presiden Jangan Melihat Jumlah Massa Demo Mahasiswa

Menurut dia, persepsi berkaitan dengan skor itu muncul lantaran disebabkan dua hal. Yakni kontroversi perubahan UU KPK yang diopinikan melemahkan KPK dan pengurangan hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung (MA). Selain itu, Mahfud menyebut, data yang diambil oleh TII hanya sampai Oktober tahun lalu. Di mana pada November dan Desember terjadi penindakan terhadap dua pejabat tinggi. Menteri kelautan dan perikanan dan menteri sosial.

Namun demikian, Mahfud menegaskan bawah rekomendasi yang disampaikan TII juga menjadi catatannya sebagai menko polhukam. "Rekomendasi-rekomendasi itu tentu saya bawa," imbuhnya. Pemerintah memastikan tetap dan terus memberikan perhatian lebih terhadap pemberantasan korupsi. Komisioner KPK Nurul Ghufron menambahkan, bahwa data TII menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya urusan KPK.

Ghufron menyebut, pemberantasan korupsi menjadi tanggung jawab bersama. "Mungkin turunnya (indeks persepsi korupsi 2020) adalah karena momen Covid-19 itu mengakibatkan relaksasi-relaksasi," imbuhnya. Kelonggaran yang dimaksudkan untuk mengakselerasi penanggulangan Covid-19, kata dia, malah dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk korupsi. Sehingga upaya-upaya pencegahan yang telah dilakukan KPK harus diteruskan dengan penindakan.

KPK juga menilai bahwa episentrum korupsi di Indonesia adalah masih lemahnya sistem politik, khususnya partai politik. Mereka menyatakan, sudah memberikan rekomendasi untuk perbaikan sistem politik, termasuk di antaranya pembenahan partai politik. Pun demikian dalam upaya pencegahan korupsi di masa pandemi. KPK mendorong penguatan peran dan fungsi lembaga-lembaga pengawas. Salah satunya, pemberdayaan Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP).

Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati menyatakan, pihaknya sudah melakukan banyak upaya untuk menyelamatkan Indonesia dari praktik-praktik korupsi. Di antaranya memandu proses pengadaan barang dan jasa, mendorong praktik good governance, dan membantu penerapan tata Kelola pemerintahan yang baik. Paparan TII, lanjut dia, merupakan gambaran bahwa masih banyak hal yang perlu dibenahi terkait pemberantasan korupsi.  

Ipi menyebut, pihaknya tegas meyakini, pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti pada tataran jargon atau slogan semata. Demikian pula sistem reformasi birokrasi, jangan berhenti sebatas slogan atau tataran administrative. "Tanpa aksi kolaboratif antara negara dan masyarakat, serta seluruh elemen bangsa, maka korupsi di Indonesia sulit diatasi," jelasnya.

Dari Istana, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyatakan bahwa presiden menentang aksi korupsi. "Selalu menekankan kepada kementerian dan lembaga serta seluruh kebijakan pemerintah untuk melakukan pencegahan korupsi," ujarnya kemarin saat dihubungi Jawa Pos. Menurutnya, sikap Jokowi cukup tegas terkait korupsi.

Selain melakukan pencegahan korupsi, menurutnya kepala negara juga meminta seluruh penyelenggara negara dan jajarannya untuk mendukung lembaga penegakan hukum. Terutama terkait dengan penindakan pelaku korupsi. "Tentu tanpa pandang bulu," ucapnya.

Ketika ditanya terkait dengan beberapa menteri yang terlibat kasus korupsi, Fadjroel menjelaskan bahwa Jokowi menghormati aturan yang berlaku. Dia menyatakan bahwa tak ada intervensi bagi lembaga hukum seperti KPK untuk menangani korupsi di tanah air.(lum/lyn/syn/tyo)

 

JAKARTA, (RIAUPOS.CO) – Bukan hanya sulit bagi pejuang penanggulangan pandemi Covid-19, tahun 2020 juga berat untuk pemberantasan korupsi. Indeks Persepsi

Korupsi yang disampaikan oleh Transparency International Indonesia (TII) kemarin (28/1) menegaskan hal itu. Berdasar catatan mereka, poin Indonesia turun signifikan bila dibandingkan dengan 2019. Dari angka 40 ke-37. Kerja keras bertahun-tahun untuk mendongkrak poin tersebut anjlok dalam setahun.

Dalam paparan yang disampaikan secara daring, Manajer Departemen Riset TII Wawan Suyatmiko menyampaikan bahwa, indeks persepsi korupsi yang diluncurkan oleh lembaganya bersumber dari pengambilan data sepanjang 2020. Mulai awal tahun sampai Oktober. Turunnya poin indeks persepsi korupsi membawa Indonesia turun ranking ke-102. Selevel dengan Gambia. Padahal dengan 40 poin 2019 lalu, Indonesia sudah berada di ranking-85.  

Tidak hanya itu, merosotnya indeks persepsi korupsi tersebut membawa Indonesia mundur ke 2016. Saat itu poin Indonesia juga berada pada angka 37. Sepanjang periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, baru tahun lalu indeks persepsi korupsi di Tanah Air turun. Bahkan bila ditarik mundur, terakhir kali indeks persepsi korupsi Indonesia turun terjadi pada 2007 lalu. Menurut Wawan, ada beberapa hal yang menyebabkan turunnya angka tersebut.

Di antaranya kata Wawan, berkaitan dengan isu ekonomi dan investasi. "Secara umum beberapa indikator penyusun CPI (indeks persepsi korupsi, red) yang berhubungan dengan sektor ekonomi dan investasi serta kemudahan berusaha mengalami stagnasi," jelasnya. Kemudian, terjadi penurunan poin penyusun indeks persepsi korupsi yang terkait dengan isu politik dan demokrasi. "Itu berarti politik (di Indonesia) masih rentan terhadap kejadian korupsi," tambah dia.

Khusus pada sektor penegakan hukum, Wawan menyebut, data TII menyatakan ada kenaikan poin di salah satu indikatornya. Namun demikian tidak ada perubahan pada indikator perbaikan kualitas layanan yang berhubungan dengan korupsi. Di sisi lain, TII juga mencoba menarik data CPI mulai 2012 sampai 2017. Hasilnya cukup mengejutkan. "Korupsi telah menggeser alokasi anggaran layanan publik yang esensial, salah satunya kesehatan," terang dia.

Data TII mencatat, dari 180 negara dengan persentase korupsi yang tinggi pelit membagi anggaran untuk sektor kesehatan. "Negara dengan korupsi tinggi cenderung mengeluarkan uang lebih sedikit untuk kesehatan," jelas Wawan. Terkait pandemi Covid-19, TII menghasilkan analisis data yang menyatakan bahwa korupsi berkontribusi terhadap kemunduran demokrasi selama pandemi. "Negara dengan tingkat korupsi tinggi merespons krisis dengan cara kurang demokratis," imbuhnya.

Melihat poin atau skor indek persepsi korupsi Indonesia tahun lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik pemerintah dan lembaga pemberantasan korupsi di Tanah Air. "Data TII menjelaskan bahwa politik hukum pemerintah semakin menjauh dari agenda penguatan pemberantasan korupsi," ungkap dia. Menurut Kurnia, data-data yang dipaparkan TII menunjukkan hal itu. Setidaknya sepuluh tahun belakangan skor indeks persepsi korupsi di Indonesia tidak pernah turun.

Karena itu, ICW berharap pemerintah merespons cepat turunnya skor tersebut. "Semestinya (penurunan skor indeks persepsi korupsi) menjadi koreksi keras bagi kebijakan pemberantasan korupsi," imbuhnya. Dia pun menegaskan kembali, kebijakan yang selama ini diambil pemerintah sudah terbukti melemahkan agenda pemberantasan korupsi. "Skor itu dengan sendirinya membantah seluruh klaim pemerintah yang menarasikan penguatan KPK dan pemberantasan korupsi," kata dia.

Baca Juga:  Nikita Mirzani Tak Mau Menikah Lagi

Kurnia juga menyebutkan, salah satu pangkal masalah pemberantasan korupsi adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada 2019. Salah satunya revisi undang-undang (UU) KPK. Selain itu, UU Omnibus Law Cipta Kerja juga dinilai turut berpengaruh.  Sebaliknya, nasib revisi UU tindak pidana korupsi, rancangan UU perampasan aset, dan rancangan UU pembatasan transaksi tunai yang dibutuhkan untuk melawan korupsi mandek. "Menggantung tanpa pembahasan," imbuhnya.  

Lebih lanjut, Kurnia menyebutkan, kegagalan reformasi penegakan hukum dalam memaksimalkan penindakan perkara korupsi dan turunnya performa KPK dalam pemberantasan korupsi dinilai ikut andil terhadap anjloknya skor indeks persepsi korupsi. "Mundurnya kinerja KPK tentu tidak bisa dilepaskan dari keputusan politik pemerintah dan DPR dalam menentukan komisioner KPK saat ini," jelas dia. Karena itu, ICW menilai perlu ada respons cepat.

Mereka mendorong presiden memaksimalkan program strategi nasional pencegahan korupsi, memastikan pencegahan korupsi di seluruh lembaga pemerintah berjalan optimal, mengubah pola pandang bahwa pemberantasan korupsi yang berhasil tidak mengecilkan langkah-langkah penindakan, dan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menjadikan survei TII 2020 sebagai salah satu pertimbangan dalam memutus permohonan uji materi UU KPK.

Trimedya Panjaitan, anggota Komisi III DPR RI mengatakan, untuk mengatasi menurunnya indeks persepsi korupsi, tiga lembaga penegak hukum, KPK, polri dan kejaksaan harus duduk bersama membahas strategi pemberantasan korupsi. "Itu tugas tiga instansi, polri, kejaksaan dan KPK," terangnya.

Ketiga lembaga itulah yang mempunyai kewenangan untuk pemberantasan korupsi. Menurut dia, tidak boleh ada rivalitas negatif dalam penegakan hukum. Mereka harus bersinergi dan bekerjasama dalam menangani kasus rasuah di Indonesia.  Menurut dia, sebenarnya penurunan indeks persepsi korupsi itu suatu yang biasa. Semua negara mengalaminya.

Namun, data yang disampaikan TII bisa menjadi warning bagi tiga instansi penegak hukum yang menjadi lokomotif dalam pemberantasan korupsi. Mereka harus bekerja lebih keras dalam penanganan tindak pidana korupsi. Trimedya mengatakan, pandemi Covid-19 memang menjadi salah satu faktor menurunya indeks persepsi korupsi.

Dengan adanya pandemi, gerak penegak hukum terbatas. Mereka harus betul-betul berhati-hati dalam melakukan tugas. Sebab, saat ini banyak penegak hukum yang terpapar Covid-19. Bahkan, lanjut dia, pegawai KPK akan yang meninggal dunia, karena terserang Covid-19. "Kalau di kepolisian dan kejaksaan, saya tidak tahu sudah berapa orang yang terkena Covid-19," ucap dia.

Jadi, Covid-19 menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum. Apalagi, lanjut dia, anggaran di bidang penindakan juga dipangkas. Hal itu menyebabkan penindakan berjalan tidak efektif. Dia pun berharap, agar pandemi Covid-19 bisa segera berlalu, sehingga kerja penegakan hukum bisa berjalan dengan baik. Gerak penegak hukum tidak lagi terhalang Covid-19.

Trimedya menegaskan, tiga instansi penegak hukum itu harus bekerjasama dan bekerja keras melakukan pemberantasan korupsi. Khususnya polri yang mempunyai Kapolri baru Jenderal Listyo Sigit Prabowo. "Dengan kapolri baru penindakan korupsi harus kenceng," tandasnya.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD membela diri dengan menyatakan bahwa indeks persepsi korupsi hanya sebatas persepsi, bukan fakta. "Oleh sebab itu, bagi pemerintah hasil sigi TII itu ya kami terima sebagai masukan yang baik," imbuhnya. Dia pun mengaku tidak kaget dengan skor indeks persepsi korupsi Indonesia.

Baca Juga:  Wapres Ma’ruf: Radikalisme Adalah Kerikil yang Harus Dibersihkan

Menurut dia, persepsi berkaitan dengan skor itu muncul lantaran disebabkan dua hal. Yakni kontroversi perubahan UU KPK yang diopinikan melemahkan KPK dan pengurangan hukuman koruptor oleh Mahkamah Agung (MA). Selain itu, Mahfud menyebut, data yang diambil oleh TII hanya sampai Oktober tahun lalu. Di mana pada November dan Desember terjadi penindakan terhadap dua pejabat tinggi. Menteri kelautan dan perikanan dan menteri sosial.

Namun demikian, Mahfud menegaskan bawah rekomendasi yang disampaikan TII juga menjadi catatannya sebagai menko polhukam. "Rekomendasi-rekomendasi itu tentu saya bawa," imbuhnya. Pemerintah memastikan tetap dan terus memberikan perhatian lebih terhadap pemberantasan korupsi. Komisioner KPK Nurul Ghufron menambahkan, bahwa data TII menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya urusan KPK.

Ghufron menyebut, pemberantasan korupsi menjadi tanggung jawab bersama. "Mungkin turunnya (indeks persepsi korupsi 2020) adalah karena momen Covid-19 itu mengakibatkan relaksasi-relaksasi," imbuhnya. Kelonggaran yang dimaksudkan untuk mengakselerasi penanggulangan Covid-19, kata dia, malah dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk korupsi. Sehingga upaya-upaya pencegahan yang telah dilakukan KPK harus diteruskan dengan penindakan.

KPK juga menilai bahwa episentrum korupsi di Indonesia adalah masih lemahnya sistem politik, khususnya partai politik. Mereka menyatakan, sudah memberikan rekomendasi untuk perbaikan sistem politik, termasuk di antaranya pembenahan partai politik. Pun demikian dalam upaya pencegahan korupsi di masa pandemi. KPK mendorong penguatan peran dan fungsi lembaga-lembaga pengawas. Salah satunya, pemberdayaan Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP).

Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati menyatakan, pihaknya sudah melakukan banyak upaya untuk menyelamatkan Indonesia dari praktik-praktik korupsi. Di antaranya memandu proses pengadaan barang dan jasa, mendorong praktik good governance, dan membantu penerapan tata Kelola pemerintahan yang baik. Paparan TII, lanjut dia, merupakan gambaran bahwa masih banyak hal yang perlu dibenahi terkait pemberantasan korupsi.  

Ipi menyebut, pihaknya tegas meyakini, pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti pada tataran jargon atau slogan semata. Demikian pula sistem reformasi birokrasi, jangan berhenti sebatas slogan atau tataran administrative. "Tanpa aksi kolaboratif antara negara dan masyarakat, serta seluruh elemen bangsa, maka korupsi di Indonesia sulit diatasi," jelasnya.

Dari Istana, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyatakan bahwa presiden menentang aksi korupsi. "Selalu menekankan kepada kementerian dan lembaga serta seluruh kebijakan pemerintah untuk melakukan pencegahan korupsi," ujarnya kemarin saat dihubungi Jawa Pos. Menurutnya, sikap Jokowi cukup tegas terkait korupsi.

Selain melakukan pencegahan korupsi, menurutnya kepala negara juga meminta seluruh penyelenggara negara dan jajarannya untuk mendukung lembaga penegakan hukum. Terutama terkait dengan penindakan pelaku korupsi. "Tentu tanpa pandang bulu," ucapnya.

Ketika ditanya terkait dengan beberapa menteri yang terlibat kasus korupsi, Fadjroel menjelaskan bahwa Jokowi menghormati aturan yang berlaku. Dia menyatakan bahwa tak ada intervensi bagi lembaga hukum seperti KPK untuk menangani korupsi di tanah air.(lum/lyn/syn/tyo)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari