BOGOR (RIAUPOS.CO) — Status Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Firli Bahuri sebagai anggota Polri masih menjadi polemik. Desakan supaya yang bersangkutan mundur terus bergulir. Di sisi lain, pemerintah belum menyampaikan sikap tegas.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menyampaikan, semua pihak harus kembali merujuk aturan. Menurut Mahfud, UU sudah mengatur soal apa-apa yang wajib dipenuhi pimpinan KPK. Termasuk Firli yang sebelumnya berdinas di Polri.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, pimpinan lembaga antirasuah hanya diwajibkan melepaskan jabatan struktural saja. Saat ini, Firli menduduki jabatan fungsional sebagai Analis Kebijakan Utama Baharkam Polri.
Mahfud juga menyebut, Firli sudah mundur dari jabatan strukturalnya. "Kan sudah mundur dari Kapolda Sumatera Selatan," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (27/12).
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu pun menegaskan, UU KPK tidak mewajibkan Firli menanggalkan status sebagai anggota Polri berikut jabatan fungsional yang dia pegang. Menurut dia, itu merupakan hal biasa dan berlaku juga di instansi lain. Contohnya, sambung Mahfud, statusnya sebagai dosen yang juga mejabat Menko Polhukam. "Sudah selesai (jadi menteri) balik lagi. Sama saja," kata dia.
Karena tidak ada kewajiban, dia menyebutkan keputusan mundur atau tidaknya dari Polri dikembalikan kepada Firli. Jika mau, lanjutnya, jenderal bintang tiga itu bisa mengikuti langkah mantan komisioner KPK Basaria Panjaitan lima tahun lalu yang mundur sebagai anggota Polri.
"Kita proporsional saja, itu hak dia (Firli) lho untuk tetap menjadi anggota Polri," ujar Mahfud. Soal kekhawatiran publik bakal ada intervensi kapolri kepada Firli, Mahfud membantahnya. Dia menilai, dengan menjabat sebagai pimpinan KPK, Firli setara dengan Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis. Sehingga dia menyebutkan tidak mungkin Idham dan Firli saling mempengaruhi satu sama lain.
Dalam pasal 29 UU KPK, salah satu syarat untuk menjadi pimpinan KPK hanya menyebutkan bahwa pimpinan KPK melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi KPK. Menurut pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, itu tidak secara tegas mewajibkan Firli mundur dari Polri. "Kalau disebut melanggar juga tidak," kata dia.
Selain UU KPK, aturan internal Polri juga tidak mewajibkan Firli mundur dari kepolisian. Bahkan, dia menyebut, belum ada surat keputuan atau surat lain dari kapolri terkait tugas Firli di KPK. "Aturan yang spesifik untuk penugasan sebagai pimpinan lembaga negara juga nggak ada. Jadi, apanya yang dilanggar kalau aturannya tak ada," bebernya. Yang perlu dilakukan sekarang, lanjut dia, kesediaan Firli mundur.
Bambang menyampaikan itu lantaran dia menilai bahwa tidak etis apabila Firli sebagai ketua KPK enggan menanggalkan seragam Polri. ”Mengundurkan diri untuk pensiun dini akan lebih baik daripada membuat polemik yang tidak berarti,” imbuhnya. Sebab, polemik yang selama ini muncul berpotensi mengganggu kinerja Firli. Itu dia sebut berisiko memengaruhi kerja-kerja KPK secara keseluruhan.
Masalah lain yang juga bisa muncul, lanjut Bambang, konflik kepentingan antara Firli dengan Polri. "Pak Firly sebagai ketua KPK dan sebagai anak buah kapolri," kata dia. Itu bertentangan dengan amanat dalam UU KPK yang di antaranya menyebutkan bahwa lembaga antirasuah bertugas melakukan supervisi kepada penegak hukum lain. Termasuk di antaranya Polri. "Di sisi lain bagaimana anak buah melakukan supervisi ke bosnya," imbuhnya.
Perpres KPK
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, ada tiga perpres yang disiapkan pemerintah sebagai aturan turunan undang-undang KPK. Yakni Perpres tentang Dewan Pengawas KPK, Perpres tentang Organisasi KPK, dan Perpres terkait status Pegawai KPK.
Pram memastikan, isi perpres tersebut sejalan dengan isi UU KPK. "Apapun yang dilakukan tidak mungkin bertentangan dengan UU itu," ujarnya di Istana Kepresidenan Bogor, kemarin (27/12).
Meski demikian, dalam draf salinan Perpres KPK yang beredar, Pasal 2 Ayat 1 poin e menyebut bahwa pimpinan KPK merupakan penyelidik, penyidik sekaligus penuntut umum. Aturan itu berbeda dengan UU KPK yang baru. Di mana tidak disebutkan pimpinan KPK sebagai penyidik maupun penuntut umum.
Saat dikonfirmasi, politisi PDIP itu menjawab diplomatis. "Saya yang itu belum baca. Tapi yang jelas kita tidak mungkin bertentangan dengan UU yang sudah disahkan," imbuhnya.
Pram juga menambahkan, pemerintah tidak ada itikad untuk memperlemah KPK melalui Perpres KPK. Sebab jika KPK lemah, pemerintah juga yang dirugikan. Mengingat sistem pengawasan tidak berjalan maksimal. "Presiden Jokowi ini betul-betul menginginkan, mengharapkan bisa bekerja dengan baik," tuturnya.
Lantas, kapan perpres tersebut disahkan? Pram menuturkan drafnya sudah selesai digarap di level kementerian. "Sudah diajukan ke presiden melalui kita, Mensesneg Menseskab, lagi finalisasi," ungkapnya.
Dalam perpres yang beredar, ada sejumlah norma lain yang diatur. Misalnya pasal 3 ayat 1 dan 2 yang mendefinisikan seluruh pegawai KPK sebagai organ pelaksana pimpinan KPK. Kemudian ada juga pasal yang menyebut adanya organisasi baru Deputi Bidang Koordinasi dan Pengaduan Masyarakat serta Inspektorat Jenderal.(far/syn/jpg)