Kamis, 19 September 2024

Analisis Karhutla Harus Objektif dan Akurat

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Melihat masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus akurat dan objektif. Mulai dari memahami definisi hotspots dan firespots, hingga kepada angka-angka peluang secara statistik dari hotspots menjadi firespots.

Selain itu, menerjemahkan data harus dengan referensi lapangan yang tepat, bukan asal asumsi, apalagi hanya dengan prakiraan gambar-gambar ilustrasi. Sudah saatnya semua pihak bekerja secara riil bukan hanya atas dasar asumsi dan ilustrasi. Karena bila tidak objektif dan tidak akurat hanya akan merusak dan melemahkan psikologi politik rakyat.

Hal itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Ahad (28/6/2020), menanggapi soal karhutla yang oleh sebagian masyarakat belum dipahami dan dipersepsikan secara tepat dan benar.

“Dengan kata lain menjadi tidak adil bagi rakyat, termasuk juga bagi swasta, dan banyak pihak lainnya yang dalam tiga  tahun terakhir sudah mau bekerja baik dan mau comply (menurut, red). Analisis karhutla yang digunakan harus betul-betul adil, jangan framing,” ujar Siti Nurbaya.

- Advertisement -

Sebelumnya, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Afni Zulkifli, dalam FW Talk Kebakaran Hutan dan Lahan bersama Lembaga Lingkungan Hidup dan Agromaritim (LHA) Forum Wacana IPB, Sabtu (28/6/2020) mengatakan, persoalan karhutla masih menjadi ancaman di Indonesia.

Tantangannya semakin besar karena terjadi banyak kesalahan persepsi memahami karhutla itu sendiri. Sehingga dalam berbagai diskusi dan evaluasi di ruang publik, sering tidak merumuskan rekomendasi yang tepat bagi para pihak.

- Advertisement -
Baca Juga:  Kaki Pecah, Jangan Minder Dulu, Ini Solusinya

''Ancaman karhutla akan semakin besar bila kesalahan persepsi di ruang publik ini terus dibiarkan. Kesalahan persepsi bisa mendelegitimasi kerja-kerja yang sudah baik dengan pengaburan informasi tanpa edukasi di tengah masyarakat. Ini juga akan sangat mempengaruhi tindakan evaluasi, atau bahkan pengambilan kebijakan oleh para pemangku kepentingan'' kata Afni.

Menurutnya, kesalahan persepsi, contohnya saat memahami definisi pengendalian karhutla. Banyak pihak memahami pengendalian hanya sebatas pemadaman dan penegakan hukum saja. Padahal pengendalian karhutla menurut Peraturan Menteri LHK 32/2016 merupakan konsep kerja dalam kesatuan utuh yang memuat enam elemen, yaitu perencanaan, pencegahan, penanggulangan, pascakebakaran, koordinasi kerja, dan kesiagaan.

''Persepsi yang salah ini tidak boleh diteruskan. Semua sektor, baik pemerintah, swasta, LSM atau bahkan masyarakat, harus menyamakan persepsi tentang apa itu pengendalian, sehingga gerak langkahnya akan sama. Harapannya pengendalian karhutla cukup berhenti di perencanaan atau tahapan pencegahan saja, tidak perlu sampai harus ada pemadaman. Pemerintah dalam hal ini KLHK berprinsip, mencegah lebih baik daripada memadamkan,'' ungkap Afni.

Kesalahan Persepsi

Kesalahan persepsi yang berimbas pada membesarnya karhutla di tahap perencanaan, dicontohkan saat kejadian kebakaran di awal tahun 2019 di Rupat, Riau. Ketika itu titik api yang masih kecil tidak bisa langsung diintervensi satgas kabupaten karena pemda setempat beralasan anggaran belum ketok palu. Pemda juga beralasan tidak memiliki anggaran yang cukup untuk pencegahan.

Baca Juga:  Polsek Tambang Amankan Pemilik 51 Paket Sabu

''Api dan asap tidak bisa menunggu anggaran ketok palu. Bahkan ada juga temuan pemerintah kabupaten atau kota hanya pasrah menunggu satgas provinsi atau satgas nasional turun. Jika gagal direncanakan dan dicegah dengan baik mulai dari tingkat tapak, api hampir pasti akan membesar dan makin sulit dipadamkan,'' kata Afni.

Kesalahan persepsi berikutnya adalah pemahaman mengenai hotspot atau titik api. Banyak yang menggunakan dan menyampaikan data tanpa edukasi yang benar ke publik, terutama soal tingkat kepercayaan (confident level) hotspot. Semua titik panas yang ditangkap satelit, dari tingkat confidence (kepercayaan) 0-80% malah dilaporkan sebagai hotspot. Padahal tidak semua hotspot adalah firespot (lokasi yang sudah terverifikasi kebakaran).

Mengambil contoh dari data yang disajikan Walhi pada kegiatan yang sama, menyebutkan bahwa periode 1 Januari-20 Juni 2020, terdapat 44.093 titik panas di Indonesia. Ternyata dengan confident level 80 %, hotspot pada periode yang sama terpantau hanya ada 870 titik. Monitoring hotspot ini bahkan sudah dapat diakses terbuka dalam bentuk aplikasi Android di Web Sipongi KLHK, LAPAN, BMKG, dan BNPB.

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Melihat masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus akurat dan objektif. Mulai dari memahami definisi hotspots dan firespots, hingga kepada angka-angka peluang secara statistik dari hotspots menjadi firespots.

Selain itu, menerjemahkan data harus dengan referensi lapangan yang tepat, bukan asal asumsi, apalagi hanya dengan prakiraan gambar-gambar ilustrasi. Sudah saatnya semua pihak bekerja secara riil bukan hanya atas dasar asumsi dan ilustrasi. Karena bila tidak objektif dan tidak akurat hanya akan merusak dan melemahkan psikologi politik rakyat.

Hal itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Ahad (28/6/2020), menanggapi soal karhutla yang oleh sebagian masyarakat belum dipahami dan dipersepsikan secara tepat dan benar.

“Dengan kata lain menjadi tidak adil bagi rakyat, termasuk juga bagi swasta, dan banyak pihak lainnya yang dalam tiga  tahun terakhir sudah mau bekerja baik dan mau comply (menurut, red). Analisis karhutla yang digunakan harus betul-betul adil, jangan framing,” ujar Siti Nurbaya.

Sebelumnya, Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Afni Zulkifli, dalam FW Talk Kebakaran Hutan dan Lahan bersama Lembaga Lingkungan Hidup dan Agromaritim (LHA) Forum Wacana IPB, Sabtu (28/6/2020) mengatakan, persoalan karhutla masih menjadi ancaman di Indonesia.

Tantangannya semakin besar karena terjadi banyak kesalahan persepsi memahami karhutla itu sendiri. Sehingga dalam berbagai diskusi dan evaluasi di ruang publik, sering tidak merumuskan rekomendasi yang tepat bagi para pihak.

Baca Juga:  Ikuti Trik ’20:20’ Agar Mata Anak Tetap Sehat saat Belajar via Gadget

''Ancaman karhutla akan semakin besar bila kesalahan persepsi di ruang publik ini terus dibiarkan. Kesalahan persepsi bisa mendelegitimasi kerja-kerja yang sudah baik dengan pengaburan informasi tanpa edukasi di tengah masyarakat. Ini juga akan sangat mempengaruhi tindakan evaluasi, atau bahkan pengambilan kebijakan oleh para pemangku kepentingan'' kata Afni.

Menurutnya, kesalahan persepsi, contohnya saat memahami definisi pengendalian karhutla. Banyak pihak memahami pengendalian hanya sebatas pemadaman dan penegakan hukum saja. Padahal pengendalian karhutla menurut Peraturan Menteri LHK 32/2016 merupakan konsep kerja dalam kesatuan utuh yang memuat enam elemen, yaitu perencanaan, pencegahan, penanggulangan, pascakebakaran, koordinasi kerja, dan kesiagaan.

''Persepsi yang salah ini tidak boleh diteruskan. Semua sektor, baik pemerintah, swasta, LSM atau bahkan masyarakat, harus menyamakan persepsi tentang apa itu pengendalian, sehingga gerak langkahnya akan sama. Harapannya pengendalian karhutla cukup berhenti di perencanaan atau tahapan pencegahan saja, tidak perlu sampai harus ada pemadaman. Pemerintah dalam hal ini KLHK berprinsip, mencegah lebih baik daripada memadamkan,'' ungkap Afni.

Kesalahan Persepsi

Kesalahan persepsi yang berimbas pada membesarnya karhutla di tahap perencanaan, dicontohkan saat kejadian kebakaran di awal tahun 2019 di Rupat, Riau. Ketika itu titik api yang masih kecil tidak bisa langsung diintervensi satgas kabupaten karena pemda setempat beralasan anggaran belum ketok palu. Pemda juga beralasan tidak memiliki anggaran yang cukup untuk pencegahan.

Baca Juga:  Polsek Tambang Amankan Pemilik 51 Paket Sabu

''Api dan asap tidak bisa menunggu anggaran ketok palu. Bahkan ada juga temuan pemerintah kabupaten atau kota hanya pasrah menunggu satgas provinsi atau satgas nasional turun. Jika gagal direncanakan dan dicegah dengan baik mulai dari tingkat tapak, api hampir pasti akan membesar dan makin sulit dipadamkan,'' kata Afni.

Kesalahan persepsi berikutnya adalah pemahaman mengenai hotspot atau titik api. Banyak yang menggunakan dan menyampaikan data tanpa edukasi yang benar ke publik, terutama soal tingkat kepercayaan (confident level) hotspot. Semua titik panas yang ditangkap satelit, dari tingkat confidence (kepercayaan) 0-80% malah dilaporkan sebagai hotspot. Padahal tidak semua hotspot adalah firespot (lokasi yang sudah terverifikasi kebakaran).

Mengambil contoh dari data yang disajikan Walhi pada kegiatan yang sama, menyebutkan bahwa periode 1 Januari-20 Juni 2020, terdapat 44.093 titik panas di Indonesia. Ternyata dengan confident level 80 %, hotspot pada periode yang sama terpantau hanya ada 870 titik. Monitoring hotspot ini bahkan sudah dapat diakses terbuka dalam bentuk aplikasi Android di Web Sipongi KLHK, LAPAN, BMKG, dan BNPB.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari