DPRD Riau Kawal Realisasi DBH Kelapa Sawit

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Menteri Keuangan (Mekeu) Sri Mulyani berkesempatan mensosialisasikan Undang-Undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) di Provinsi Riau. UU tersebut merupakan pengganti UU No.33/2004.

Sosialisasi itu juga diikuti oleh sejumlah perangkat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Termasuk juga DPRD Riau yang diwakili oleh Wakil Ketua DPRD Hardianto. Kepada Riau Pos, Ahad (27/3), Hardianto bercerita dalam sosialisasi UU HKPD yang dipaparkan Menkeu Sri Mulyani, terdapat sebuah harapan bagi Riau. Terutama pada dana bagi hasil (DBH) pajak kelapa sawit yang selama ini menjadi tuntutan bagi daerah penghasil sawit.

- Advertisement -

Karena dalam UU HKPD sendiri, pada Pasal 123, terdapat aturan mengenai bagi hasil ke daerah dengan kategori lainnya.

"Ini merupakan ruang bagi kita untuk bisa mendapat DBH pajak kelapa sawit yang selama ini kita tidak dapat apa-apa," ungkap Hardianto.

- Advertisement -

Diceritakan Hardianto, dalam UU HKPD sendiri terdapat plus minus bagi keuangan pemerintah di daerah. Sebagai contoh, dalam Pasal 83 UU HKPD, terdapat opsi yang mengatur tentang bagi hasil pajak kendaraan bermotor dan pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Di mana bila selama ini dua objek pajak yang dipungut Pemprov Riau melalui Bapenda tersebut hasilnya masuk 100 persen ke dalam APBD provinsi. Setelah adanya UU HKPD ini maka akan dibagi ke daerah kabupaten/kota asal. Dengan jumlah persentase 70 persen ke provinsi dan 30 persen ke kabupaten/kota tempat kendaraan terdaftar.

"Nah, ini kan bakal menjadi turbulensi bagi keuangan daerah. Di mana PKB dan BBNKB selama ini menjadi salah satu tumpuan pemprov, sekarang dibagi," ucapnya.

Dia khawatir, turbulensi beberapa item pendapatan yang diatur kedalam UU HKPD, dapat mengganggu stabilitas keuangan Pemprov Riau. Maka dari itu, DBH kelapa sawit menjadi solusi pengganti untuk beberapa item pendapatan yang dibagi ke pemerintah kabupaten/kota. Diakui Hardianto, sejauh ini belum ada keputusan pasti mengenai besaran bagi hasil pajak kelapa sawit yang selama ini ditarik ke pemerintah pusat.

Sebab, UU HKPD memerlukan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu), untuk mengatur lebih detail mengenai objek pajak yang ditetapkan di dalam UU HKPD yang baru.

Termasuk juga dengan opsi pajak lainnya yang diharapkan dapat diisi dengan DBH pajak kelapa sawit. DPRD Riau sendiri, dikatakan dia, bakal mengawal DBH kelapa sawit bisa terealisasi semaksimal mungkin.

Hal itu bukan tanpa dasar. Riau, dikatakan Hardianto memiliki kebun sawit terluas di Indonesia. Dari data yang ia miliki, luasan kebun kelapa sawit di Riau mencapai 3,3 juta hektare lebih. Baik kebun memiliki izin maupun kebun yang ditanami di dalam areal hutan. Hal ini tentunya memiliki dampak secara langsung terhadap dua hal. Yakni kerusakan alam dan kerusakan infrastruktur di Bumi Lancang Kuning.

"Sawit ini kan bukan tanaman yang ramah lingkungan. Dia menyerap air sangat banyak sehingga menimbulkan kerusakan alam. Setelah panen, dan diproduksi menjadi CPO, mobil pengangkut lewat di jalan provinsi dengan tonase besar hingga menyebabkan kerusakan. Nah, selama ini kita (Riau, red) tidak dapat apa-apa. Inilah tuntutan kita, agar DBH pajak kelapa sawit ini bisa terealisasi," pungkasnya.

Diketahui sebelumnya, DPR RI bersama pemerintah menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah (HKPD) menjadi Undang-Undang (UU).

"Kami menanyakan kepada setiap fraksi, apakah RUU HKPD dapat disetujui menjadi UU?," tanya Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad saat memimpin Rapat Paripurna DPR RI Ke-10 Masa Persidangan II Tahun 2021-2022, Selasa (7/12) lalu.

Mayoritas anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna kompak menjawab setuju. UU HKPD ini berisi 12 bab dan 193 pasal. Terdapat beberapa perubahan yang disepakati antara lain penyederhanaan pajak dan retribusi daerah, mekanisme transfer ke daerah, pengelolaan belanja daerah hingga pengelolaan utang daerah.

Menkeu Sri Mulyani mewakili pemerintah mengucapkan terima kasih kepada anggota DPR RI, khususnya Komisi XI yang telah memberi ruang secara kooperatif dan bekerja sama untuk menyerap aspirasi dari masyarakat sehingga memudahkan menyusun UU HKPD.

"Terima kasih kepada DPR RI khususnya Komisi XI secara kooperatif dalam menyusun RUU HKPD sehingga menjadi UU," kata Sri Mulyani.

Sri mengatakan, HKPD juga membuka opsi adanya tambahan retribusi untuk mendukung kapasitas fiskal daerah dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Termasuk layanan pengawasan dan pengendalian dalam rangka melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan hidup, seperti retribusi pengendalian perkebunan kelapa sawit. Di mana pengendalian perkebunan kelapa sawit masuk ke dalam dana bagi hasil (DBH) kelapa sawit yang masuk dalam Pasal 123 terkait jenis DBH lainnya.(nda/adv)

 

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Menteri Keuangan (Mekeu) Sri Mulyani berkesempatan mensosialisasikan Undang-Undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) di Provinsi Riau. UU tersebut merupakan pengganti UU No.33/2004.

Sosialisasi itu juga diikuti oleh sejumlah perangkat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Termasuk juga DPRD Riau yang diwakili oleh Wakil Ketua DPRD Hardianto. Kepada Riau Pos, Ahad (27/3), Hardianto bercerita dalam sosialisasi UU HKPD yang dipaparkan Menkeu Sri Mulyani, terdapat sebuah harapan bagi Riau. Terutama pada dana bagi hasil (DBH) pajak kelapa sawit yang selama ini menjadi tuntutan bagi daerah penghasil sawit.

Karena dalam UU HKPD sendiri, pada Pasal 123, terdapat aturan mengenai bagi hasil ke daerah dengan kategori lainnya.

"Ini merupakan ruang bagi kita untuk bisa mendapat DBH pajak kelapa sawit yang selama ini kita tidak dapat apa-apa," ungkap Hardianto.

Diceritakan Hardianto, dalam UU HKPD sendiri terdapat plus minus bagi keuangan pemerintah di daerah. Sebagai contoh, dalam Pasal 83 UU HKPD, terdapat opsi yang mengatur tentang bagi hasil pajak kendaraan bermotor dan pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Di mana bila selama ini dua objek pajak yang dipungut Pemprov Riau melalui Bapenda tersebut hasilnya masuk 100 persen ke dalam APBD provinsi. Setelah adanya UU HKPD ini maka akan dibagi ke daerah kabupaten/kota asal. Dengan jumlah persentase 70 persen ke provinsi dan 30 persen ke kabupaten/kota tempat kendaraan terdaftar.

"Nah, ini kan bakal menjadi turbulensi bagi keuangan daerah. Di mana PKB dan BBNKB selama ini menjadi salah satu tumpuan pemprov, sekarang dibagi," ucapnya.

Dia khawatir, turbulensi beberapa item pendapatan yang diatur kedalam UU HKPD, dapat mengganggu stabilitas keuangan Pemprov Riau. Maka dari itu, DBH kelapa sawit menjadi solusi pengganti untuk beberapa item pendapatan yang dibagi ke pemerintah kabupaten/kota. Diakui Hardianto, sejauh ini belum ada keputusan pasti mengenai besaran bagi hasil pajak kelapa sawit yang selama ini ditarik ke pemerintah pusat.

Sebab, UU HKPD memerlukan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu), untuk mengatur lebih detail mengenai objek pajak yang ditetapkan di dalam UU HKPD yang baru.

Termasuk juga dengan opsi pajak lainnya yang diharapkan dapat diisi dengan DBH pajak kelapa sawit. DPRD Riau sendiri, dikatakan dia, bakal mengawal DBH kelapa sawit bisa terealisasi semaksimal mungkin.

Hal itu bukan tanpa dasar. Riau, dikatakan Hardianto memiliki kebun sawit terluas di Indonesia. Dari data yang ia miliki, luasan kebun kelapa sawit di Riau mencapai 3,3 juta hektare lebih. Baik kebun memiliki izin maupun kebun yang ditanami di dalam areal hutan. Hal ini tentunya memiliki dampak secara langsung terhadap dua hal. Yakni kerusakan alam dan kerusakan infrastruktur di Bumi Lancang Kuning.

"Sawit ini kan bukan tanaman yang ramah lingkungan. Dia menyerap air sangat banyak sehingga menimbulkan kerusakan alam. Setelah panen, dan diproduksi menjadi CPO, mobil pengangkut lewat di jalan provinsi dengan tonase besar hingga menyebabkan kerusakan. Nah, selama ini kita (Riau, red) tidak dapat apa-apa. Inilah tuntutan kita, agar DBH pajak kelapa sawit ini bisa terealisasi," pungkasnya.

Diketahui sebelumnya, DPR RI bersama pemerintah menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah (HKPD) menjadi Undang-Undang (UU).

"Kami menanyakan kepada setiap fraksi, apakah RUU HKPD dapat disetujui menjadi UU?," tanya Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad saat memimpin Rapat Paripurna DPR RI Ke-10 Masa Persidangan II Tahun 2021-2022, Selasa (7/12) lalu.

Mayoritas anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna kompak menjawab setuju. UU HKPD ini berisi 12 bab dan 193 pasal. Terdapat beberapa perubahan yang disepakati antara lain penyederhanaan pajak dan retribusi daerah, mekanisme transfer ke daerah, pengelolaan belanja daerah hingga pengelolaan utang daerah.

Menkeu Sri Mulyani mewakili pemerintah mengucapkan terima kasih kepada anggota DPR RI, khususnya Komisi XI yang telah memberi ruang secara kooperatif dan bekerja sama untuk menyerap aspirasi dari masyarakat sehingga memudahkan menyusun UU HKPD.

"Terima kasih kepada DPR RI khususnya Komisi XI secara kooperatif dalam menyusun RUU HKPD sehingga menjadi UU," kata Sri Mulyani.

Sri mengatakan, HKPD juga membuka opsi adanya tambahan retribusi untuk mendukung kapasitas fiskal daerah dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Termasuk layanan pengawasan dan pengendalian dalam rangka melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan hidup, seperti retribusi pengendalian perkebunan kelapa sawit. Di mana pengendalian perkebunan kelapa sawit masuk ke dalam dana bagi hasil (DBH) kelapa sawit yang masuk dalam Pasal 123 terkait jenis DBH lainnya.(nda/adv)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya