Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Omnibus Law Terancam Berantakan

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menko Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Panjaitan dinilai saling lempar tanggung jawab soal tarif angkutan penyeberangan sehingga tak kunjung ditetapkan meskipun sudah dibahas selama 1,5 tahun lebih.

Menurut Bambang Haryo Soekartono, anggota DPR RI periode 2014-2019, molornya penetapan tarif penyeberangan menunjukkan Menhub dan Menko Marves tidak profesional dan konsisten dalam menjalankan regulasi dan undang-undang.

"Kemenhub sendiri sudah mengundur-undur evaluasi tarif penyeberangan hingga 1,5 tahun sehingga 3 tahun tidak pernah disesuaikan. Sekarang kembali terganjal di Menko Marves dengan alasan belum ada data untuk dikaji. Padahal, pelimpahan kajian di Kemenko Marves sudah berlangsung lebih dari 3 bulan," katanya..

Bambang Haryo yang juga Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), mengaku sudah bertemu langsung dengan pejabat di Kemenko Marves yang ditugaskan Menko Luhut mengevaluasi tarif.

"Pajabat yang merupakan Staf Ahli Menko Marves itu mengaku tidak mengerti maritim dan baru pertama kali membahas soal penyeberangan. Dia bilang masih menunggu data sehingga belum bisa mengkaji usulan tarif dari Kemenhub," ujarnya.

Menurut Bambang Haryo, Menko Marves tidak percaya dengan usulan tarif dari Menhub sehingga perlu dikaji lagi secara detil, meskipun Kemenhub sudah membahasnya bersama Gapasdap selama 1,5 tahun.

"Menhub Budi Karya dan Menko Luhut saling pingpong, lempar tanggung jawab. Kemenhub bilang sudah serahkan semua data mulai dari awal tapi Kemenko Marves mengaku tidak punya data. Dua instansi ini kelihatan tidak kompak, tidak profesional," ungkapnya.

Baca Juga:  Wako dan Satu Pejabat Bogor Postif Corona, Istri Negatif

Keterlibatan Menko Marves dalam evaluasi tarif penyeberangan baru pertama kali, dikarenakan penerbitan Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.

"Inpres yang harusnya untuk kemudahan usaha, kenyataannya mempersulit usaha dan perizinan. Kalau mengurusi satu sektor ini saja tidak beres, bagaimana mungkin pemerintah menjalankan Omnibus Law yang melibatkan ribuan regulasi sesuai kebijakan Presiden Jokowi," cetusnya.

Apabila Menko Luhut dan stafnya profesional dan mengerti dan memprioritaskan maritim, seharusnya Menko Marves mengingatkan Menhub agar segera membereskan evaluasi tarif karena kondisi penyeberangan sudah kritis dan terancam berhenti operasi dalam waktu dekat.

Menko Luhut semestinya mempercepat penetapan tarif sesuai kebutuhan angkutan penyeberangan, dan bahkan harus menolak usulan Menhub untuk mencicil kenaikan tarif 38% dibagi tiga tahap selama 3 tahun karena menyangkut jaminan keselamatan dan kenyamanan transportasi.

Berdasarkan hitungan Bambang Haryo, kenaikan tarif penyeberangan sekaligus sebenarnya dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap nilai komoditas barang yang diangkut kendaraan, yakni sekitar 0,15%. Artinya, komoditas misalnya beras seharga Rp10.000 per kg kenaikannya berkisar Rp15 per kg apabila tarif dinaikkan sekaligus 38 persen.

"Kenaikan harga itu mungkin relatif kecil, tetapi sangat besar artinya bagi kelangsungan usaha penyeberangan serta menjamin keselamatan nyawa dan barang publik. Ketidakpastian tarif mengancam keselamatan publik, berarti pemerintah melanggar UUD 1945 yang mengamanatkan negara untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia," tegasnya.

Baca Juga:  Ini yang Dilakukan Hanura Rohil di Hari Jadi Partai

Mengenai pengakuan Staf Ahli Menko Marves yang menyebut belum punya data angkutan penyeberangan, Bambang Haryo menilai hanya mencari alasan. Karena menurut Kemenhub sudah menyerahkan semua data terkait angkutan penyeberangan, Menko Marves bisa dengan mudah meminta data dari PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).

Dia mengatakan, PT ASDP yang merupakan kaki tangan pemerintah di sektor penyeberangan memiliki semua data yang diperlukan Menko Marves, seperti pendapatan dan biaya.

"ASDP tahu persis pendapatan perusahaan penyeberangan karena dia yang menjual tiket, ASDP juga tahu persis biaya operasional kapal karena dia operator kapal dan memungut biaya kepelabuhanan," jelasnya.

Bambang Haryo mengatakan, penyesuaian tarif penyeberangan ini untuk membuktikan apakah Menhub dan Menko Marves bisa menjalankan visi dan misi Presiden Joko Widodo untuk memajukan sektor maritim.

Kedua kementerian tersebut begitu cepat menanggapi tarif ojek online tetapi tarif kapal feri yang merupakan industri maritim malah diundur-undur, padahal, resikonya jauh lebih besar untuk menjamin keselamatan nyawa publik.

"Mana prioritas maritim yang menjadi jargon Pak Jokowi menjadi perhatian kedua kementerian tadi. Dan apabila penyeberangan sampai terhenti, Presiden Jokowi pasti akan disalahkan rakyat karena logistik antar pulau seluruh Indonesia akan macet total dan ekonomi terganggu," ujarnya. (dil/jpnn)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menko Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Panjaitan dinilai saling lempar tanggung jawab soal tarif angkutan penyeberangan sehingga tak kunjung ditetapkan meskipun sudah dibahas selama 1,5 tahun lebih.

Menurut Bambang Haryo Soekartono, anggota DPR RI periode 2014-2019, molornya penetapan tarif penyeberangan menunjukkan Menhub dan Menko Marves tidak profesional dan konsisten dalam menjalankan regulasi dan undang-undang.

- Advertisement -

"Kemenhub sendiri sudah mengundur-undur evaluasi tarif penyeberangan hingga 1,5 tahun sehingga 3 tahun tidak pernah disesuaikan. Sekarang kembali terganjal di Menko Marves dengan alasan belum ada data untuk dikaji. Padahal, pelimpahan kajian di Kemenko Marves sudah berlangsung lebih dari 3 bulan," katanya..

Bambang Haryo yang juga Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), mengaku sudah bertemu langsung dengan pejabat di Kemenko Marves yang ditugaskan Menko Luhut mengevaluasi tarif.

- Advertisement -

"Pajabat yang merupakan Staf Ahli Menko Marves itu mengaku tidak mengerti maritim dan baru pertama kali membahas soal penyeberangan. Dia bilang masih menunggu data sehingga belum bisa mengkaji usulan tarif dari Kemenhub," ujarnya.

Menurut Bambang Haryo, Menko Marves tidak percaya dengan usulan tarif dari Menhub sehingga perlu dikaji lagi secara detil, meskipun Kemenhub sudah membahasnya bersama Gapasdap selama 1,5 tahun.

"Menhub Budi Karya dan Menko Luhut saling pingpong, lempar tanggung jawab. Kemenhub bilang sudah serahkan semua data mulai dari awal tapi Kemenko Marves mengaku tidak punya data. Dua instansi ini kelihatan tidak kompak, tidak profesional," ungkapnya.

Baca Juga:  Angkot Hantu

Keterlibatan Menko Marves dalam evaluasi tarif penyeberangan baru pertama kali, dikarenakan penerbitan Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.

"Inpres yang harusnya untuk kemudahan usaha, kenyataannya mempersulit usaha dan perizinan. Kalau mengurusi satu sektor ini saja tidak beres, bagaimana mungkin pemerintah menjalankan Omnibus Law yang melibatkan ribuan regulasi sesuai kebijakan Presiden Jokowi," cetusnya.

Apabila Menko Luhut dan stafnya profesional dan mengerti dan memprioritaskan maritim, seharusnya Menko Marves mengingatkan Menhub agar segera membereskan evaluasi tarif karena kondisi penyeberangan sudah kritis dan terancam berhenti operasi dalam waktu dekat.

Menko Luhut semestinya mempercepat penetapan tarif sesuai kebutuhan angkutan penyeberangan, dan bahkan harus menolak usulan Menhub untuk mencicil kenaikan tarif 38% dibagi tiga tahap selama 3 tahun karena menyangkut jaminan keselamatan dan kenyamanan transportasi.

Berdasarkan hitungan Bambang Haryo, kenaikan tarif penyeberangan sekaligus sebenarnya dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap nilai komoditas barang yang diangkut kendaraan, yakni sekitar 0,15%. Artinya, komoditas misalnya beras seharga Rp10.000 per kg kenaikannya berkisar Rp15 per kg apabila tarif dinaikkan sekaligus 38 persen.

"Kenaikan harga itu mungkin relatif kecil, tetapi sangat besar artinya bagi kelangsungan usaha penyeberangan serta menjamin keselamatan nyawa dan barang publik. Ketidakpastian tarif mengancam keselamatan publik, berarti pemerintah melanggar UUD 1945 yang mengamanatkan negara untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia," tegasnya.

Baca Juga:  Pemko Dumai Bagikan 34 Ekor Sapi Kurban

Mengenai pengakuan Staf Ahli Menko Marves yang menyebut belum punya data angkutan penyeberangan, Bambang Haryo menilai hanya mencari alasan. Karena menurut Kemenhub sudah menyerahkan semua data terkait angkutan penyeberangan, Menko Marves bisa dengan mudah meminta data dari PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).

Dia mengatakan, PT ASDP yang merupakan kaki tangan pemerintah di sektor penyeberangan memiliki semua data yang diperlukan Menko Marves, seperti pendapatan dan biaya.

"ASDP tahu persis pendapatan perusahaan penyeberangan karena dia yang menjual tiket, ASDP juga tahu persis biaya operasional kapal karena dia operator kapal dan memungut biaya kepelabuhanan," jelasnya.

Bambang Haryo mengatakan, penyesuaian tarif penyeberangan ini untuk membuktikan apakah Menhub dan Menko Marves bisa menjalankan visi dan misi Presiden Joko Widodo untuk memajukan sektor maritim.

Kedua kementerian tersebut begitu cepat menanggapi tarif ojek online tetapi tarif kapal feri yang merupakan industri maritim malah diundur-undur, padahal, resikonya jauh lebih besar untuk menjamin keselamatan nyawa publik.

"Mana prioritas maritim yang menjadi jargon Pak Jokowi menjadi perhatian kedua kementerian tadi. Dan apabila penyeberangan sampai terhenti, Presiden Jokowi pasti akan disalahkan rakyat karena logistik antar pulau seluruh Indonesia akan macet total dan ekonomi terganggu," ujarnya. (dil/jpnn)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari