Kamis, 19 September 2024

Yusril Sarankan Segera Perbaiki UU Ciptaker

JAKARTA, (RIAUPOS.CO)  – Perdebatan tentang status hukum Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) masih berlanjut. Kalangan serikat buruh masih meyakini bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 itu dan segala aturan turunan yang telah diterbitkan tidak berlaku. Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, dengan status putusan inkonstitusional bersyarat, UU Ciptaker beserta seluruh aturan turunan yang telah diterbitkan masih berlaku.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal bersikeras bahwa UU Ciptaker inkonstitusional karena dinyatakan cacat prosedur oleh MK.

"Jadi, meski dinyatakan bersyarat, tidak bisa diberlakukan," jelasnya, kemarin (26/11).

Iqbal menyayangkan sikap pemerintah yang menyampaikan pesan berulang-ulang yang berfokus pada amar putusan MK nomor 4. Padahal, ada tujuh poin utama amar putusan tersebut. Iqbal menekankan putusan amar nomor 7 yang menyebutkan bahwa MK memerintahkan untuk menangguhkan. Jadi, kalau kebijakan itu strategis dan berdampak luas, wajib ditangguhkan. Selain itu, dilarang menerbitkan aturan baru.

- Advertisement -

Salah satu konsekuensi dari poin nomor 7, kata Iqbal, adalah pemberlakuan PP Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan turunan dari UU Ciptaker klaster ketenagakerjaan. Menurut Iqbal, PP tersebut sudah memenuhi syarat sebagai kebijakan strategis dan berdampak pada masyarakat luas. Jadi, kebijakan UMP 2022 yang didasarkan pada PP itu juga tidak bisa digunakan.

Bivitri Susanti, pakar hukum dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, menilai putusan itu patut diapresiasi karena MK mengonfirmasi buruknya proses perumusan UU Ciptaker. Meski demikian, bila dilihat dari amar putusan dan adanya 4 di antara 9 hakim yang berpendapat berbeda, putusan tersebut memang lebih terasa seperti "jalan tengah".

- Advertisement -
Baca Juga:  Sidang Isbat Awal Zulhijah 1441 H Digelar 21 Juli

Menurut Bivitri, ada beberapa bagian yang menimbulkan kebingungan. Di satu sisi, putusan itu mengatakan bahwa sebuah proses legislasi inkonstitusional. Artinya, sebenarnya produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional tersebut juga inkonstitusional, sehingga tidak berlaku.

"Tapi, putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan berlaku," papar Bivitri kepada Jawa Pos (JPG), kemarin.

Meski dikabulkan, lanjut Bivitri, sebenarnya itu bukan "kemenangan" bagi pemohon. Sebab, UU Ciptaker tetap berlaku sampai dua tahun lagi. Namun, yang sedikit melegakan, tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana, baik berupa PP maupun perpres, yang diperintahkan secara eksplisit untuk dibuat dalam dua tahun ini.

"Tapi, ini pun berarti peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik tetap berlaku," jelas Bivitri.

Di sisi lain, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan, pilihan yang tersedia bagi pemerintah saat ini hanya bekerja keras memperbaiki UU Ciptaker. Dia mengakui, sejak awal UU Ciptaker sudah bermasalah. Salah satu sebabnya, pembentukan aturan tersebut meniru Omnibus Law di Amerika Serikat dan Kanada.

"Kita punya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada UU itu," terangnya.

Sesuai kewenangannya, Yusril menjelaskan, MK menguji materiil suatu UU dengan menggunakan UUD 1945 dan menguji formil suatu UU dengan menggunakan UU Nomor 13 Tahun 2011.

"Ketika UU Ciptaker yang dibentuk dengan meniru gaya Omnibus Law diuji formil dengan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU (Ciptaker) itu bisa dirontokkan oleh MK," tegasnya. Sebab, MK akan memutus bahwa prosedur pembentukan UU Ciptaker menabrak prosedur pembentukan UU, sebagaimana diatur oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

Baca Juga:  MTQ Baliok ka Bangkinang

Karena itu, Yusril tidak heran dan tidak kaget jika MK menyebut UU Ciptaker inkonstitusional. "Masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, pemerintahan Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit," tuturnya.

Ke depan, Yusril menyarankan agar presiden bertindak cepat untuk melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Ciptaker. Bila perlu, tanpa harus menunggu atau memakan waktu dua tahun. Sebagaimana putusan MK, bila sampai dua tahun perbaikan tidak tuntas, UU itu otomatis menjadi inkonstitusional secara permanen.

Dengan begitu, semua UU yang telah dicabut oleh UU Ciptaker otomatis berlaku kembali.

"Ini jelas dapat menimbulkan kekacauan hukum," kata Yusril.

Dalam putusannya, MK juga melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana terhadap UU Ciptaker selain yang sudah ada. MK juga melarang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas dan didasarkan atas UU Ciptaker selama UU itu belum diperbaiki. Alhasil, kata Yusril, putusan MK tersebut akan berdampak luas terhadap pemerintahan Presiden Jokowi yang menyisakan waktu kurang lebih tiga tahun.

Apalagi, mayoritas kebijakan supercepat yang ingin dilakukan pemerintah saat ini didasarkan pada UU Ciptaker. "Tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil presiden otomatis terhenti. Ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi," paparnya.(tau/lum/syn/agf/c18/ttg/jpg)

 

JAKARTA, (RIAUPOS.CO)  – Perdebatan tentang status hukum Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) masih berlanjut. Kalangan serikat buruh masih meyakini bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 itu dan segala aturan turunan yang telah diterbitkan tidak berlaku. Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, dengan status putusan inkonstitusional bersyarat, UU Ciptaker beserta seluruh aturan turunan yang telah diterbitkan masih berlaku.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal bersikeras bahwa UU Ciptaker inkonstitusional karena dinyatakan cacat prosedur oleh MK.

"Jadi, meski dinyatakan bersyarat, tidak bisa diberlakukan," jelasnya, kemarin (26/11).

Iqbal menyayangkan sikap pemerintah yang menyampaikan pesan berulang-ulang yang berfokus pada amar putusan MK nomor 4. Padahal, ada tujuh poin utama amar putusan tersebut. Iqbal menekankan putusan amar nomor 7 yang menyebutkan bahwa MK memerintahkan untuk menangguhkan. Jadi, kalau kebijakan itu strategis dan berdampak luas, wajib ditangguhkan. Selain itu, dilarang menerbitkan aturan baru.

Salah satu konsekuensi dari poin nomor 7, kata Iqbal, adalah pemberlakuan PP Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan turunan dari UU Ciptaker klaster ketenagakerjaan. Menurut Iqbal, PP tersebut sudah memenuhi syarat sebagai kebijakan strategis dan berdampak pada masyarakat luas. Jadi, kebijakan UMP 2022 yang didasarkan pada PP itu juga tidak bisa digunakan.

Bivitri Susanti, pakar hukum dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, menilai putusan itu patut diapresiasi karena MK mengonfirmasi buruknya proses perumusan UU Ciptaker. Meski demikian, bila dilihat dari amar putusan dan adanya 4 di antara 9 hakim yang berpendapat berbeda, putusan tersebut memang lebih terasa seperti "jalan tengah".

Baca Juga:  MTQ Baliok ka Bangkinang

Menurut Bivitri, ada beberapa bagian yang menimbulkan kebingungan. Di satu sisi, putusan itu mengatakan bahwa sebuah proses legislasi inkonstitusional. Artinya, sebenarnya produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional tersebut juga inkonstitusional, sehingga tidak berlaku.

"Tapi, putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang dinyatakan inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan berlaku," papar Bivitri kepada Jawa Pos (JPG), kemarin.

Meski dikabulkan, lanjut Bivitri, sebenarnya itu bukan "kemenangan" bagi pemohon. Sebab, UU Ciptaker tetap berlaku sampai dua tahun lagi. Namun, yang sedikit melegakan, tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana, baik berupa PP maupun perpres, yang diperintahkan secara eksplisit untuk dibuat dalam dua tahun ini.

"Tapi, ini pun berarti peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik tetap berlaku," jelas Bivitri.

Di sisi lain, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan, pilihan yang tersedia bagi pemerintah saat ini hanya bekerja keras memperbaiki UU Ciptaker. Dia mengakui, sejak awal UU Ciptaker sudah bermasalah. Salah satu sebabnya, pembentukan aturan tersebut meniru Omnibus Law di Amerika Serikat dan Kanada.

"Kita punya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada UU itu," terangnya.

Sesuai kewenangannya, Yusril menjelaskan, MK menguji materiil suatu UU dengan menggunakan UUD 1945 dan menguji formil suatu UU dengan menggunakan UU Nomor 13 Tahun 2011.

"Ketika UU Ciptaker yang dibentuk dengan meniru gaya Omnibus Law diuji formil dengan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU (Ciptaker) itu bisa dirontokkan oleh MK," tegasnya. Sebab, MK akan memutus bahwa prosedur pembentukan UU Ciptaker menabrak prosedur pembentukan UU, sebagaimana diatur oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

Baca Juga:  Nadiem Bantah Tudingan Legalkan Seks Bebas

Karena itu, Yusril tidak heran dan tidak kaget jika MK menyebut UU Ciptaker inkonstitusional. "Masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, pemerintahan Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit," tuturnya.

Ke depan, Yusril menyarankan agar presiden bertindak cepat untuk melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Ciptaker. Bila perlu, tanpa harus menunggu atau memakan waktu dua tahun. Sebagaimana putusan MK, bila sampai dua tahun perbaikan tidak tuntas, UU itu otomatis menjadi inkonstitusional secara permanen.

Dengan begitu, semua UU yang telah dicabut oleh UU Ciptaker otomatis berlaku kembali.

"Ini jelas dapat menimbulkan kekacauan hukum," kata Yusril.

Dalam putusannya, MK juga melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana terhadap UU Ciptaker selain yang sudah ada. MK juga melarang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas dan didasarkan atas UU Ciptaker selama UU itu belum diperbaiki. Alhasil, kata Yusril, putusan MK tersebut akan berdampak luas terhadap pemerintahan Presiden Jokowi yang menyisakan waktu kurang lebih tiga tahun.

Apalagi, mayoritas kebijakan supercepat yang ingin dilakukan pemerintah saat ini didasarkan pada UU Ciptaker. "Tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil presiden otomatis terhenti. Ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi," paparnya.(tau/lum/syn/agf/c18/ttg/jpg)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari