JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Keputusan pemerintah untuk menurunkan harga tes swab PCR menjadi Rp300 ribu dan memperpanjang masa berlakunya menjadi 3 hari nyatanya tak membuat masyarakat puas. Penolakan terus bergulir dan semakin ramai.
Sebuah petisi di halaman change.org berjudul hapuskan aturan PCR untuk penerbangan pun semakin ramai. Pantauan Jawa Pos (JPG) hingga kemarin malam (26/10) pukul 20.22 WIB, petisi tersebut telah ditandatangani oleh 43 ribu orang dan masih terus bergerak menuju 50 ribu tanda tangan.
Kemarin, Ikatan Pilot Indonesia (IPI) merilis pernyataan resmi meminta pemerintah untuk meninjau kembali SE Satgas Covid-19 Nomor 21 Tahun 2021 yang memuat kewajiban tes RT-PCR untuk transportasi udara. Ketua IPI Capt Iwan Setyawan mengungkapkan bahwa industri penerbangan Tanah Air telah banyak mengalami tekanan karena menurunnya jumlah penerbangan selama pandemi. Saat ini kondisinya semakin memprihatinkan, mulai dari berkurangnya penumpang, jumlah penerbangan, penundaan, pengurangan, pemotongan gaji, sampai merumahkan dan pemutusan hubungan kerja dirasakan hampir seluruh insan penerbangan. Baik itu pilot, awak kabin, teknisi, petugas pengatur lalu lintas penerbangan, petugas bandara, dan lain sebagainya.
"Mengenai syarat tes PCR bagi para penumpang udara, kami mohon untuk ditinjau kembali," kata Iwan, kemarin.
Iwan mengatakan, bahwa pesawat udara telah dilengkapi dengan HEPA sebagai filter terhadap virus. Selain itu, ia menyebut WHO, IATA, ICAO telah menyatakan bahwa tes antigen memiliki akurasi yang baik, lebih murah dan cepat memberikan hasil. Banyak juga penelitian yang telah menyebutkan bahwa penularan virus di pesawat udara lebih rendah dari moda transportasi lainnya.
Belum lagi ditambah dengan faktor lain seperti penumpang yang sudah divaksin, protokol kesehatan di bandara yang ketat. "Maka transportasi udara sangat aman dalam mencegah penyebaran Covid-19 dan seharusnya menjadi prioritas untuk pemulihannya," kata Iwan.
Komite Legal IPI Capt Muammar Reza Nugraha mengatakan bahwa catatan PT Angkasa Pura menyebut bahwa pergerakan penumpang pada kuartal 2021, penumpang drop ke angka 65,5 persen di 15 bandara yang dikelolanya. Penurunan penumpang tersebut berimbas pada menurunkan jumlah penerbangan. Pada 2019 sampai 2020 penerbangan telah turun hingga tersisa 48,2 persen kemudian pada periode 2020-2021 semakin turun hingga menjadi 29,8 persen.
"Ini berdampak pada memburuknya kondisi fisik dan emosional para pekerja transportasi udara berupa depresi dan kecemasan. Ini juga berpengaruh pada faktor keselamatan," katanya.
Reza menyebut penularan di pesawat berdasarkan penelitian hanyalah 0,00014 persen atau sama dengan resiko yang bisa diabaikan sama sekali. Namun di lain pihak, ada juga mereka yang menyarankan agar PCR diperluas hingga ke moda transportasi lainnya. Epidemiolog Kamaluddin Latief menilai kebijakan pemerintah yang memberlakukan mewajibkan tes PCR dalam penerbangan domestik adalah langkah tepat.
"Kebijakan wajib tes PCR untuk penerbangan domestik di wilayah Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali adalah keharusan dan diperlukan. Jika mengacu kepada tes Covid-19, maka gold standard-nya adalah PCR. Hal ini yang harus dipahami oleh semua pihak," katanya.
Kamal mendasarkan pendapatnya pada ancaman lonjakan kasus gelombang ke-3 dan munculnya beberapa varian baru di luar negeri. Selain itu mobilitas masyarakat juga terus meningkat. Menurutnya, pelonggaran mobilitas harus diiringi dengan penguatan upaya screening.
"Keperluan peningkatan screening ini juga semakin penting karena Indonesia adalah negara kepulauan," ujarnya.
Untuk meminimalisasi risiko tersebut, pemberlakukan screening ketat dengan tes PCR dan karantina harus terus ditingkatkan."Jika kita memilih melakukan pelonggaran mobilitas, maka mau tidak mau screening ketat, dengan memilih jenis tes yang lebih sensitif yakni PCR adalah pilihan," ujarnya.
Bahkan menurut Kamal, tes PCR mestinya diterapkan pada semua jenis moda transportasi. Baik udara, laut dan darat. Meski demikian ia mengakui jika pemerintah harus bisa menekan harga PCR serendah mungkin. Bahkan jika memungkinkan, hingga mendekati batas atas harga tes antigen.
"Subsidi bisa jadi opsi lain yang ditawarkan pemerintah. Selain itu, mekanisme di wilayah yang sulit melakukan PCR harus diatur lebih lanjut dengan membuat beberapa perkecualian atau prasyarat lain. Ini harus dipikirkan caranya," katanya.
Namun nampaknya pemerintah juga bakalan enggan memberikan Subsidi. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa PCR di Indonesia merupakan harga murah. Jika diturunkan menjadi Rp 300 ribu akan masuk 10 persen terbawah yang paling murah di dunia. Sejauh ini yang paling murah adalah PCR di India. "Mereka produksi dalam negeri," tuturnya.
Karena sudah murah, Budi menegaskan bahwa pemerintah tak akan melakukan subsidi. Pada data Skytrax Ratings yang digunakan Budi, harga PCR di 70 bandara ibu kota negara dunia, Indonesia berada di posisi 49. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta agar segera menurunkan harga PCR menjadi Rp 300 ribu. Perintah Jokowi itu muncul setelah Kementerian Kesehatan menurunkan harga PCR menjadi Rp495 ribu untuk Jawa-Bali dan Rp 525 ribu untuk non-Jawa-Bali.
Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, meski telah turun, pemerintah belum transparan terkait harga tes PCR tersebut. Mulai dari struktur biaya PCR dan berapa persen margin profit yang diperoleh oleh pihak provider.
"Ini masih tanda tanya besar," ujarnya.
Kemudian, mengenai pengawasan. Setelah penurunan harga, pemerintah tak boleh lepas tangan. Harus ada pengawasan terhadap kepatuhan atas perintah penurunan tersebut. Sebab, saat ini saja masih banyak provider yang menetapkan harga PCR di atas harga HET yang ditetapkan pemerintah. Berbagai alasan pun digunakan. Salah satunya, hasil ekspres. Sehingga, tarif pun bisa melambung tinggi melebihi HET.
"Selain itu, pemerintah juga harus menurunkan masa uji lab," tuturnya.
Jika di awal, hasil keluar dalam jangka waktu 1×24 jam maka bisa diturunkan menjadi maksimal 1×12 jam. Menurutnya, ketentuan ini guna menghindari pihak provider/laboratorium mengulur waktu hasil uji PCR tersebut. Tulus juga menyinggung soal wacana penggunaan PCR untuk semua moda transportasi. Dia menilai, ini akan memberatkan konsumen. Mengingat, tarif masih terbilang mahal untuk menengah ke bawah.
"Mana mungkin penumpang bus suruh membayar PCR yang tarifnya lebih tinggi daripada tarif busnya itu sendiri," keluhnya.