Kamis, 12 September 2024

Selamatkan Bibir Pantai dan Berkebun tanpa Bakar

(RIAUPOS.CO) — Tidak hanya sampai di situ, jika tidak cepat diantisipasi tentu saja berdampak ke sejumlah rumah yang ada tidak jauh dari bibir pantai.  Kayu-kayu milik perusahaan yang jatuh dari tongkang semakin memperparah terjadinya abrasi. 

  “Apa yang saya kerjakan menjadi perbincangan selama bertahun-tahun. Seolah apa yang saya lakukan adalah hal yang sia-sia,” ungkap Junaidi yang sudah merantau ke Malaysia, Batam dan Tanjungpriok selama belasan tahunan dan saat ini memiliki dua anak dan tinggal di bibir pantai sekitar hutan mangrove. 

  Riau Pos bertemu Junaidi dalam Media Trip program tata kelola hutan dan lahan untuk mengurangi emisi di Indonesia melalui kegiatan lokal yang diselenggarakan Konsorsium Mitra Insani (YMI), pekan lalu. Ketekunan dan keyakinan bahwa apa yang dilakukan untuk kepentingan masyarakat, perlahan, namun pasti mulai terlihat  dari rimbunnya bakau di tepi laut, sehingga abrasi dapat dikendalikan.   Melihat ada harapan yang lebih baik, ditambah ada dukungan dari Konsorsium Mitra Insani (YMI), akhirnya abrasi yang sebelumnya tak terkendali berubah menjadi hutan bakau yang asri dan menjadi tempat berkembangbiaknya satwa. Lahan seluas sekitar 5 hektare itu menjadi ekowisata. Tidak hanya didatangi masyarakat yang liburan untuk berswafoto tapi juga peneliti dari beberapa negara dan mahasiswa dari dalam negeri.

Baca Juga:  Pembukaan Sekolah Masih Riskan

Sedikitnya ada 32 jenis mangrove di sini, dan puluhan jenis flora dan fauna lainnya hidup di wilayah ini, termasuk anggrek yang bunganya berwarna hitam. “Kami belum tahu anggrek jenis apa dan apa namanya. Kami akan terus merawat dan menjaganya hingga bisa membudidayakannya,” ungkap Junaidi yang sempat melakukan penangkapan burung jenis murai batu.

- Advertisement -

Burung itu selalu diburu, sehingga Junaidi khawatir habitatnya hutan mangrove yang dijaganya punah, sehingga dia melakukan penangkaran. Tujuannya agar burung burung itu tidak diburu lagi dan yang menginginkannya bisa ke penangkaran.

Namun, proses yang panjang membuat Junaidi  yang kini menjadi Ketua Kelompok Pemerhati Mangrove tak melanjutkan usaha penangkaran  itu. Junaidi hafal nama latin mangrove yang dirawat dan dijaganya dengan sepenuh hati itu. Bahkan dia dapat menjelaskan dengan detil tentang proses penanaman, perawatan, hingga menghasilkan mangrove menghasilkan kerupuk, sirup dan    madu karena beberapa jenis lebah ada gang senang bersarang di hutan mangrove.

- Advertisement -
Baca Juga:  Hari Disabilitas Internasional, Wako Pekanbaru Ajak Penyandang Jalan Sehat

Meski beberapa kali ada bantuan bibit bakau, ada yang memberi 80 ribu batang dan ada yang memberi 25 ribu, namun Junaidi tidak berpuas diri. Dia mengaku terus belajar dan melakukan uji coba, sehingga mendapatkan tanaman bakau yang dapat tumbuh subur dalam kondisi alam yang terus berubah ubah.

Kini, ada trek sepanjang 700 meter, pondok dengan luas 4×5 dua unit dan dua unit toilet, serta menata pemantau. Trek yang panjang itu membelah hutan mangrove dan bercabang di beberapa titiknya dengan harapan siapapun yang datang akan merasa nyaman, karena ada kursi kursi di buat untuk pengunjung beristirahat di hutan bakau yang teduh.(bersambung)

 

Laporan MONANG LUBIS, Siak

(RIAUPOS.CO) — Tidak hanya sampai di situ, jika tidak cepat diantisipasi tentu saja berdampak ke sejumlah rumah yang ada tidak jauh dari bibir pantai.  Kayu-kayu milik perusahaan yang jatuh dari tongkang semakin memperparah terjadinya abrasi. 

  “Apa yang saya kerjakan menjadi perbincangan selama bertahun-tahun. Seolah apa yang saya lakukan adalah hal yang sia-sia,” ungkap Junaidi yang sudah merantau ke Malaysia, Batam dan Tanjungpriok selama belasan tahunan dan saat ini memiliki dua anak dan tinggal di bibir pantai sekitar hutan mangrove. 

  Riau Pos bertemu Junaidi dalam Media Trip program tata kelola hutan dan lahan untuk mengurangi emisi di Indonesia melalui kegiatan lokal yang diselenggarakan Konsorsium Mitra Insani (YMI), pekan lalu. Ketekunan dan keyakinan bahwa apa yang dilakukan untuk kepentingan masyarakat, perlahan, namun pasti mulai terlihat  dari rimbunnya bakau di tepi laut, sehingga abrasi dapat dikendalikan.   Melihat ada harapan yang lebih baik, ditambah ada dukungan dari Konsorsium Mitra Insani (YMI), akhirnya abrasi yang sebelumnya tak terkendali berubah menjadi hutan bakau yang asri dan menjadi tempat berkembangbiaknya satwa. Lahan seluas sekitar 5 hektare itu menjadi ekowisata. Tidak hanya didatangi masyarakat yang liburan untuk berswafoto tapi juga peneliti dari beberapa negara dan mahasiswa dari dalam negeri.

Baca Juga:  Hari Disabilitas Internasional, Wako Pekanbaru Ajak Penyandang Jalan Sehat

Sedikitnya ada 32 jenis mangrove di sini, dan puluhan jenis flora dan fauna lainnya hidup di wilayah ini, termasuk anggrek yang bunganya berwarna hitam. “Kami belum tahu anggrek jenis apa dan apa namanya. Kami akan terus merawat dan menjaganya hingga bisa membudidayakannya,” ungkap Junaidi yang sempat melakukan penangkapan burung jenis murai batu.

Burung itu selalu diburu, sehingga Junaidi khawatir habitatnya hutan mangrove yang dijaganya punah, sehingga dia melakukan penangkaran. Tujuannya agar burung burung itu tidak diburu lagi dan yang menginginkannya bisa ke penangkaran.

Namun, proses yang panjang membuat Junaidi  yang kini menjadi Ketua Kelompok Pemerhati Mangrove tak melanjutkan usaha penangkaran  itu. Junaidi hafal nama latin mangrove yang dirawat dan dijaganya dengan sepenuh hati itu. Bahkan dia dapat menjelaskan dengan detil tentang proses penanaman, perawatan, hingga menghasilkan mangrove menghasilkan kerupuk, sirup dan    madu karena beberapa jenis lebah ada gang senang bersarang di hutan mangrove.

Baca Juga:  Soal Banjir, Kenapa Siriknya Hanya ke Pak Anies?

Meski beberapa kali ada bantuan bibit bakau, ada yang memberi 80 ribu batang dan ada yang memberi 25 ribu, namun Junaidi tidak berpuas diri. Dia mengaku terus belajar dan melakukan uji coba, sehingga mendapatkan tanaman bakau yang dapat tumbuh subur dalam kondisi alam yang terus berubah ubah.

Kini, ada trek sepanjang 700 meter, pondok dengan luas 4×5 dua unit dan dua unit toilet, serta menata pemantau. Trek yang panjang itu membelah hutan mangrove dan bercabang di beberapa titiknya dengan harapan siapapun yang datang akan merasa nyaman, karena ada kursi kursi di buat untuk pengunjung beristirahat di hutan bakau yang teduh.(bersambung)

 

Laporan MONANG LUBIS, Siak

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari