KINI kita sedang berada di sebuah zaman, yang menunjukkan sebagian manusia sudah benar-benar lebih sesat dari binatang. Seorang anak membunuh ibunya, seorang ibu membunuh anaknya, dan tindakan keji lainnya.
Aurat dipertontonkan dengan menggunakan kecanggihan teknologi. Harga diri dijual menjadi ajang komoditi, praktik korupsi, penipuan merajalela dan lain Ke mana hilangnya rasa malu pelaku kebiadaban moral saat ini?
Puasa mendidik manusia untuk memiliki rasa malu karena puasa pada hakikatnya bukan hanya menahan haus dan lapar, tapi juga menjaga hawa nafsu yang menyebabkan manusia terjerumus dalam kejahatan. Malu adalah suatu kondisi di mana kita merasa bersalah jika melakukan suatu perbuatan. Karena itu di dalam bahasa Inggris ashamed atau malu diartikan dengan troubled by guilty feeling atau merasa terganggu oleh adanya rasa bersalah.
Harapannya, rasa malu ini bisa jadi pagar pengaman dari nafsu binatang kita yang kadang liar dan sulit terkendali. Maka rasa malu bisa tercipta, pertama, atas dasar pemahaman diri sendiri tentang perasaan bersalah. Kedua, berdasarkan keyakinan suatu masyarakat dalam lokal budaya tertentu. Ini biasanya disebut dengan “kearifan lokalâ€. Ketiga, lahir dari pemahaman atas doktrin ketuhanan.
Salah satu ciri utama fitrah manusia adalah adanya rasa malu. Bila rasa malu hilang, manusia cenderung berbuat seperti binatang bahkan bisa lebih parah lagi. Allah berfirman: (QS. Al-A’raf (7): 179). Artinya; Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Dalam sebuah kesempatan Rasulullah SAW bertemu seorang dari Ansar, yang sedang menasihati saudaranya yang pemalu. Mendengar itu, Rasulullah segera bersabda: dalam kitab Muwatta’ Ibn Malik juz 5, h. 389 “Biarkan dia demikian, karena rasa malu itu bagian dari iman†(HR Bukahri-Muslim). Dalam hadis lain, Rasulullah mengatakan: “Rasa malu semuanya baik’’ (HR Muslim).
Abu Sa’id Al Khudri pernah menggambarkan bahwa Rasulullah SAW lebih pemalu dari seorang gadis. ‘’Bila melihat sesuatu yang tidak ia sukai, tampak tanda rasa malu dari wajahnya’’ (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam kesempatan lain Rasulullah mengkaitkan antara iman dan rasa malu: dalam sunan at-Turmudzi, juz. 7, h. 294. “Rasa malu adalah bagian dari iman, dan iman tempatnya di surga. Prilaku jelek adalah bagian dari kekeringan iman, keringnya iman tempatnya di neraka.â€(HR. At.Turmudzi).
Imam Ibn Majah menyebutkan sebuah hadis yang menggambarkan betapa rasa malu harus dibudayakan demi keselamatan sebuah bangsa. Rasulullah bersabda:
“Jika Allah SWT ingin menghancurkan sebuah kaum, dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang maka yang muncul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati membudaya, Allah mencabut dari mereka sikap amanah (kejujuran dan tanggung jawab). Bila sikap amanah telah hilang maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para mengkhianat merajalela Allah mencabut rahmat-Nya. Bila rahmat Allah telah hilang maka yang muncul adalah manusia laknat. Bila manusia laknat merajalela Allah akan mencabut dari mereka tali-tali Islamâ€.
Syeikh Muhammad Al Ghazali menerangkan makna hadis ini, berkata dalam bukunya Khuluqul Muslim: “Bila seorang tidak mampunyai rasa malu dan amanah, ia akan menjadi keras dan berjalan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Tak peduli apakah yang harus menjadi korban adalah mereka yang tak berdosa. Ia rampas harta dari tangan-tangan mereka yang fakir tanpa belas kasihan, hatinya tidak tersentuh oleh kepedihan orang-orang lemah yang menderita. Matanya gelap, pandangannya ganas. Ia tidak tahu kecuali apa yang memuaskan hawa nafsunya. Bila seorang sampai ke tingkat prilaku seperti ini, maka telah terkelupas darinya fitrah agama dan terkikis habis jiwa ajaran Islam. (Khuluqul Muslim, h.171).
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa hakikat rasa malu itu muncul dalam bentuk sikap meninggalkan perbuatan jelek, dan perbuatan zalim. Seorang sufi besar Imam Junaid menerangkan bahwa rasa malu muncul dari melihat besarnya nikmat Allah, sedangkan ia merasa banyak kekurangan dalam mengamalkan ketaatan kapada-Nya. (Riyadhushsholihin, h.246).
Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak berhentinya petaka, bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya diakibatkan oleh hilangnya rasa malu. Ketika pejabat malu berkorupsi, seorang pengusaha merasa malu jika terlambat memberi upah pada karyawannya. Artis malu memamerkan aurat, kita malu mengumbar kata-kata kotor maka yang terjadi adalah pembentukan budaya malu yang akan memajukan bangsa ini.***