Dijanjikan Kerja di Kebun Sawit jika Sembuh

Mantan "warga binaan" mengklaim keperluan makan, olahraga, dan medis terpenuhi selama berada di bilik berjeruji di rumah bupati nonaktif Langkat. Tapi, tempat itu tak berizin meski BNNK Langkat pernah menyurveinya.

Laporan TEDDY AKBARI, Langkat

- Advertisement -

SEANDAINYA ada yang meratapi jika "penjara" itu ditutup, Hana salah satunya. Sebab, di dua bilik berjeruji besi di rumah bupati nonaktif Langkat itulah harapan kesembuhan suaminya ditambatkan.

"Harus tetap ada supaya kalau ada masyarakat kami yang menggunakan narkoba bisa direhab disitu. Di situ tidak dipungut biaya apapun," ujar perempuan 25 tahun itu kepada Sumut Pos (RPG), Selasa (25/1).

- Advertisement -

Dua bilik tersebut memang masih menjadi teka-teki. Migrant Care, berdasar laporan yang diterima dari masyarakat, menduga ada perbudakan di balik penjara di rumah Terbit Rencana Perangin Angin itu. Puluhan orang di dalamnya dipekerjakan di kebun sawit sejak pagi sampai sore, lalu malamnya dikunci di balik sel.

Ada dugaan pula terjadi penyiksaan di sana. Dari foto yang beredar luas sebelumnya memang tampak ada "warga binaan" yang wajahnya lebam.

"Penjara" itu terungkap seiring terciduknya Terbit Rencana dalam operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi pekan lalu. Dia kini ditahan di Jakarta.

Puluhan orang yang sebelumnya berada di bilik-bilik berjeruji besi di rumah bupati Langkat itu sudah tidak ada di sana. Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Langkat sudah melakukan asesmen terhadap mereka di Kantor Camat Kuala, Selasa (25/1).

Di sisi lain, Polda Sumut menyebutkan bahwa penjara yang berdiri sejak 2012 itu merupakan tempat rehabilitasi narkoba. Meski memang tidak berizin. BNNK Langkat yang pernah meninjau pada 2017 juga membenarkan bahwa tempat tersebut tidak berizin.  

Hana memperkuat pernyataan polisi itu. "Setelah adanya panti rehabilitasi yang dibuat bapak ini, banyak masyarakat yang menggunakan narkoba memang diserahkan orang tuanya untuk dibina di situ," ujar Hana yang suaminya, Jefri Sembiring, menjalani rehabilitasi narkoba di tempat tersebut sejak tiga bulan belakangan.

Dia menyatakan, suaminya bekerja sebagai pedagang dan keterlibatannya sebagai pecandu narkoba terjadi sejak beberapa tahun lalu. "Banyak yang sembuh dari situ," kata perempuan asal Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat itu.

Dia juga menepis dugaan kerja paksa. "Kerja paksa benar-benar tidak ada karena saya satu kampung dengan bapak itu. Yang dibilang pemberitaan di media sosial bahwa makan dua kali juga benar-benar tidak ada," ujar dia.

Tapi, Hana tidak dapat menyebutkan aktivitas apa saja yang dilakukan para "warga binaan". "Namun, menurut saya, yang namanya apa itu perbudakan tidak ada," bebernya.

Suami Hana, Jefri, mengakui bahwa dirinya dijanjikan pekerjaan di kebun sawit milik Terbit Rencana jika bisa sembuh dari ketergantungan narkoba. Empat bulan di sana, pria 27 tahun itu mengaku ada perubahan yang baik.

"Karena hidup lebih teratur. Mulai makan tiga kali sehari, bangun pagi, istirahat juga teratur, olahraga, hingga ibadah," ujarnya.

Mengenai aktivitas, ada jam tertentu keluar sel untuk menjemur pakaian, menyapu halaman, atau membersihkan kolam ikan. Makan diantarkan tiga kali, pukul 07.00, 12.00, dan 17.00. "Dokter datang pada Selasa dan Sabtu untuk memberikan obat," sambungnya.

Ada pula aktivitas keagamaan pada malam hari sesuai dengan agama yang dianut. Keluarga pun diizinkan menjenguk pada hari libur atau Ahad. "Hitungan waktu berkunjung bukan menit, tapi beberapa jam. Saya nyaman berada di sana," tuturnya.

Semula dia menargetkan berada di kereng (sel atau tempat rehabilitasi) itu selama setahun. "Tapi, baru saya jalani empat bulan dan sejak ada OTT KPK. Keluarga pun datang menjemput karena situasi kurang kondusif," katanya.(*/c19/ttg/jpg)

Mantan "warga binaan" mengklaim keperluan makan, olahraga, dan medis terpenuhi selama berada di bilik berjeruji di rumah bupati nonaktif Langkat. Tapi, tempat itu tak berizin meski BNNK Langkat pernah menyurveinya.

Laporan TEDDY AKBARI, Langkat

SEANDAINYA ada yang meratapi jika "penjara" itu ditutup, Hana salah satunya. Sebab, di dua bilik berjeruji besi di rumah bupati nonaktif Langkat itulah harapan kesembuhan suaminya ditambatkan.

"Harus tetap ada supaya kalau ada masyarakat kami yang menggunakan narkoba bisa direhab disitu. Di situ tidak dipungut biaya apapun," ujar perempuan 25 tahun itu kepada Sumut Pos (RPG), Selasa (25/1).

Dua bilik tersebut memang masih menjadi teka-teki. Migrant Care, berdasar laporan yang diterima dari masyarakat, menduga ada perbudakan di balik penjara di rumah Terbit Rencana Perangin Angin itu. Puluhan orang di dalamnya dipekerjakan di kebun sawit sejak pagi sampai sore, lalu malamnya dikunci di balik sel.

Ada dugaan pula terjadi penyiksaan di sana. Dari foto yang beredar luas sebelumnya memang tampak ada "warga binaan" yang wajahnya lebam.

"Penjara" itu terungkap seiring terciduknya Terbit Rencana dalam operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi pekan lalu. Dia kini ditahan di Jakarta.

Puluhan orang yang sebelumnya berada di bilik-bilik berjeruji besi di rumah bupati Langkat itu sudah tidak ada di sana. Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Langkat sudah melakukan asesmen terhadap mereka di Kantor Camat Kuala, Selasa (25/1).

Di sisi lain, Polda Sumut menyebutkan bahwa penjara yang berdiri sejak 2012 itu merupakan tempat rehabilitasi narkoba. Meski memang tidak berizin. BNNK Langkat yang pernah meninjau pada 2017 juga membenarkan bahwa tempat tersebut tidak berizin.  

Hana memperkuat pernyataan polisi itu. "Setelah adanya panti rehabilitasi yang dibuat bapak ini, banyak masyarakat yang menggunakan narkoba memang diserahkan orang tuanya untuk dibina di situ," ujar Hana yang suaminya, Jefri Sembiring, menjalani rehabilitasi narkoba di tempat tersebut sejak tiga bulan belakangan.

Dia menyatakan, suaminya bekerja sebagai pedagang dan keterlibatannya sebagai pecandu narkoba terjadi sejak beberapa tahun lalu. "Banyak yang sembuh dari situ," kata perempuan asal Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat itu.

Dia juga menepis dugaan kerja paksa. "Kerja paksa benar-benar tidak ada karena saya satu kampung dengan bapak itu. Yang dibilang pemberitaan di media sosial bahwa makan dua kali juga benar-benar tidak ada," ujar dia.

Tapi, Hana tidak dapat menyebutkan aktivitas apa saja yang dilakukan para "warga binaan". "Namun, menurut saya, yang namanya apa itu perbudakan tidak ada," bebernya.

Suami Hana, Jefri, mengakui bahwa dirinya dijanjikan pekerjaan di kebun sawit milik Terbit Rencana jika bisa sembuh dari ketergantungan narkoba. Empat bulan di sana, pria 27 tahun itu mengaku ada perubahan yang baik.

"Karena hidup lebih teratur. Mulai makan tiga kali sehari, bangun pagi, istirahat juga teratur, olahraga, hingga ibadah," ujarnya.

Mengenai aktivitas, ada jam tertentu keluar sel untuk menjemur pakaian, menyapu halaman, atau membersihkan kolam ikan. Makan diantarkan tiga kali, pukul 07.00, 12.00, dan 17.00. "Dokter datang pada Selasa dan Sabtu untuk memberikan obat," sambungnya.

Ada pula aktivitas keagamaan pada malam hari sesuai dengan agama yang dianut. Keluarga pun diizinkan menjenguk pada hari libur atau Ahad. "Hitungan waktu berkunjung bukan menit, tapi beberapa jam. Saya nyaman berada di sana," tuturnya.

Semula dia menargetkan berada di kereng (sel atau tempat rehabilitasi) itu selama setahun. "Tapi, baru saya jalani empat bulan dan sejak ada OTT KPK. Keluarga pun datang menjemput karena situasi kurang kondusif," katanya.(*/c19/ttg/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya