MOMEN Hari Guru Nasional (HGN) ke-74 masih menyisakan banyak persoalan di Riau. Salah satunya gaji sejumlah guru honorer yang masih di bawah upah minimum regional (UMR). Inilah yang dirasakan salah seorang guru honorer di salah satu sekolah dasar negeri di Pekanbaru berinisial Y, Senin (25/11).
Menurut Y, selama mengajar di Kota Bertuah tahun 2016 lalu hingga kini dia hanya menerima gaji sebesar Rp500 ribu per bulan. Sambil menahan air mata yang mulai terlihat jatuh dari kelopak matanya, Y berkisah tentang suka dukanya menjadi tenaga pendidik honorer di Kota Bertuah. "Mungkin bagi masyarakat uang Rp500 ribu itu hanya menjadi uang jajan selama beberapa hari. Tapi bagi kami, itulah tetesan keringat yang selama tiga puluh hari kami hasilkan yang dalam seharinya hanya dihitung beberapa rupiah saja. Mungkin jeritan hati ini sama dengan yang dirasakan para guru honorer lainnya," ujar Y.
Bahkan untuk memenuhi keperluan sehari-harinya, Y bersama sang suami yang juga tenaga honorer di salah satu instansi pemerintahan, harus memutar otak dengan cara berjualan online. Ia menerima kerjaan sambilan membuat pesanan kue hinggga nasi tumpeng dari beberapa orang teman hingga tetangganya. "Untungnya saya memiliki keterampilan lain dalam hal memasak. Dengan membuka pesanan pembuatan kue ini setidaknya bisa menutupi keperluan sehari-hari serta biaya untuk ngontrak rumah," jelasnya.
Y melanjutkan, dia bersyukur sebagai guru honorer masih dapat menikmati uang tunjangan sertifikasi. Meskipun begitu, dirinya masih berharap pemerintah dapat mengutamakan mereka yang telah mengabdi untuk negara diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
"Biarkan kami berkompetisi sesama kami. Jangan digabungkan dengan para pencari kerja yang masih fresh dalam segi pendidikan ataupun usia. Sudah pastilah kami yang sudah lama tidak belajar soal-soal CPNS yang pada umumnya mata pelajaran SMA akan tersingkir," ucapnya.
Dalam pada itu Kepala SDN 109 Pekanbaru Hj Ermidayati SPd saat ditemui Riau Pos mengatakan, di sekolahnya bertugas terdapat 8 guru honorer dengan 1 orang TU honorer yang juga mendapatkan gaji mulai dari Rp500 hingga Rp750 ribu per bulannya. Menurutnya, uang tersebut didapat dari transferan gaji yang diberikan Pemko Pekanbaru setiap bulannya. Bahkan, untuk mendapatkan gaji Rp750 ribu tersebut, tenaga pengajar di sekolah tersebut harus terlebih dahulu mengabdi selama 10 tahun. Sedangkan di bawahnya masih sebesar Rp500 ribu per bulan.
"Saya berharap para tenaga pengajar di sekolah kami dapat menikmati gaji yang sesuai dengan dedikasinya kepada para penerus bangsa. Karena tanpa mereka, siapa yang akan mencetuskan generasi penerus bangsa yang memiliki karakter dan pendidikan yang baik. Karena guru selalu dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa," harapnya.
Perlu Aksi Nyata
Menata pendidikan Indonesia tidak seindah pidato yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Perlu pemahaman secara komprehensif. Mulai menata birokrasi, meningkatkan kualitas kompetensi, hingga memperhatikan kesejahteraan guru. Sehingga, mampu mewujudkan kebijakan tepat guna yang mendorong aksi nyata.
Pada upacara bendera Hari Guru Nasional kemarin, Nadiem menyampaikan pidatonya dalam sebuah film pendek yang ditayangkan di sebuah videotron besar. Para peserta upacara dan guru yang hadir bersorak dan menyambut dengan tepuk tangan. Persis seperti naskah yang sudah di-share kemana-mana itu.
Usai upacara, Nadiem mengungkapkan, reformasi pendidikan tanpa pergerakan guru tidak ada artinya. Makanya, dia menyebut guru adalah profesi yang mulia sekaligus tersulit. Menteri termuda kabinet Indonesia Maju itu juga menyerukan kemerdekaan belajar.
"Apa itu artinya merdeka belajar? Unit pendidikan yaitu sekolah, guru, dan murid punya kebebasan. Kebebasan untuk berinovasi, kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. Itu mungkin yang akan kita terus bantu," jelas Nadiem. Namun, saat ditanya rencana kebijakan dan program konkret dari pidato tersebut mantan bos Gojek itu terkesan menjawab sekenanya.
Ketua Umum PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Unifah Rosyidi menyatakan, guru saat ini tidak bisa hanya dipidatokan bahwa: guru itu profesi mulia, sangat penting untuk mendidik anak bangsa. "Tidak butuh seperti itu. Yang kami butuhkan adalah kebijakan yang nyata," tegas Unifah. Nyatanya, tidak sedikit masalah yang ada di sektor pendidikan tanah air.
Indonesia masih kekurangan guru. Sekitar 52 persen dari jumlah guru di tanah air adalah honorer. Gaji yang diterima terbatas. Tidak sesuai kelayakan hidup. Akibatnya, para guru tersebut tidak sejahtera. Unifah sadar, tidak etis sebenarnya membahas gaji. Tapi, suka tidak suka itu adalah bagian dari profesionalisme yang melekat.
"Dikatakan, guru adalah yang menciptakan bibit unggul yang mengubah masa depan. Tapi, bagaimana caranya mau menciptakan generasi unggul kalau gurunya tidak selesai dengan dirinya sendiri? Ini harus menjadi perhatian para pengambil keputusan," beber perempuan 57 tahun tersebut.(rir/esi/ali/aling/jps/yas/ted)
Lapoaran: TIM RIAU POS dan JPG (Pekanbaru dan Jakarta)