Selasa, 2 Desember 2025
spot_img

#KaburAjaDulu Wujud Overthinking Masyarakat

JAKARTA (RP) – Fenomena overthinking atau berpikir negatif berlebihan semakin menjadi perhatian di Indonesia. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) mengungkapkan bahwa setengah dari populasi Indonesia yang diteliti mengalami pola pikir negatif berulang (repetitive negative thinking). Banyak dari mereka yang merasa khawatir berlebihan mengenai masa depan, yang salah satunya tercermin dalam ramainya tagar #KaburAjaDulu.

Penelitian ini melibatkan 1.061 responden dari 29 provinsi di Indonesia pada Januari hingga Februari tahun ini. Hasilnya, 50 persen responden mengalami overthinking, sementara 30 persen lainnya mengalami rumination, yaitu berpikir berulang tentang kejadian negatif di masa lalu tanpa menemukan solusi. Sementara itu, 19 persen responden memiliki pola pikir reflektif yang lebih sehat. Sebagian besar responden adalah perempuan, dengan 90 persen di antaranya berusia antara 20 hingga 49 tahun. Ini menunjukkan bahwa satu dari dua orang Indonesia saat ini mengalami overthinking.

Dr. Ray Wagiu Basrowi, peneliti utama HCC, menjelaskan bahwa overthinking bukan hanya sekadar kebiasaan berpikir negatif. “Tagar #KaburAjaDulu adalah salah satu bentuk dari overthinking. Ini perlu diatasi karena dapat berdampak buruk bagi individu dan masyarakat. Kami ingin memotret fenomena ini untuk melihat apakah benar Indonesia sedang mengalami overthinking secara luas,” ungkap Ray.

Baca Juga:  Inggris Terbitkan UU Keadaan Darurat Corona

Penelitian ini juga mengidentifikasi berbagai faktor yang menjadi penyebab utama overthinking, antara lain kenaikan harga bahan pokok, kesulitan mencari pekerjaan, biaya pengobatan yang semakin mahal, serta banyaknya penyakit baru. Selain itu, informasi politik yang membingungkan dan konflik politik yang sering muncul di media juga turut memperburuk keadaan.

Penyebab utama lainnya adalah faktor sosial dan ekonomi yang memicu kekhawatiran masyarakat. Penelitian ini menemukan bahwa fenomena overthinking lebih banyak dialami oleh perempuan dengan risiko dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Anak muda yang tidak bekerja juga memiliki risiko lebih besar mengalami kekhawatiran terhadap harga bahan pokok, biaya pengobatan, dan kebijakan politik yang tidak stabil.

“Overthinking bisa menular ke dalam komunitas. Semakin sering masyarakat menunjukkan pola pikir pesimistis, maka komunitas menjadi lebih apatis dan tidak produktif,” tambah Ray.

Baca Juga:  Tabur Bunga di Bukit Daeng

Dampak dari overthinking ini bisa sangat merugikan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ray mengajak untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai fenomena ini. Ia menyarankan universitas atau BRIN untuk melakukan kajian lebih luas agar dapat memahami kondisi masa depan dengan lebih baik.

Jika tidak segera ditangani, overthinking dapat berujung pada kecemasan, depresi, bahkan risiko bunuh diri. Overthinking dapat menjadi pintu masuk bagi kecemasan, yang kemudian dapat berkembang menjadi depresi, self-harm, dan bahkan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, Ray mendorong pemerintah untuk memodifikasi kebijakan politik yang lebih humanis dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

“Komunikasi publik yang lebih humanis adalah kunci dalam mitigasi overthinking. Pemerintah perlu memastikan bahwa informasi yang disampaikan dapat mengurangi kecemasan masyarakat dan membantu mereka merasa lebih terhubung dengan kebijakan yang diambil,” ujarnya.

(lyn/c19/oni/jpg)

JAKARTA (RP) – Fenomena overthinking atau berpikir negatif berlebihan semakin menjadi perhatian di Indonesia. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) mengungkapkan bahwa setengah dari populasi Indonesia yang diteliti mengalami pola pikir negatif berulang (repetitive negative thinking). Banyak dari mereka yang merasa khawatir berlebihan mengenai masa depan, yang salah satunya tercermin dalam ramainya tagar #KaburAjaDulu.

Penelitian ini melibatkan 1.061 responden dari 29 provinsi di Indonesia pada Januari hingga Februari tahun ini. Hasilnya, 50 persen responden mengalami overthinking, sementara 30 persen lainnya mengalami rumination, yaitu berpikir berulang tentang kejadian negatif di masa lalu tanpa menemukan solusi. Sementara itu, 19 persen responden memiliki pola pikir reflektif yang lebih sehat. Sebagian besar responden adalah perempuan, dengan 90 persen di antaranya berusia antara 20 hingga 49 tahun. Ini menunjukkan bahwa satu dari dua orang Indonesia saat ini mengalami overthinking.

Dr. Ray Wagiu Basrowi, peneliti utama HCC, menjelaskan bahwa overthinking bukan hanya sekadar kebiasaan berpikir negatif. “Tagar #KaburAjaDulu adalah salah satu bentuk dari overthinking. Ini perlu diatasi karena dapat berdampak buruk bagi individu dan masyarakat. Kami ingin memotret fenomena ini untuk melihat apakah benar Indonesia sedang mengalami overthinking secara luas,” ungkap Ray.

Baca Juga:  Tabur Bunga di Bukit Daeng

Penelitian ini juga mengidentifikasi berbagai faktor yang menjadi penyebab utama overthinking, antara lain kenaikan harga bahan pokok, kesulitan mencari pekerjaan, biaya pengobatan yang semakin mahal, serta banyaknya penyakit baru. Selain itu, informasi politik yang membingungkan dan konflik politik yang sering muncul di media juga turut memperburuk keadaan.

Penyebab utama lainnya adalah faktor sosial dan ekonomi yang memicu kekhawatiran masyarakat. Penelitian ini menemukan bahwa fenomena overthinking lebih banyak dialami oleh perempuan dengan risiko dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Anak muda yang tidak bekerja juga memiliki risiko lebih besar mengalami kekhawatiran terhadap harga bahan pokok, biaya pengobatan, dan kebijakan politik yang tidak stabil.

- Advertisement -

“Overthinking bisa menular ke dalam komunitas. Semakin sering masyarakat menunjukkan pola pikir pesimistis, maka komunitas menjadi lebih apatis dan tidak produktif,” tambah Ray.

Baca Juga:  Peserta Diperiksa Ketat, Hasil Diketahui Saat Itu Juga

Dampak dari overthinking ini bisa sangat merugikan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ray mengajak untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai fenomena ini. Ia menyarankan universitas atau BRIN untuk melakukan kajian lebih luas agar dapat memahami kondisi masa depan dengan lebih baik.

- Advertisement -

Jika tidak segera ditangani, overthinking dapat berujung pada kecemasan, depresi, bahkan risiko bunuh diri. Overthinking dapat menjadi pintu masuk bagi kecemasan, yang kemudian dapat berkembang menjadi depresi, self-harm, dan bahkan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, Ray mendorong pemerintah untuk memodifikasi kebijakan politik yang lebih humanis dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

“Komunikasi publik yang lebih humanis adalah kunci dalam mitigasi overthinking. Pemerintah perlu memastikan bahwa informasi yang disampaikan dapat mengurangi kecemasan masyarakat dan membantu mereka merasa lebih terhubung dengan kebijakan yang diambil,” ujarnya.

(lyn/c19/oni/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

JAKARTA (RP) – Fenomena overthinking atau berpikir negatif berlebihan semakin menjadi perhatian di Indonesia. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) mengungkapkan bahwa setengah dari populasi Indonesia yang diteliti mengalami pola pikir negatif berulang (repetitive negative thinking). Banyak dari mereka yang merasa khawatir berlebihan mengenai masa depan, yang salah satunya tercermin dalam ramainya tagar #KaburAjaDulu.

Penelitian ini melibatkan 1.061 responden dari 29 provinsi di Indonesia pada Januari hingga Februari tahun ini. Hasilnya, 50 persen responden mengalami overthinking, sementara 30 persen lainnya mengalami rumination, yaitu berpikir berulang tentang kejadian negatif di masa lalu tanpa menemukan solusi. Sementara itu, 19 persen responden memiliki pola pikir reflektif yang lebih sehat. Sebagian besar responden adalah perempuan, dengan 90 persen di antaranya berusia antara 20 hingga 49 tahun. Ini menunjukkan bahwa satu dari dua orang Indonesia saat ini mengalami overthinking.

Dr. Ray Wagiu Basrowi, peneliti utama HCC, menjelaskan bahwa overthinking bukan hanya sekadar kebiasaan berpikir negatif. “Tagar #KaburAjaDulu adalah salah satu bentuk dari overthinking. Ini perlu diatasi karena dapat berdampak buruk bagi individu dan masyarakat. Kami ingin memotret fenomena ini untuk melihat apakah benar Indonesia sedang mengalami overthinking secara luas,” ungkap Ray.

Baca Juga:  Peserta Diperiksa Ketat, Hasil Diketahui Saat Itu Juga

Penelitian ini juga mengidentifikasi berbagai faktor yang menjadi penyebab utama overthinking, antara lain kenaikan harga bahan pokok, kesulitan mencari pekerjaan, biaya pengobatan yang semakin mahal, serta banyaknya penyakit baru. Selain itu, informasi politik yang membingungkan dan konflik politik yang sering muncul di media juga turut memperburuk keadaan.

Penyebab utama lainnya adalah faktor sosial dan ekonomi yang memicu kekhawatiran masyarakat. Penelitian ini menemukan bahwa fenomena overthinking lebih banyak dialami oleh perempuan dengan risiko dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Anak muda yang tidak bekerja juga memiliki risiko lebih besar mengalami kekhawatiran terhadap harga bahan pokok, biaya pengobatan, dan kebijakan politik yang tidak stabil.

“Overthinking bisa menular ke dalam komunitas. Semakin sering masyarakat menunjukkan pola pikir pesimistis, maka komunitas menjadi lebih apatis dan tidak produktif,” tambah Ray.

Baca Juga:  Waduh! Belum Booster, Pemudik Wajib Tes Antigen atau PCR

Dampak dari overthinking ini bisa sangat merugikan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ray mengajak untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai fenomena ini. Ia menyarankan universitas atau BRIN untuk melakukan kajian lebih luas agar dapat memahami kondisi masa depan dengan lebih baik.

Jika tidak segera ditangani, overthinking dapat berujung pada kecemasan, depresi, bahkan risiko bunuh diri. Overthinking dapat menjadi pintu masuk bagi kecemasan, yang kemudian dapat berkembang menjadi depresi, self-harm, dan bahkan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, Ray mendorong pemerintah untuk memodifikasi kebijakan politik yang lebih humanis dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

“Komunikasi publik yang lebih humanis adalah kunci dalam mitigasi overthinking. Pemerintah perlu memastikan bahwa informasi yang disampaikan dapat mengurangi kecemasan masyarakat dan membantu mereka merasa lebih terhubung dengan kebijakan yang diambil,” ujarnya.

(lyn/c19/oni/jpg)

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari