Nama penyair perempuan Indonesia asal Riau, Kunni Masrohanti, terus mewarnai dunia kesusastraan Indonesia dan mancanegara. Kunni yang dipercaya memimpin Penyair Perempuan Indonesia (PPI) sejak akhir 2018 ini, tunak mengusung nilai-nilai tradisi dalam karya dan pergerakannya di dunia seni/budaya. Dan, Kunni memilih jalan puisi.
Laporan MUSLIM NURDIN, Pekanbaru
KUNNI, begitu ia sering dipanggil. Ia dilahirkan di Desa Bandar Sungai, Siak Sri Indrapura, Riau, 11 April 1974. Perempuan ini menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) di tanah kelahiran dan Madrasah Aliyah (MA) di Jawa Tengah. Lalu menyelesaikan Strata Satu (S1) di Kampus UIN Suska (waktu itu masih IAIN) Pekanbaru. Kunni anak ketiga dari orang tuanya bernama H Tarmuji (alm) dan Hj Partini. Kakaknya bernama Mudriah dan Siti Asiah, sedang adiknya bernama Siti Rodiah dan Mizan Wahyudi. Saat ini ia tinggal di Pekanbaru bersama suami dan empat anaknya.
Kunni dikenal sebagai penyair perempuan dari tanah Melayu yang berpengaruh dalam perkembangan sastra Indonesia saat ini, khususnya untuk kalangannya, perempuan. Ia dipercaya memimpin sebuah komunitas besar penyair. Yakni Penyair Perempuan Indonesia (PPI) sejak akhir 2018 lalu. Tepatnya saat dilaksanakannya Festival Sastra Gunung Bintan (FSIB) di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Ketokohannya sebagai ketua PPI dikuatkan kembali dengan deklarasi ulang pada puncak perayaan Hari Puisi Indonesia (HPI) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, akhir Desember 2018. Kunni juga dipercaya memimpin komunitas Wanita Penulis Indonesia (WPI) Riau dan mendirikan Komunitas Seni Rumah Sunting (KSRS) sejak 2012. Dengan kounitas inilah ia terus bergerak membawa seni (puisi dan teater) ke ruang-ruang yang lebih luas.
Berbagai penghargaan dan prestasi telah diraihnya. Ia menerima Anugerah Sagang tahun 2012 kategori karya nonbuku (pementasan teater berjudul “Peri Bunian”), Anugerah Pemangku Seni Tradisional dari Gubernur Riau tahun 2014, Anugerah Baiduri dari PRBF Fondation tahun 2014 (kategori sastrawati), Anugerah Sagang kategori komunitas terbaik tahun 2016 (Komunitas Seni Rumah Sunting). Kunni juga pernah menjadi pembaca puisi terbaik se-Indonesia melalui pentas baca puisi Peksiminas tahun 1999.
Buku puisi karya tungga Kunni berjudul Sunting (Goeboek Indonesia, 2011) dan Perempuan Bulan (Framepublising, 2016), Calung Penyukat (Imaji, 2019), Harmoniasi Masyarakat Rimbang Baling dan Alam (buku budaya dan tradisi, 2018), Cipang Warisan Leluhur yang (Hilang) Nyata (buku budaya, tradisi, 2019), "Sri Karma" (naskah drama, 2000), "Sauni" (naskah drama,2015), "Nur Bakau" (Naskah drama, 2016), "Kunci" (naskah drama, 2017), "Raung Cipang" (tatrikal puisi, 2018).
Karya-karyanya juga banyak dimuat di berbagai media di indonesia. Sedangkan karya puisi yang masuk dalam buku antologi, yakni, Tanda (2000), Riau Satu (2000), Musim Berganti (2001), Musim Bermula (2001), Kemilau Musim (2003), Pesona Gemilang Musim (2004), Komunitas Budaya Pesisir (KBP) Kutulis Namamu (2005), Fragman Waktu (2010), Serumpun (20012), Ayat-ayat Selat Sakat (2013), Serumpun Kata Serumpun Cerita (2013), Bendera Putih Untuk Tuhan (2014), Pelabuhan Merah (2015), Senandung Tanah Merah (2016), Pasie Karam (2016), Matahari Cinta Samudera Kata (2016), Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta (2016), Bukan Batang Terendam (2016), Puisi Kopi 1550 mdpl (2016), Segara Aksara (2016), Menghimbau Kenangan Tanah Merah (2017), Perempuan (2017), Luka Pidie Jaya 6,5 SR (2017), Menderas sampai Siak (2017), Boetenzorg (2017), salah satu penyair Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017), Mufakat Air (2017), Mengunyah Geram -seratus puisi menolak korupsi (2017), Antologi Moonson, Korsel (2017), Pesona Ranah Bundo, kumpulan puisi wartawan Indonesia (2018), Anggrainim, Tugu dan Rindu (2018), Perempuan Memandang Dunia (2018), Senyuman Lembah Ijen (2018), Epitaf Kota Hujan (2018), 999 Sehimpun Puisi Penyair Riau (2018), Wangian Kembang (Malaysia, 2018) dan Jazirah Sastra (2018), Membaca Asap (2019), Palung Tradisi (2019), Di Kaki Gunung Bintan (2019). Mengikuti berbagai pertemuan sastra di Indonesia dan luar negara. Salah satu sastrawan Riau peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) II di Jakarta. Menjadi instruktur pelatihan dan juri puisi tingkat Riau, nasional maupun internasonal.
Selain giat di dunia kepenyairan, Kunni telah lebih dahulu aktif di dunia teater. Bersama rekan-rekannya di kampus, ia mendirikan Sanggar Teater Latah Tuah. Tak heran jika ia berkali-kali menjuarai perlombaan di bidang teater, menulis naskah dan juga menyutradarai. Prestasi tersebut antara lain, aktris terbaik festival teater Dewan Kesenian Riau (DKR) (1998)/teater tradisi, aktirs terbaik festival DKR (1999)/teater bangsawan, aktris terbaik festival teater DKR (2000)/teater tradisi, sutradara terbaik festifal teater DKR (2000). Memerankan naskah teater berjudul ‘Ku-yang’ (Surabaya, 1999), ‘Masih Ada Kamar di Tepi Rel’ (Pekanbaru), ‘Harut Marut’ (Pekanbaru), ‘Putih Hitam Bersisa’ (Pekanbaru), ‘Mahkota Jiwa’ (Bengkalis Riau), ‘Sang Gelar’ (TIM Jakarta), ‘Awan Berasap’ (Pekanbaru), ‘Kebebasan Abadi’ (Pekanbaru, 2005), ‘Dialog Orok’ (Pekanbaru, 2008), ‘Cinta Pedra’ (pekanbaru, 2014), ‘Kura-kura dan Bekicot’ (Pelalawan, 2014).