Selasa, 17 September 2024

Jaksa Pinangki Didakwa Terima 500 Ribu USD dari Joko Tjandra

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Pembinaan, Pinangki Sirna Malasari, didakwa menerima uang senilai USD 500 ribu dari Djoko Tjandra, untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Hal ini dilakukan agar Djoko Tjandra bisa lepas dari eksekusi pidana penjara kasus hak tagih Bank Bali.

“Terdakwa Pinangki Sirna Malasari telah menerima pemberian atau janji berupa uang USD 500.000 dari sebesar USD 1.000.000 yang dijanjikan Djoko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kemas Roni membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/9).

Pemberian suap terhadap Pinangki dilakukan untuk mengurus fatwa hukum di Mahkamah Agung. Hal itu agar Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi dalam kasus hak tagih Bank Bali, sehingga bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana penjara.

Perkara ini bermula saat Pinangki bertemu Rahmat dan Anita Kolopaking pada September 2019. Pinangki meminta agar Rahmat dikenalkan kepada Djoko Tjandra.

- Advertisement -
Baca Juga:  PBB P2 Sumber Potensi PAD

Lantas, Anita Kolopaking menanyakan ke temannya seorang hakim di MA mengenai kemungkinan terbitnya fatwa bagi Djoko Tjandra. Untuk melancarkan aksinya, Djoko Tjandra meminta Pinangki untuk membuat action plan.

“Djoko Tjandra meminta kepada terdakwa mempersiapkan dan membuat action plan terlebih dahulu. Serta membuat surat ke Kejaksaan Agung menanyakan status hukum Djoko Soegiarto Tjandra, lalu terdakwa menyampaikan akan menindaklanjuti surat tersebut,” ucap Jaksa Roni.

- Advertisement -

Pada 12 November 2019, Pinangki bersama Rahmat menemui Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia. Kepada Djoko Tjandra, Pinangki memperkenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurus upaya hukum.

“Terdakwa memperkenalkan diri sebagai jaksa dan memperkenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurusi upaya hukum Joko Soegiarto Tjandra,” cetus Jaksa Roni

Sebagai tanda jadi, Djoko Tjandra memberikan USD 500 ribu kepada Pinangki melalui adik iparnya, Herriyadi. Kemudian, Pinangki memberikan USD 50 ribu dari bagian USD 500 ribu yang diterimanya ke Anita.

“Namun dalam action plan tersebut tidak ada satu pun yang terlaksana, padahal Joko Soegiarto Tjandra sudah memberikan down payment kepada terdakwa melalui Andi Irfan Jaya sebesar USD 500 ribu, sehingga Joko Soegiarto Tjandra pada bulan Desember 2019 membatalkan action plan,” pungkas Jaksa Roni.

Baca Juga:  233 Ekonom Dorong Presiden Terbitkan Perppu

Pinangki didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, Pinangki juga didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Untuk pemufakatan jahat, Pinangki didakwa melanggar Pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo. Pasal 88 KUHP.

Sumber: Jawapos.com

Editor: Eka G Putra

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Pembinaan, Pinangki Sirna Malasari, didakwa menerima uang senilai USD 500 ribu dari Djoko Tjandra, untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Hal ini dilakukan agar Djoko Tjandra bisa lepas dari eksekusi pidana penjara kasus hak tagih Bank Bali.

“Terdakwa Pinangki Sirna Malasari telah menerima pemberian atau janji berupa uang USD 500.000 dari sebesar USD 1.000.000 yang dijanjikan Djoko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kemas Roni membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/9).

Pemberian suap terhadap Pinangki dilakukan untuk mengurus fatwa hukum di Mahkamah Agung. Hal itu agar Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi dalam kasus hak tagih Bank Bali, sehingga bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana penjara.

Perkara ini bermula saat Pinangki bertemu Rahmat dan Anita Kolopaking pada September 2019. Pinangki meminta agar Rahmat dikenalkan kepada Djoko Tjandra.

Baca Juga:  Tanamkan Pentingnya Peduli Sampah

Lantas, Anita Kolopaking menanyakan ke temannya seorang hakim di MA mengenai kemungkinan terbitnya fatwa bagi Djoko Tjandra. Untuk melancarkan aksinya, Djoko Tjandra meminta Pinangki untuk membuat action plan.

“Djoko Tjandra meminta kepada terdakwa mempersiapkan dan membuat action plan terlebih dahulu. Serta membuat surat ke Kejaksaan Agung menanyakan status hukum Djoko Soegiarto Tjandra, lalu terdakwa menyampaikan akan menindaklanjuti surat tersebut,” ucap Jaksa Roni.

Pada 12 November 2019, Pinangki bersama Rahmat menemui Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia. Kepada Djoko Tjandra, Pinangki memperkenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurus upaya hukum.

“Terdakwa memperkenalkan diri sebagai jaksa dan memperkenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurusi upaya hukum Joko Soegiarto Tjandra,” cetus Jaksa Roni

Sebagai tanda jadi, Djoko Tjandra memberikan USD 500 ribu kepada Pinangki melalui adik iparnya, Herriyadi. Kemudian, Pinangki memberikan USD 50 ribu dari bagian USD 500 ribu yang diterimanya ke Anita.

“Namun dalam action plan tersebut tidak ada satu pun yang terlaksana, padahal Joko Soegiarto Tjandra sudah memberikan down payment kepada terdakwa melalui Andi Irfan Jaya sebesar USD 500 ribu, sehingga Joko Soegiarto Tjandra pada bulan Desember 2019 membatalkan action plan,” pungkas Jaksa Roni.

Baca Juga:  Di Siak Salat Istisqa Digelar Serentak 

Pinangki didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, Pinangki juga didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Untuk pemufakatan jahat, Pinangki didakwa melanggar Pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo. Pasal 88 KUHP.

Sumber: Jawapos.com

Editor: Eka G Putra

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari