Kamis, 12 September 2024

Pandemi dan Seterusnya

KEHIDUPAN dengan rangkaian mata rantai kegiatannya, tetap berlangsung meskipun dalam masa pandemik ini. Memang, kita merasakan semacam interupsi peradaban sejak awal tahun hingga saat ini (memasuki masa enam bulan sejak Maret), pandemik Covid-19 mewabah dan menjadi bencana pada setiap sudut muka bumi.

Mata rantai kehidupan manusia tetap berlangsung sesuai dengan agenda, sesuai dengan perjalanan kalender dan usia anak manusia; ada yang menikah, ada yang lahir, ada pula yang mati (menemukan ajalnya) di tengah-tengah masa pandemik ini. Keberlangsungan mata rantai kehidupan itu tak bisa dielak, karena dia melangsungkan dan melanjutkan hukum alam yang bersisian dengan musibah yang juga bagian dari hukum alam itu sendiri.

Pernikahan, kelahiran, dan kematian dalam kebudayaan manusia tetap dimajeliskan dalam serangkaian upaya yang melekat pada setiap peristiwa itu. Sejak dua bulan terakhir ini, setelah idul fitri menandai musim pernikahan hingga saat ini. Dia tetap berlangsung dalam semangat kekeluargaan dan semesta sosial, walau dijalani dengan amat ketat mengikuti SOP protokol kesehatan; menjaga jarak selama berlangsungnya majelis perkawinan itu, demikian pula ikutan protokol lainnya seperti mengenakan masker dn cucui tangan selalu dengan sabun. Begitu pula halnya dengan upacara menyempurnakan jenazah yang kematiannya bukan disebab oleh Covid-19, maka penyempurnaan jenazah dilakukan secara normal namun tetap memperhatikan kaidah protokol kesehatan ketika berkerumun dalam jumlah besar, menengah atau pun kecil jumlah pentakziah. Penyambutan kelahiran bayi dengann serangkaian kenduri aqikah juga dilaksanakan dalam masa pandemi ini.

Secara sosial dan komunal, manusia tak bisa melepaskan diri dari ikatan kohesi sosial itu sendiri. Kita memang dituntut untuk menjadi diri yang mandiri, merdeka, bebas dan bertanggung jawab kepada diri sendiri. Namun, bersamaan dengan itu, kita juga dituntut melekatkan kohesi kepada kelompok sosial, agar kita senantiasa berinteraksi, sekaligus menjadi batu uji apakah kemandirian kita, selaku individu benar-benar matang dan dapat diuji ketika bertemu dengan orang-orang lain yang pasti berbeda pendapat dan pikiran, cara pandang, sehingga kehadiran kita dalam wadah kerumunan dalam waktu yang sebentar itu, sekaligus untuk mempertandingkan harkat martabat selaku individu manusia. Apakah kita bersua dalam interaksi yang saling memuliakan, tidak menjadi individu yang mudah menghakimi orang-orang lain.

- Advertisement -
Baca Juga:  23 Tahun Kota Dumai, Berkhidmat Menuju Kota Idaman

Setelah kita membesar dalam “persekolahan inividu” secara pribadi, maka kita dituntut untuk masuk dan bertarung dengan kehadiran orang-orang lain prinsip menahan diri. Covid-19 sejatinya menyediakan iklim agar kita tetap senantia berinteraksi dengan orang-orang lain namun dalam konsepsi yang serba waspada, cermat dan saling menhargai orang lain, yang diperlihatkan dari kemampuan untuk menjaga jarak, tidak mudah semena-mena mendemonstrasikan kegirangan atau pun demonstrasi kesedihan di dalam kerumunan sejumlah manusia. Sejak saat ini kita mulai merasakan indahnya serba sederhana dan berpada-pada dalam hidup. Kita tak lagi tampil secara mentang-mentang. Sejak saati ini, kita merasakan betapa indahnya kebersamaan dan silaturahim yang bertatap muka secara langsung. Tau betapa nikmatnya perbincangan secara tatap muda dan saling bersentuhan. Canda tawa, riang ria terasa sangkut dan terikat kala itu hanya dilakukan secara virtual. Betapa menyakitkan alam virtuasi yang seakan menampilkan diri semacam alien baru yang siap menerkam kita saban detik dan saban waktu.

Kita tak bisa lagi memanfaatkan kehadiran orang ramai yang kita jadikan semacam instrumen politik dalm ihwal dukung mendukung sia anu dan si fulan. Kita dituntut untuk melakukan semacam “upaya menutup diri” dengan dunia luar, namun tetap cerdas menjalani kehidupan agar senantiasa segar dan survive.  Dulu kala, ketika akan akan memajliskan kenduri nikah, kita seakan hendak menampilkan diri dengan sejumlah prabawa serba wah dan megah, walau pun itu hanya kerja-kerja silap mata (akrobatik); mungkin berhutang sana sini, mungkin pula dengan modal pinjaman sana sini demi menampilkan kesan (impression management) bahwa kita adalah orang terpandang dalam sebuah kampung, dalam sebuah komunitas.

- Advertisement -
Baca Juga:  Miliki Potensi SDA Melimpah

Saat ini, hidup berpada-pada dan serba sederhana, menjadi tuntutan. Tidak lagi menampilkan sisi haloba manusia terhadap alam. Ada prinsip enahan diri dan serta berbagi dengan sesama dan jua alam. Alam bertindak dengan kaidah yang serba menahan dan berhemat cermat, namun selama ini kita tampil secara ponga dan serba hambur-berhambur (tanpa siasat untuk menyejukkan hati alam). Kita hanya memikirkan kepentingan ego-sentral pribadi sembari menginjak hak-hak orang lain. Kita menampilkan diri secara alim, dengan ikutan sejumlah atribut sembari menghakimi kehadiran orang lain yang tak sejalan dan tal sepemahaman dengan kita sebagai jalur gelap, jalur kafir dan sejumlah lekatan atribut ikutannya. Kita tak biasa menahan diri dalam sejumlah kumpulan manusia. Kita sudah terbiasa menampilkan sisi burung merak, bahwa seakan-akan kita yang paling cantik dan lawa dan menjadi pusat perhtian publik.

Sejak saat ini, kita dapat memaknai betapa penting menghargai alam dan sesuatu yang lain yang berada di luar diri kita, agar dia menjadi sebagai sistem ko-habitasi bersama; ahwa kita layak hidup dalam sejumlah pendampingan yang sejatinya memang harus lain dan serba lain dengan diri kita.

Upacara pernikahan, penyambutan kelahiran baru, dan upacara kematian senantiasa dilaksanakan secara normal walau dalam batas-batas yang ditoleransi oleh akal sehat dan protokol kesehatan. Bahwa kehidupan itu berjalan serempak, dan harus dilakukan secara sadar dan berbahagia di dalam keserempakan itu. Untuk dan atas semua keinginan yang serba serempak itu, maka tak ada kata yang boleh memberhenti jalannya peradaban manusia (atau semacam interventi peradaban); dan manusia harus mampu menukil kecerdasan sisi lain yang saya sebut sebagai kecerdasan alienatif. Bahwa kita bisa menjadi alien-alien yang produktif dan positif bagi diri sendiri dan bagi orang-orang lain, asalkan kita mampu mengendalikan diri untuk lekas terprovokasi untuk mendemonstrasikan kegirangan, kebahagian melebihan dari garis-garis wajar dan sewajarnya…

 

KEHIDUPAN dengan rangkaian mata rantai kegiatannya, tetap berlangsung meskipun dalam masa pandemik ini. Memang, kita merasakan semacam interupsi peradaban sejak awal tahun hingga saat ini (memasuki masa enam bulan sejak Maret), pandemik Covid-19 mewabah dan menjadi bencana pada setiap sudut muka bumi.

Mata rantai kehidupan manusia tetap berlangsung sesuai dengan agenda, sesuai dengan perjalanan kalender dan usia anak manusia; ada yang menikah, ada yang lahir, ada pula yang mati (menemukan ajalnya) di tengah-tengah masa pandemik ini. Keberlangsungan mata rantai kehidupan itu tak bisa dielak, karena dia melangsungkan dan melanjutkan hukum alam yang bersisian dengan musibah yang juga bagian dari hukum alam itu sendiri.

Pernikahan, kelahiran, dan kematian dalam kebudayaan manusia tetap dimajeliskan dalam serangkaian upaya yang melekat pada setiap peristiwa itu. Sejak dua bulan terakhir ini, setelah idul fitri menandai musim pernikahan hingga saat ini. Dia tetap berlangsung dalam semangat kekeluargaan dan semesta sosial, walau dijalani dengan amat ketat mengikuti SOP protokol kesehatan; menjaga jarak selama berlangsungnya majelis perkawinan itu, demikian pula ikutan protokol lainnya seperti mengenakan masker dn cucui tangan selalu dengan sabun. Begitu pula halnya dengan upacara menyempurnakan jenazah yang kematiannya bukan disebab oleh Covid-19, maka penyempurnaan jenazah dilakukan secara normal namun tetap memperhatikan kaidah protokol kesehatan ketika berkerumun dalam jumlah besar, menengah atau pun kecil jumlah pentakziah. Penyambutan kelahiran bayi dengann serangkaian kenduri aqikah juga dilaksanakan dalam masa pandemi ini.

Secara sosial dan komunal, manusia tak bisa melepaskan diri dari ikatan kohesi sosial itu sendiri. Kita memang dituntut untuk menjadi diri yang mandiri, merdeka, bebas dan bertanggung jawab kepada diri sendiri. Namun, bersamaan dengan itu, kita juga dituntut melekatkan kohesi kepada kelompok sosial, agar kita senantiasa berinteraksi, sekaligus menjadi batu uji apakah kemandirian kita, selaku individu benar-benar matang dan dapat diuji ketika bertemu dengan orang-orang lain yang pasti berbeda pendapat dan pikiran, cara pandang, sehingga kehadiran kita dalam wadah kerumunan dalam waktu yang sebentar itu, sekaligus untuk mempertandingkan harkat martabat selaku individu manusia. Apakah kita bersua dalam interaksi yang saling memuliakan, tidak menjadi individu yang mudah menghakimi orang-orang lain.

Baca Juga:  Nawawi Pomolango Tak Ambil Pusing Soal Mundurnya Febri dari Jubir

Setelah kita membesar dalam “persekolahan inividu” secara pribadi, maka kita dituntut untuk masuk dan bertarung dengan kehadiran orang-orang lain prinsip menahan diri. Covid-19 sejatinya menyediakan iklim agar kita tetap senantia berinteraksi dengan orang-orang lain namun dalam konsepsi yang serba waspada, cermat dan saling menhargai orang lain, yang diperlihatkan dari kemampuan untuk menjaga jarak, tidak mudah semena-mena mendemonstrasikan kegirangan atau pun demonstrasi kesedihan di dalam kerumunan sejumlah manusia. Sejak saat ini kita mulai merasakan indahnya serba sederhana dan berpada-pada dalam hidup. Kita tak lagi tampil secara mentang-mentang. Sejak saati ini, kita merasakan betapa indahnya kebersamaan dan silaturahim yang bertatap muka secara langsung. Tau betapa nikmatnya perbincangan secara tatap muda dan saling bersentuhan. Canda tawa, riang ria terasa sangkut dan terikat kala itu hanya dilakukan secara virtual. Betapa menyakitkan alam virtuasi yang seakan menampilkan diri semacam alien baru yang siap menerkam kita saban detik dan saban waktu.

Kita tak bisa lagi memanfaatkan kehadiran orang ramai yang kita jadikan semacam instrumen politik dalm ihwal dukung mendukung sia anu dan si fulan. Kita dituntut untuk melakukan semacam “upaya menutup diri” dengan dunia luar, namun tetap cerdas menjalani kehidupan agar senantiasa segar dan survive.  Dulu kala, ketika akan akan memajliskan kenduri nikah, kita seakan hendak menampilkan diri dengan sejumlah prabawa serba wah dan megah, walau pun itu hanya kerja-kerja silap mata (akrobatik); mungkin berhutang sana sini, mungkin pula dengan modal pinjaman sana sini demi menampilkan kesan (impression management) bahwa kita adalah orang terpandang dalam sebuah kampung, dalam sebuah komunitas.

Baca Juga:  Ahmad Basarah Ajak Media Jaga Wibawa Ruang Publik dari Residu Medsos

Saat ini, hidup berpada-pada dan serba sederhana, menjadi tuntutan. Tidak lagi menampilkan sisi haloba manusia terhadap alam. Ada prinsip enahan diri dan serta berbagi dengan sesama dan jua alam. Alam bertindak dengan kaidah yang serba menahan dan berhemat cermat, namun selama ini kita tampil secara ponga dan serba hambur-berhambur (tanpa siasat untuk menyejukkan hati alam). Kita hanya memikirkan kepentingan ego-sentral pribadi sembari menginjak hak-hak orang lain. Kita menampilkan diri secara alim, dengan ikutan sejumlah atribut sembari menghakimi kehadiran orang lain yang tak sejalan dan tal sepemahaman dengan kita sebagai jalur gelap, jalur kafir dan sejumlah lekatan atribut ikutannya. Kita tak biasa menahan diri dalam sejumlah kumpulan manusia. Kita sudah terbiasa menampilkan sisi burung merak, bahwa seakan-akan kita yang paling cantik dan lawa dan menjadi pusat perhtian publik.

Sejak saat ini, kita dapat memaknai betapa penting menghargai alam dan sesuatu yang lain yang berada di luar diri kita, agar dia menjadi sebagai sistem ko-habitasi bersama; ahwa kita layak hidup dalam sejumlah pendampingan yang sejatinya memang harus lain dan serba lain dengan diri kita.

Upacara pernikahan, penyambutan kelahiran baru, dan upacara kematian senantiasa dilaksanakan secara normal walau dalam batas-batas yang ditoleransi oleh akal sehat dan protokol kesehatan. Bahwa kehidupan itu berjalan serempak, dan harus dilakukan secara sadar dan berbahagia di dalam keserempakan itu. Untuk dan atas semua keinginan yang serba serempak itu, maka tak ada kata yang boleh memberhenti jalannya peradaban manusia (atau semacam interventi peradaban); dan manusia harus mampu menukil kecerdasan sisi lain yang saya sebut sebagai kecerdasan alienatif. Bahwa kita bisa menjadi alien-alien yang produktif dan positif bagi diri sendiri dan bagi orang-orang lain, asalkan kita mampu mengendalikan diri untuk lekas terprovokasi untuk mendemonstrasikan kegirangan, kebahagian melebihan dari garis-garis wajar dan sewajarnya…

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari